Jumat, 02 Desember 2011

BERPEGANG TEGUH PADA AL-QUR'AN DAN SUNNAH

Wajib atas setiap muslim untuk mengikuti sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum, serta menjauhi berbagai macam bentuk perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya perkara baru dalam agama adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah ijma’ (bersepakat) bahwa barangsiapa yang menjelaskan sunnah dari Rasullulah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan hadits Nabi tersebut karena perkataan seorangpun.”

Wajib atas kita untuk kembali berpedoman dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para sahabat dan para tabi’in, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyaksikan mereka berupa kebaikan. Ketika sebagian kaum muslimin meninggalkan hal tersebut, maka tampaklah di tengah mereka perkara baru yang banyak dan firqah yang bermacam-macam. Agama ini hanyalah apa yang datang dari sisi Allah, tidak ditempatkan kepada hawa nafsu seseorang pun di antara manusia. Barangsiapa mengikuti hawa nafsu dan akalnya (dalam perkara ini-pent), maka dia telah keluar dari Islam. Imam Malik rahimahullah berkata, “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama Islam dan dia memandangnya baik, maka sungguh dia telah mengklaim bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhianati risalah.”

Hendaknya seorang penuntut ilmu memperingatkan manusia dari membantah ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, dan keluar dari dalil-dalil apabila hal tersebut menyelisihi madzhab imam mereka, serta dari mengedepankan perkataan seseorang di atas nash-nash syar’i. Karena seorang alim pun terkadang bisa salah dan itu hal yang pasti. Ketahuilah, bahwa tidak ada seorang pun yang ma’shum (murni dari dosa) selain Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tidak diperbolehkan untuk berijtihad dalam dalil-dalil dan beristinbath dalam hukum-hukum kecuali ahli ijtihad. Bagi para ahli ijtihad diperbolehkan mengambil suatu madzhab yang tetap dalam suatu masalah yang tetap pula apabila dia lemah di dalam ijtihadnya mengenai perkara tersebut. Diperbolehkan bagi orang awam yang tidak mengetahui hukum untuk taqlid, berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya, “..Maka bertanyalah kepada ahlu adz-dzikr (orang yang berilmu), jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43). Dan hendaklah taqlid kepada siapa yang paling afdhal keilmuan dan kehati-hatiannya.

Translator: Roni Nuryusmansyah
Artikel: kristalilmu.com
Dialihbahasakan secara bebas dari teks dalam kitab durusun fii al-qiro’ah, muqoror i’dad lughawy jami’ah Islamiyah Madinah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar