Sabtu, 30 Oktober 2010

QUNUT DALAM SHALAT SHUBUH


Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur'an maupun As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar maka hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid'ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :

"Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu adalah tertolak". Dan dalam riwayat Muslim : "Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) adalah tertolak".

Dan ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama.

Setelah mengetahui hal ini, kami akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini.

Uraian Pendapat Para Ulama

Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.

Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus, ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi'iy.

Pendapat kedua : Qunut shubuh tidak disyariatkan karena qunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.

Pendapat ketiga : Qunut pada sholat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada sholat shubuh dan pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa'd, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits.

Dalil Pendapat Pertama

Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut ini :

"Terus-menerus Rasulullah shollallahu 'alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia".

Dikeluarkan oleh 'Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad 3/162, Ath-Thoh awy dalam Syarah Ma'ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wamansukhih no.220, Al-Ha kim dalam kitab Al-Arba'in sebagaimana dalam Nashbur Royah 2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugro 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no.639, Ad-Daruquthny dalam Sunannya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh 6/129-130 no.2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.689-690 dan dalam Al-'Ilal Al-Mutanahiyah no.753 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al Jama' wat Tafr iq 2/255 dan dalam kitab Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463.

Semuanya dari jalan Abu Ja'far Ar-Rozy dari Ar-Robi' bin Anas dari Anas bin Malik.

Hadits ini dishohihkan oleh Muhammad bin 'Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata : "Bagaimana bisa sanadnya menjadi shohih sedang rowi yang meriwayatkannya dari Ar-Rob i' bin Anas adalah Abu Ja'far 'Isa bin Mahan Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik)". Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i : "Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)". Berkata Abu Zur'ah : " Yahimu katsiran (Banyak salahnya)". Berkata Al-Fallas : "Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)". Dan berkata Ibnu Hibban : "Dia bercerita dari rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar"."

Dan Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma'ad jilid I hal.276 setelah menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu Ja'far Ar-Rozy, beliau berkata : "Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja'far Ar-R ozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya".

Dan bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja'far Ar-R ozy ini, ia akan melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja'far ini adalah Jarh mufassar (Kritikan yang jelas menerangkan sebab lemahnya seorang rawi). Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib-Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata : "Shoduqun sayi`ul hifzh khususon 'anil Mughiroh (Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah).

Maka Abu Ja'far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan hadits yang mungkar.

Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab :

Satu : Makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shohih yang menunjukkan bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik :

"Sesungguhnya Nabi shollallahu 'alaihi wa a lihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdo'a untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdo'a (kejelekan atas suatu kaum)" . Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 639.

Kedua : Adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja'far Ar-Rozy ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan lemahnya dan tidak tetapnya ia dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh :

"Sesungguhnya Nabi shollahu 'alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh".

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/104 no.7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula oleh imam Al Maqdasy dalam Al Mukhtarah 6/129.

kemudian sebagian para 'ulama syafi'iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan-jalan lain yang menguatkannya, maka mari kita melihat jalan-jalan tersebut :

Jalan Pertama : Dari jalan Al-Hasan Al-Bashry dari Anas bin Malik, beliau berkata :

"Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa alihi wa Sallam, Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman, dan saya (rawi) menyangka "dan keempat" sampai saya berpisah denga mereka".

Hadits ini diriwayatkan dari Al Hasan oleh dua orang rawi :

Pertama : 'Amru bin 'Ubaid. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma'ani Al Atsar 1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al Baihaqy 2/202, Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no.693 dan Adz-Dzahaby dalam Tadzkiroh Al Huffazh 2/494. Dan 'Amru bin 'Ubaid ini adalah gembong kelompok sesat Mu'tazilah dan dalam periwayatan hadits ia dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).

Kedua : Isma'il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-Da raquthny dan Al Baihaqy. Dan Isma'il ini dianggap matrukul hadits oleh banyak orang imam. Baca : Tahdzibut Tahdzib.

Catatan :

Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya : Menceritakan kepada kami Ja'far bin Mihr on, (ia berkata) menceritakan kepada kami 'Abdul Warits bin Sa'id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Anas beliau berkata :

"Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa alihi wa Sallam maka beliau terus-menerus qunut pada sholat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau".

Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja'far bin Mihron sebagaimana yang dikatakan oleh imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I'tidal 1/418. Karena 'Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf tapi dari 'Amru bin 'Ubeid sebagaiman dalam riwayat Abu 'Umar Al Haudhy dan Abu Ma'mar – dan beliau ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari 'Abdul Warits-.

Jalan kedua : Dari jalan Khalid bin Da'laj dari Qotadah dari Anas bin M alik :

"Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang 'umar lalu beliau qunut dan di belakang 'Utsman lalu beliau qunut".

Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202 dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadi ts wa Mansukhih no.219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja'far Ar-Rozy tapi Ibnu Turkumany dalam Al Jauhar An Naqy menyalahkan hal tersebut, beliau berkata : "Butuh dilihat keadaan Khalid apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung) atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma'in dan Ad-Daruquthny melemahkannya dan Ibnu Ma' in berkata di (kesempatan lain) : laisa bi syay`in (tidak dianggap) dan An-Nasa`i berkata : laisa bi tsiqoh (bukan tsiqoh). Dan tidak seorangpun dari pengarang Kutubus Sittah yang mengeluarkan haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny mengkategorikannya dalam rowi-rowi yang matruk.

Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya "Terus-menerus beliau qunut pada sholat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia", itu tidak terdapat dalam hadits Khal id. Yang ada hanyalah "beliau (nabi) 'alaihis Salam qunut", dan ini adalah perkara yang ma'ruf (dikenal). Dan yang aneh hanyalah terus-menerus melakukannya sampai meninggal dunia. Maka di atas anggapan dia cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid (pendukung)".

Jalan ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari Dinar bin 'Abdillah dari Anas bin Malik :

"Terus-menerus Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa a lihi wa Sallam qunut pada sholat Subuh sampai beliau meninggal".

Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya, Ibnul Jauzy dalam At-Tahq iq no. 695.

Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar dengan nama Ghulam Khalil adalah salah seorang pemalsu hadits yang terkenal. Dan Dinar bin 'Abdillah, kata Ibnu 'Ady : "Mungkarul hadits (Mungkar haditsnya)". Dan berkata Ibnu Hibba n : "Ia meriwayatkan dari Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab kecuali untuk mencelanya".

Kesimpulan pendapat pertama:

Jelaslah dari uraian diatas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan.

Kemudian anggaplah dalil mereka itu shohih bisa dipakai berhujjah, juga tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut itu secara bahasa mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi dan Ibnul Arabi.

1) Doa

2) Khusyu'

3) Ibadah

4) Taat

5) Menjalankan ketaatan.

6) Penetapan ibadah kepada Allah

7) Diam

8) Shalat

9) Berdiri

10) Lamanya berdiri

11) Terus menerus dalam ketaatan

Dan ada makna-makna yang lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022, Mufradat Al-Qur'an karya Al-Ashbahany hal. 428 dan lain-lain.

Maka jelaslah lemahnya dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.

Dalil Pendapat Kedua

Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :

"Adalah Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I'tidal) berkata : "Sami'allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. "Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, 'Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri'lu, Dzakw an dan 'Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat : "Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim". (HR.Bukhary-Muslim)

Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal :

Pertama : ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghoib.

Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary – Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata :

Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata : "Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya' dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir".

Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansukh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah .

Dalil Pendapat Ketiga

Satu : Hadits Sa'ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja'i

"Saya bertanya kepada ayahku : "Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali radhiyallahu 'anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?". Maka dia menjawab : "Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid'ah)". Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080 dan dalam Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thoy alisy no.1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thohawy 1/249, Ath-Thobarany 8/no.8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihs an no.1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.677-678 dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shoh ihain.

Dua : Hadits Ibnu 'Umar

" Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya sholat bersama Ibnu 'Umar sholat shubuh lalu beliau tidak qunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku". Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy 1246, Al-Baihaqy 2213 dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma' Az-Zawa'id 2137 dan Al-Haitsamy berkata :"rawi-rawinya tsiqoh".

Ketiga : tidak ada dalil yang shohih menunjukkan disyari'atkannya mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara terus-menerus.

Keempat : qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Umar diatas, bahkan syaikul islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fatawa berkata : "dan demikian pula selain Ibnu 'Umar dari para shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid'ah".

Kelima : nukilan-nukilan orang-orang yang berpendapat disyari'atkannya qunut shubuh dari beberapa orang shahabat bahwa mereka melakukan qunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :

1) Ada yang shohih tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.

2) Sangat jelas menunjukkan mereka melakukan qunut shubuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah.

Keenam: setelah mengetahui apa yang disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari'atkannya qunut shubuh secara terus-menerus dengan membaca do'a qunut "Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai akhir do'a kemudian diaminkan oleh para ma'mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah sholat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadits yang lemah.

Demikian keterangan Imam Ibnul qoyyim Al-Jauziyah dalam Z adul Ma'ad.

Kesimpulan :

Jelaslah dari uraian di atas lemahnya dua pendapat pertama dan kuatnya dalil pendapat ketiga sehinga memberikan kesimpulan pasti bahwa qunut shubuh secara terus-menerus selain qunut nazilah adalah bid'ah tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Wallahu a'lam.

Silahkan lihat permasalahan ini dalam Tafsir Al Qurthuby 4/200-201, Al Mughny 2/575-576, Al-Inshof 2/173, Syarh Ma'any Al-Atsar 1/241-254, Al-Ifshoh 1/323, Al-Majmu' 3/483-485, Hasyiyah Ar-Raud Al Murbi' : 2/197-198, Nailul Author 2/155-158 (Cet. Darul Kalim Ath Thoyyib), Majm u' Al Fatawa 22/104-111 dan Zadul Ma'ad 1/271-285.

QUNUT DALAM SHALAT


  • “Doa qunut witir yang terkenal yang Nabi ajarkan kepada al Hasan bin Ali yaitu allahummahdini fiman hadaita .. tidak terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan doa tersebut untuk selain shalat witir. Tidak terdapat satupun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi saw. berqunut dengan membaca doa tersebut baik pada shalat shubuh ataupun shalat yang lain.
    Qunut dengan menggunakan doa tersebut di shalat shubuh sama sekali tidak ada dasarnya dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Sedangkan qunut shubuh namun dengan doa yang lain maka inilah yang diperselisihkan di antara para ulama. Ada dua pendapat dalam hal ini. Pendapat yang paling tepat adalah tidak ada qunut pada shalat shubuh kecuali ada sebab yang terkait dengan kaum muslimin secara umum.
    Misalnya ada bencana selain wabah penyakit yang menimpa kaum muslimin maka kaum muslimin disyariatkan untuk berqunut pada semua shalat wajib, termasuk di dalamnya shalat shubuh, agar Allah menghilangkan bencana dari kaum muslimin.
    Meski demikian, andai imam melakukan qunut pada shalat shubuh maka seharusnya makmum tetap mengikuti qunut imam dan mengaminkan doanya sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad dalam rangka menjaga persatuan kaum muslimin.
    Sedangkan timbulnya permusuhan dan kebencian karena perbedaan pendapat semacam ini adalah suatu yang tidak sepatutnya terjadi. Masalah ini adalah termasuk masalah yang dibolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Menjadi kewajiban setiap muslim dan para penuntut ilmu secara khusus untuk berlapang dada ketika ada perbedaan pendapat antara dirinya dengan saudaranya sesama muslim. Terlebih lagi jika diketahui bahwa saudaranya tersebut memiliki niat yang baik dan tujuan yang benar. Mereka tidaklah menginginkan melainkan kebenaran. Sedangkan masalah yang diperselisihkan adalah masalah ijtihadiah. Dalam kondisi demikian maka pendapat kita bagi orang yang berbeda dengan kita tidaklah lebih benar jika dibandingkan dengan pendapat orang tersebut bagi kita. Hal ini dikarenakan pendapat yang ada hanya berdasar ijtihad dan tidak ada dalil tegas dalam masalah tersebut. Bagaimanakah kita salahkan ijtihad orang lain tanpa mau menyalahkan ijtihad kita. Sungguh ini adalah bentuk kezaliman dan permusuhan dalam penilaian terhadap pendapat” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/12-13, pertanyaan no 772, Maktabah Syamilah).

  • Pada kesempatan lain, Ibnu Utsaimin mengatakan:
  • “Qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab syar’i yang menuntut untuk melakukannya adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah qunut shubuh secara terus menerus tanpa sebab. Yang ada beliau melakukan qunut di semua shalat wajib ketika ada sebab. Para ulama menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut di semua shalat wajib jika ada bencana yang menimpa kaum muslimin yang mengharuskan untuk melakukan qunut. Qunut ini tidak hanya khusus pada shalat shubuh namun dilakukan pada semua shalat wajib.
    Tentang qunut nazilah (qunut karena ada bencana yang terjadi), para ulama bersilang pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya, apakah penguasa yaitu pucuk pimpinan tertinggi di suatu negara ataukah semua imam yang memimpin shalat berjamaah di suatu masjid ataukah semua orang boleh qunut nazilah meski dia shalat sendirian.
    Ada ulama yang berpendapat bahwa qunut nazilah hanya dilakukan oleh penguasa. Alasannya hanya Nabi saja yang melakukan qunut nazilah di masjid beliau. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa selain juga mengadakan qunut nazilat pada saat itu.
    Pendapat kedua, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah imam shalat berjamaah. Alasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan qunut karena beliau adalah imam masjid. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda,

    “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku mengerjakan shalat” (HR Bukhari).

    Pendapat ketiga, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah semua orang yang mengerjakan shalat karena qunut ini dilakukan disebabkan bencana yang menimpa kaum muslimin. Sedangkan orang yang beriman itu bagaikan sebuah bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.
    Pendapat yang paling kuat adalah pendapat ketiga. Sehingga qunut nazilah bisa dilakukan oleh penguasa muslim di suatu negara, para imam shalat berjamaah demikian pula orang-orang yang mengerjakan shalat sendirian.
    Akan tetapi tidak diperbolehkan melakukan qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab yang melatarbelakanginya karena perbuatan tersebut menyelisihi petunjuk Nabi.
    Bila ada sebab maka boleh melakukan qunut di semua shalat wajib yang lima meski ada perbedaan pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya sebagaimana telah disinggung di atas.
    Akan tetapi bacaan qunut dalam qunut nazilah bukanlah bacaan qunut witir yaitu “allahummahdini fiman hadaita” dst. Yang benar doa qunut nazilah adalah doa yang sesuai dengan kondisi yang menyebabkan qunut nazilah dilakukan. Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Jika seorang itu menjadi makmum sedangkan imamnya melakukan qunut shubuh apakah makmum mengikuti imam dengan mengangkat tangan dan mengaminkan doa qunut imam ataukah diam saja?
    Jawabannya, sikap yang benar adalah mengaminkan doa imam sambil mengangkat tangan dalam rangka mengikuti imam karena khawatir merusak persatuan. Imam Ahmad menegaskan bahwa seorang yang menjadi makmum dengan orang yang melakukan qunut shubuh itu tetap mengikuti imam dan mengaminkan doa imam. Padahal Imam Ahmad dalam pendapatnya yang terkenal yang mengatakan bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan. Meski demikian, beliau membolehkan untuk mengikuti imam yang melakukan qunut shubuh karena dikhawatirkan menyelisihi imam dalam hal ini akan menimbulkan perselisihan hati di antara jamaah masjid tersebut.
    Inilah yang diajarkan oleh para shahabat. Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat. Adalah Ibnu Mas’ud diantara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut. Suatu ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud,

    “Wahai Abu Abdirrahman (yaitu Ibnu Mas’ud) bagaimanakah bisa-bisanya engkau mengerjakan shalat bersama amirul mukminin Utsman tanpa qashar sedangkan Nabi, Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya. Beliau mengatakan, “Menyelisihi imam shalat adalah sebuah keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)”

  • Lihat selengkapnya sumber :(Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/14-16, pertanyaan no 774, Maktabah Syamilah).

INDONESIA DAN MALAYSIA




BIAR KAGAK NGANTUK, Silakan Dibaca......


INDONESIA : Kementerian Hukum dan HAM
MALAYSIA : Kementerian Tuduh Menuduh

INDONESIA : Kementerian Agama
MALAYSIA : Kementerian Tak Berdosa ...

INDONESIA : Angkatan Darat
MALAYSIA : Laskar Hentak-Hentak Bumi

INDONESIA : Angkatan Udara
MALAYSIA : Laskar Angin-Angin

INDONESIA : 'Pasukaaan bubar jalan !!!'
MALAYSIA : 'Pasukaaan cerai berai !!!'......

INDONESIA : Merayap
MALAYSIA : Bersetubuh dengan bumi

INDONESIA : rumah sakit bersalin
MALAYSIA : hospital korban lelaki

INDONESIA : telepon selular
MALAYSIA : talipon bimbit

INDONESIA : Pasukan terjung payung
MALAYSIA : Aska begayut

INDONESIA : belok kiri, belok kanan
MALAYSIA : pusing kiri, pusing kanan

INDONESIA : Departemen Pertanian
MALAYSIA : Departemen Cucuk Tanam

INDONESIA : 6.30 = jam setengah tujuh
MALAYSIA : 6.30 = jam enam setengah

INDONESIA : gratis bicara 30menit
MALAYSIA : percuma berbual 30minit

INDONESIA : tidak bisa
MALAYSIA : tak boleh

INDONESIA : WC
MALAYSIA : tandas

INDONESIA : Satpam/sekuriti
MALAYSIA : Penunggu Maling

INDONESIA : Aduk
MALAYSIA : Kacau

INDONESIA : Di aduk hingga merata
MALAYSIA : kacaukan tuk datar

INDONESIA : 7 putaran
MALAYSIA : 7 pusingan

INDONESIA : Imut-imut
MALAYSIA : Comel benar

INDONESIA : pejabat negara
MALAYSIA : kaki tangan Negara

INDONESIA :bertengkar
MALAYSIA : bertumbuk

INDONESIA : pemerkosaan
MALAYSIA : perogolan

INDONESIA : Pencopet
MALAYSIA : Penyeluk Saku

INDONESIA : joystick
MALAYSIA : batang senang

INDONESIA : Tidur siang
MALAYSIA : Petang telentang

INDONESIA : Air Hangat
MALAYSIA : Air Suam

INDONESIA : Terasi
MALAYSIA : Belacan

INDONESIA : Pengacara
MALAYSIA : Penguam

INDONESIA : Sepatu
MALAYSIA : Kasut

INDONESIA : Ban
MALAYSIA : Tayar (Tonjok….kalo bahasa Jatim)

INDONESIA : remote
MALAYSIA : kawalan jauh

INDONESIA : kulkas
MALAYSIA : peti sejuk

INDONESIA : chatting
MALAYSIA : bilik berbual

INDONESIA : rusak
MALAYSIA : tak sihat

INDONESIA : keliling kota
MALAYSIA : pusing pusing ke bandar

INDONESIA : Tank
MALAYSIA : Kereta kebal

INDONESIA : Kedatangan
MALAYSIA : ketibaan

INDONESIA : bersenang-senang
MALAYSIA : berseronok

INDONESIA : bioskop
MALAYSIA : panggung wayang

INDONESIA : rumah sakit jiwa
MALAYSIA : gubuk gila

INDONESIA : dokter ahli jiwa
MALAYSIA : Dokter gila

INDONESIA : narkoba
MALAYSIA : dadah

INDONESIA : pintu darurat
MALAYSIA : Pintu kecemasan

INDONESIA : hantu Pocong
MALAYSIA : hantu Bungkus

INDONESIA : Kipas Angin
MALAYSIA : Mesin Tiup

Dikutip dari : Tentang Islam

Jumat, 29 Oktober 2010

TENTANG KUBURAN MUSLIM

Oleh : Antara Sancang Cijulang

Dari Anas bin Malik radliyallohu 'anhu, ia berkata, " Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi tanda pada kuburan 'Usman bin Mad'un dengan batu, dan beliau bersabda : Aku memberi tanda dengan batu pada kuburan saudaraku, dan untuk siapa saja yang mati dari keluargaku ". [Riwayat Ibnu Majah, Minhajul Muslim : 236]

  • Dari Jabir radliyallahu ‘anhu, ia berkata, “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang menembok kuburan (tajshish), duduk diatasnya, dan mendirikan bangunan diatasnya ”. [Riwayat Muslim, An-Nawawi VII: 40]


  • Dan yang dimaksud ‘Tajshish’, ialah menembok, mengecat, melumuri, mengoles, atau melapisi kuburan, padahal semua itu merupakan keindahan dunia, sedangkan mayit sudah tidak membutuhkannya lagi padanya. Dan kuburan itu hanya tempat sementara tidak untuk selama-lamanya. [Fiqh Sunnah I : 468] Lihat Selengkapnya

  • Dari Abu Hayyaj Al-Asadi, ia berkata, “ Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepada saya, ‘ Ingatlah, aku akan mengutusmu sebagaimana aku pernah diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam, yaitu supaya tidak membiarkan patung kecuali harus dihancurkannya dan tidak meninggikan kuburan kecuali harus diratakannya .’ ” [Riwayat Muslim, As-Sunan wal-Mubtada’at : 112]

    Imam Syafi’i berkata, “Dimakruhkan menembok kuburan, menulis nama yang mati (di batu nisan atau yang lainnya) di atas kuburan, atau tulisan-tulisan yang lain, dan membuat bangunan di atas kuburan.” Beliau juga mengatakan, “Dan saya melihat para penguasa ada yang menghancurkan bangunan-bangunan di atas kuburan dan saya tidak melihat ada ahli fiqih yang menyalahkan hal itu. Hal itu karena membiarkan bangunan-bangunan itu di atas kuburan akan mempersempit ruang pemakaman/penguburan bagi orang-orang lain.” [Al-Majmu’, V/266]

    Sementara itu, Imam Nawawi mengatakan, “Dimakruhkan menembok kuburan, mendirikan bangunan, dan menuliskan sesuatu di atasnya. Apabila bangunan itu didirikan di atas tanah kubur yang diwakafkan fi sabilillah, maka hal itu harus dirobohkan. [as-Siraj al-Wahhaj, I/114]

    Imam al-Baghawi mengatakan, “Makruh hukumnya memasang tenda (naungan) di atas kuburan. Karena Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melihat sebuah tenda di atas sebuah kuburan, kemudian beliau memerintahkan agar tenda itu dihilangkan. Kata beliau, “Biarlah amal mayat itu yang akan menaunginya”. [al-Majmu’, V/266]

    Allahu Ta’ala A’lam

Kamis, 28 Oktober 2010

MEROKOK ITU HARAM



Rokok memang sesuatu yang tidak ditemukan di zaman Nabi, akan tetapi agama Islam telah menurunkan nash-nash yang universal, semua hal yang membahayakan diri, mencelakakan orang lain dan menghambur-hamburkan harta adalah hal yang haram.

Berikut ini dalil-dalil yang menunjukkan keharaman rokok

1.Firman Allah: “Nabi tersebut menghalalkan untuk mereka semua hal yang baik dan mengharamkan untuk mereka semua hal yang jelek.” (QS. Al A’raf: 157)

Bukankah rokok termasuk barang yang jelek, berbahaya dan berbau tidak enak?

2.Firman Allah: “Janganlah kalian campakkan diri kalian dalam kehancuran” (QS. Al Baqarah: 195)

Padahal rokok bisa menyebabkan orang terkena berbagai penyakit berbahaya seperti kanker dan TBC.

3.Firman Allah: “Dan janganlah kalian melakukan perbuatan bunuh diri” (QS. An Nisa: 29)

Padahal merokok merupakan usaha untuk membunuh diri secara pelan-pelan.

4.Ketika menjelaskan tentang khamr dan judi, Allah berfirman: “Dan dosa keduanya (khamr dan judi) lebih besar daripada manfaat dua hal tersebut.” (QS. Al Baqarah: 219)

Demikian pula dengan rokok, bahaya yang ditimbulkannya lebih besar daripada manfaatnya, bahkan rokok sedikitpun tidak mengandung manfaat.

5.Firman Allah: “Dan janganlah engkau bersikap boros, sesungguhnya orang yang suka memboroskan hartanya merupakan saudara-saudara setan.” (QS. Al Isra:26-27)

Telah jelas bahwa merokok merupakan perbuatan perbuatan boros dan menghambur-hamburkan harta benda.

6.Allah berfirman tentang makanan penduduk neraka: “Tidak ada makanan mereka kecuali dari pohon yang berduri. Makanan tersebut tidak menyebabkan gemuk dan tidak pula bisa menghilangkan rasa lapar.” (QS. Al Ghasiyah:6-7)

Demikian pula dengan rokok, tidak membuat gemuk dan menghilangkan rasa lapar, sehingga rokok itu menyerupai makanan penduduk neraka.

7.Sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR. Ahmad, shahih)

Padahal rokok itu dapat membahayakan diri sendiri ataupun orang lain serta menyia-nyiakan harta.

8.Sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah itu membenci tiga perkara untuk kalian, (yakni) berita yang tidak jelas, menghambur-hamburkan harta dan banyak bertanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Padahal merokok termasuk membuang harta.

9.Sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam: ”Setiap (dosa) umatku dimaafkan (akan diampunkan) kecuali orang yang terang-terangan berbuat dosa.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Artinya setiap umat Islam itu akan memperoleh pengampunan kecuali orang yang berbuat dosa dengan terang-terangan, sebagaimana para perokok yang merokok tanpa rasa malu-malu, bahkan mengajak orang lain untuk berbuat kemungkaran seperti mereka.

10.Sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka janganlah ia mengganggu tetangganya.” (HR. Bukhari)

Bau tidak sedap karena merokok sangat mengganggu istri, anak dan tetangga terutama malaikat dan orang-orang yang shalat di masjid.

11.Sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah dua telapak kaki seorang hamba bias bergeser pada hari kiamat sebelum ditanya mengenai empat perkara, (yakni) tentang kemana ia habiskan umurnya; untuk apa ia gunakan ilmunya; dari mana ia memperoleh harta dan kemana ia belanjakan; untuk apa ia pergunakan tubuhnya.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani dalam kitab Shahih Al Jami dan Kitab Silsilah Shahihan)

Padahal seorang perokok membelanjakan hartanya untuk membeli rokok yang haram. Benda yang sangat berbahaya bagi tubuh dan mengganggu orang lain yang berada di dekatnya.

12.Sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam: “Barang yang dalam jumlah besarnya dapat memabukkan, maka statusnya tetap haram meski dalam jumlah sedikit.” (HR. Ahmad dan lain-lain, shahih)

Padahal asap rokok dalam jumlah banyak dapat memabukkan, terutama untuk orang yang tidak terbiasa merokok; atau pada saat perokok menghisap asap dalam jumlah yang banyak maka orang tersebut akan sedikit mabuk. Hal ini telah ditegaskan oleh seorang dokter dari Jerman dan seorang perokok yang pernah mencoba, sebagaimana penjelasan di atas.

13.Sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa makan bawang merah atau bawang putih maka hendaklah menjauhi kami, masjid kami dan hendaklah ia berdiam saja di rumahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebagian orang tidak bisa menerima pengharaman rokok meski dalil-dalil yang menunjukkan keharaman rokok itu banyak sekali sebagaimana di atas. Khusus bagi perokok yang masih suka berkilah tersebut, maka kami katakan, “Jika rokok tidak haram mengapa mereka tidak merokok di masjid atau tempat suci yang lain. Namun kalian malah memilih merokok di tempat pemandian umum, tempat-tempat hiburan dan tempat-tempat yang terlarang?”

Sebagian orang ada yang beralasan bahwa merokok itu makruh saja. Sebagai jawaban kami katakan, “Jika hukumnya makruh lalu mengapa kalian hisap. Bukankah makruh itu lebih dekat kepada haram daripada ke halal!

Perhatikanlah hadits Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

“Sungguh hal yang halal itu jelas dan haram pun juga sudah jelas. Namun diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang tidak jelas. Kebanyakan orang tidak mengetahui perkara-perkara tersebut. Barangsiapa berhati-hati terhadap hal yang tidak jelas statusnya, maka sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara yang tidak jelas, sungguh ia telah terjerumus dalam perkara yang haram. Seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat daerah larangan, ia akan segera menggembala di daerah larangan tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Karya dari : Syaikh Muhammad Jamil Zainu

sumber: NO SMOKING-Tidak Merokok Karena Allah, Media Hidayah, hlm47-54

Selasa, 26 Oktober 2010

MENYAMBUT BULAN DZULHIJJAH

Bulan Dzulhijjah termasuk bulan yang punya makna penting. Momen dimana kaum Muslimin merayakan Hari Raya kedua, yaitu Idul Adha atau Hari Raya Qurban.

Berikut beberapa amalan yang dianjurkan di dalamnya, terutama pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Keutamaan Dzulhijjah
Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma (RA) meriwayatkan, “Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu: ’Sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah.’ Mereka bertanya: ’Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah?’ Beliau menjawab: ’Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun.” (Riwayat al-Bukhari)

Menunaikan Ibadah Haji dan Umrah
Amal ini paling utama, berdasarkan berbagai Hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya, antara lain: Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) bersabda, “Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan), dan haji mabrur tiada lain balasannya kecuali surga.”(Riwayat Muttafaqun’alaih)

Melaksanakan Puasa Sunnah
Bagi yang tidak sedang menunaikan haji, dianjurkan memperbanyak puasa di sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Terutama pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) ketika para jamaah haji sedang wukuf di Padang Arafah.

Dari Abu Qatadah, Nabi SAW bersabda, “Berpuasa pada hari Arafah niscaya dapat melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya.” (Riwayat Muslim)

Memperbanyak Tahlil, Takbir, dan Tahmid
Sahabat Abdulllah ibn Umar RA meriwayatkan, “Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid.” (Riwayat Ahmad)

Imam al-Bukhari menceritakan, para sahabat seperti Abdullah Ibn Umar dan Abu Hurairah RA bertakbir hingga keluar ke pasar-pasar dan tempat keramaian lainnya seraya mengajak orang lain.

Memotong Hewan Qurban
Ibadah ini awalnya berasal dari sunnah Nabi Ibrahim Alaihissalam (AS) ketika beliau diminta menyembelih putranya Nabi Ismail AS. Kini umat Islam hanya diperintahkan memotong hewam qurban sebagai pendekatan diri kepada Allah SWT. Waktu berqurban dilaksanakan pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah) hingga hari ketiga dari hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjjah).

“Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)” (al-Kausar [108]: 2)

Larangan Mencabut atau Memotong Rambut dan Kuku bagi Orang yang Hendak Berkurban
“…Dan janganlah kamu mencukur (rambut) kepalamu sebelum hewan qurban itu sampai di tempat penyembelihan. …” (al-Baqarah [2]: 196)

Dari Ummu Salamah RA, Nabi SAW bersabda, “Jika kamu melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya”. (Riwayat Muslim)

Secara dzahir, larangan ini bagi orang yang berqurban saja, tidak berlaku buat keluarganya, kecuali jika mereka semua ikut berpartisipasi dalam berqurban.

Menunaikan Shalat Idul Adha
Sebaiknya menggelar shalat Idul Adha di lapangan sebagai salah satu syiar dakwah. Namun berbeda dengan Idu Fitri, pada shalat Idul Adha kaum Muslimin disunnahkan menahan diri dari makan dan minum (berpuasa) dulu hingga selesai melaksanakan shalat Id. Dalam khutbah Id, para khatib akan mengingatkan tentang kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS dan ketakwaan putranya, Nabi Ismail AS.

*Masykur/Suara Hidayatullah NOPEMBER 2008

Senin, 18 Oktober 2010

DIBALIK ARTI KATA AMIN



Oleh : Bunda Lilis Stanlie
Bismillahirahmanirrahiim...
Assallamu'alaikum warohmatullahi wabarakatuh....,

Hari ini Bunda Lilis dapat kiriman pesan yg isinya bagus sekali...... dari Pak Achmed Iqbal,

Yang isinya sebagai berikut:
Bahwa dlm bahsa Arab apabila pelafadzannya salah, maka arti dlm bahasa Indonesia juga akan salah. Kata "AMIN" adalah salah satu kata yg masih banyak orang Islam keliru karenanya.Tapi walau bagaimanapun, jangan membuat takut atau mundur untuk tetap membaca Al Qur’an. Belajarlah lebih giat lagi & mau memperbaiki,
Karena Allah Maha Mengetahui & pasti akan menolong hambanya yg berniat untuk ibadah kepada-Nya.
(Karena kita orang Indonesia, bukan orang Arab.)

Dalam bahasa Arab, ada empat perbedaan kata "AMIN" :
1. "AMIN" (alif dan mim sama-sama pendek) yang artinya AMAN, TENTERAM.
.2. "AAMIN" (alif panjang dan mim pendek) yang artinya MEMINTA PERLINDUNGAN KEAMANAN..
3. "AMIIN" (alif pendek dan mim panjang) artinya JUJUR TERPERCAYA.
4. "AAMIIN" (alif panjang dan mim panjang) artinya YA TUHAN,KABULKANLAH DOA .

Nah..mudah-mudahan dgn catatan kecil diatas tadi kita semakin mengetahui apa arti * AMIN* yg sebenarnya ya...

Terimakasih untuk Pak Achmed Iqbal atas tambahan Ilmu nya ya..

Wassallam,
Bunda Lilis Stanlie.

SUNNATNYA PUASA 3 HARI SETIAP BULAN

PENGANTAR:
Puasa 3 hari setiap bulan yang paling utama yaitu puasa pada "Ayyaamul biidl" yakni puasa tanggal 13, 14 dan 15. Ada pula yang berpendapat bahwa "Ayyaamul biidl" adalah tanggal 12, 13 dan 14. Tetapi pendapat pertamalah yang lebih kuat. Penanggalan ini sudah tentu mengikuti/berdasarkan penanggalan Islam (Hijriyah).

Dari Abu Hurairah ra. berkata: "Kekasihku Rasulullah saw. berpesan kepada saya untuk berpuasa tiga hari setiap bulan, dua raka'at Dluha dan shalat Witir sebelum saya tidur". (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Abud Darda' ra. berkata: "Kekasihku Rasulullah saw. berpesan kepada saya untuk sama sekali tidak meninggalkan tiga hal selama saya hidup yaitu: Puasa tiga hari setiap bulan, shalat Dluha dan supaya saya tidak tidur sebelum mengerjakan shalat Witir". (HR. Muslim).

Dari 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: "Puasa tiga hari setiap bulan itu adalah seperti puasa sepanjang masa". (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Mu'adzah Al 'Adawiyah bahwasannya ia pernah bertanya kepada 'Aisyah ra.: "Apakah Rasulullah saw. biasa puasa tiga hari setiap bulan ?". 'Aisyah menjawab: "Ya". Saya bertanya lagi: "Bulan apa saja beliau berpuasa ?". 'Aisyah menjawab: "Tidak perduli bulan apa beliau berpuasa". (HR. Muslim).

Dari Abu Dzarr ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: "Apabila kamu berpuasa tiga hari dalam suatu bulan maka berpuasalah pada tanggal 13, 14 dan 15". (HR. At Turmudzy).

Dari Qatadah bin Milhan ra. berkata: "Rasulullah saw. menyuruh kami untuk puasa pada Ayyaamul biidl yakni tanggal 13, 14 dan 15". (HR. Abu Daud).

Dari Ibnu 'Abbas ra. berkata: "Rasulullah saw. tidak pernah berbuka (tidak berpuasa) pada Ayyaamul biidl baik beliau berada di rumah maupun beliau sedang bepergian". (HR. An Nasa-i).

Sumber: Kitab Riyadlus Shalihin

Senin, 11 Oktober 2010

H A J I

Dari Ibnu 'Umar ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: "Islam itu didirikan atas lima sendi yaitu: menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa pada bulan Ramadhan". (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. berkhutbah dihadapan kami dimana beliau bersabda: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji kepada kamu sekalian; oleh karena itu berhajilah". Ada seorang laki-laki bertanya: "Apakah setiap tahun wahai Rasulullah ?". Beliau terdiam, sampai orang itu mengulanginya tiga kali, kemudian Rasulullah saw. bersabda: "Tinggalkanlah apa yang tidak aku perintahkan, karena sesungguhnya ummat-ummat sebelum kamu itu binasa karena banyaknya pertanyaan dan mereka suka berselisih dengan Nabi-Nabi mereka. Oleh karena itu jika aku memerintahkan sesuatu kepadamu maka laksanakanlah sekuat tenagamu, dan jika aku melarang sesuatu maka tinggalkanlah". (HR. Muslim).

Dari Abu Hurairah ra. berkata, Nabi saw. pernah ditanya: "Apakah amal perbuatan yang paling utama ?". Beliau menjawab: "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya". Ia bertanya: "Kemudian apa ?" Beliau menjawab: "Berjuang pada jalan Allah". Ia bertanya lagi: "Kemudian apa ?" Beliau menjawab: "Haji yang mabrur". (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Hurairah ra. berkata: "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: "Barangsiapa yang mengerjakan haji kemudian ia tidak berkata kotor dan tidak melakukan kefasikan maka ia kembali (bersih) seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya". (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: "Satu 'umrah sampai 'umrah berikutnya adalah merupakan kafarat (penebus) atas dosa-dosa yang terjadi diantara kedua 'umrah itu. Dan haji yang mabrur tiada balasannya kecuali sorga". (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari 'Aisyah ra. berkata: "Saya berkata: "Wahai Rasulullah menurut kami jihad itu adalah amal perbuatan yang paling utama. Bolehkah kami terus menerus berjihad ?". Kemudian beliau bersabda: "Tetapi jihad yang paling utama adalah haji yang mabrur". (HR. Bukhari).

Dari 'Aisyah ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: "Tiada hari dimana Allah membebaskan hamba-Nya dari api neraka melebihi daripada dalam hari 'Arafah". (HR. Muslim).

Dari Ibnu 'Abbas ra. bahwasannya Nabi saw. bersabda: " 'Umrah pada bulan Ramadhan itu sebanding dengan haji atau sebanding dengan haji bersama aku". (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Ibnu 'Abbas ra. bahwasannya ada seorang wanita bertanya: "Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah mewajibkan hamba-Nya untuk berhaji sampai pada ayah saya dalam usia yang sangat tua, dimana ia tidak mampu lagi untuk bepergian. Maka apakah boleh saya menghajikannya ?". Beliau menjawab: "Boleh". (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Laqith bin 'Amir ra. bahwasannya ia datang kehadapan Nabi saw. dan berkata: "Sesungguhnya ayah saya adalah seorang yang tua renta yang tidak mampu untuk melaksanakan haji dan 'umrah bahkan tidak mampu untuk bepergian sama sekali". Beliau bersabda: "Berhaji dan ber'umrahlah untuk ayahmu". (HR. Abu Daud dan At Turmudzy).

Dari As Saib bin Yazid ra. berkata: "Saya pernah berhaji bersama-sama dengan Rasulullah saw. yaitu pada haji Wada', waktu itu saya baru berumur tujuh tahun". (HR. Bukhari).

Dari Ibnu 'Abbas ra. bahwasannya Nabi saw. bertemu dengan sesuatu rombongan di Rauha', kemudian beliau bertanya: "Siapakah rombongan ini ?". Mereka menjawab: "Orang-orang Islam". Mereka ganti bertanya: "Siapakah engkau ?". Beliau menjawab: "Utusan Allah". Kemudian ada seorang perempuan mengangkat anaknya yang masih kecil seraya bertanya: "Apakah anak kecil ini termasuk berhaji juga ?". Beliau menjawab : "Ya, dan pahalanya untuk kamu". (HR. Muslim).

Dari Anas ra. bahwasannya Rasulullah saw. berhaji dengan naik kendaraan sedangkan kendaraan itu sambil membawa bekalnya". (HR. Bukhari).

Dari Ibnu 'Abbas ra. berkata: "Ukazh, Majinnah dan Dzul Majaz adalah merupakan pasar-pasar sejak zaman Jahiliyah, kemudian kaum muslimin khawatir berdosa bila berdagang pada musim haji, lantas turunlah ayat: LAISA 'ALAIKUM JUNAAHUN ANTABTAGHUU FADL-LAN MIN RABBIKUM (Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu) dalam musim haji". (HR. Bukhari).

CATATAN: Hadist-hadist diatas dikutip dari kitab RIYADLUS SHALIHIN

Senin, 04 Oktober 2010

ALLAH PUN BERTAUBAT



Oleh: Muhammad Farid Dua

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yg terkutuk.

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.

Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan apa makna TAUBAT yang sebenarnya menurut Alquran dan hadis Nabi. Penjelasan ini akan saya bagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah bagian yang membahas makna taubat secara umum. Bagian kedua adalah bagian yang membahas secara detail terkait dengan kaidah bahasa arab dan ayat-ayat Alquran yang menyebutkan Allah pun Taubat.

Saya mempunyai prinsip untuk membiasakan kebenaran bukan membenarkan kebiasaan agar saya tidak termasuk orang-orang yang ikut-ikutan (jahiliah). Termasuk dalam penggunaan istilah. Kita sering mengartikan istilah taubat dengan memohon ampun. Karena itu, ketika membaca judul buku saya “ALLAH pun TAUBAT”, sahabat2 pasti bertanya-tanya, bagaimana mungkin Allah memohon ampun. Mari kita kembali ke pengertian yang sesungguhnya menurut Alquran. Taubat berbeda dengan mohon ampun, seperti yang Allah tegaskan dalam Alquran,

"Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih". (QS.11:90).

Ayat yang memisahkan antara memohon ampun dan bertaubat juga bisa kita dapatkan di QS.5:74, 11:3, 11:61.

Kata taubat berasal dari bahasa Arab. Menurut kamus bahasa arab, taubat berasal dari kata taaba – yatuubu – taubatan yang artinya kembali.

Ceritanya begini… Pada jaman dahulu kala, ketika kita belum mengenal dosa, kita dekat dengan Allah. Ketika kita berbuat dosa, kita pun menjauhi Allah dan mendekati setan. Sehingga Allah pun menjauhi kita dan mendekati hukuman atau konsekuensi atas perbuatan dosa kita. Akibatnya kita dan Allah saling berjauhan. Perumpamaan ini saya ambil dari kisahnya Nabi Adam di Alquran. Jika saya paparkan di sini terlalu panjang menjelaskannya.

Singkat cerita, setelah kita berbuat dosa kita pasti akan menemukan akibat atau konsekuensi atas perbuatan dosa kita yang memang sengaja Allah berikan agar kita kembali (taubat) kepada-Nya. Ada empat tahapan taubat :

Tahap pertama adalah tahapan awal dimana kita ingat kepada Allah. ketika musibah dan kesulitan datang, kita tergerak untuk mengadu dan berdoa kepada Allah. Nah, ingatnya kita kepada Allah sudah dikatakan taubat (QS.13:27-28). Namun pada saat itu baru hati kita yang taubat (kembali) kepada Allah (QS.66:4) sehingga kita belum disebut taubat (kembali) dengan seutuhnya (sebenarnya). Ingatnya kita kepada Allah baru merupakan awal dari taubat kita yang sebenarnya.

Tahap kedua adalah tahap dimana Allah menerima taubat kita. Jika kita orang yang beriman kepada Allah, maka Allah akan menerima taubat (kembalinya) kita. Itulah tahap dimana “Allah menerima taubat”. Tandanya Allah “menerima taubat” kita adalah Pertama : Allah akan menunjukkan jalan kembali (pulang) kepada kita. (QS.13:127 dan 42:13). Bentuknya bisa mempertemukan kita dengan orang-orang yang shaleh atau buku-buku yang baik yang bisa menuntun kita kembali kepada Allah. Tanda kedua, Allah menurunkan ketenangan dalam hati kita. Setelah kita bersimpuh memohon ampun di hadapan Allah biasanya akan turun ketenangan dalam hati kita. Itulah tanda Allah telah menerima taubat kita.

Tapi apakah cukup sampai di sini, sampai Allah menerima taubat kita? Belum, masih ada dua tahapan lagi yang harus di lalui. Seperti dijelaskan di atas, tahap awal adalah kita ingat kepada Allah, tahap kedua adalah Allah menerima taubat kita yaitu dengan menurunkan ketenangan dan menunjukkan jalan taubat (kembali).

Tahapan ketiga, adalah tahapan yang sebenarnya dimana kita menempuh jalan kembali kepada Allah yaitu dengan BERBUAT BAIK. Setelah kita berbuat baik menurut petunjuk Allah maka itulah yang disebut taubat yang sebenarnya (seutuhnya). Bukan hanya hati atau lisan saja tapi sudah diaplikasikan dalam bentuk perbuatan.

"Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, Maka Sesungguhnya Dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya". (QS.25:71)

Inilah tahapan taubat yang paling penting yang tidak saya dapatkan di buku-buku manapun. Selama ini saya hanya tahu sampai di tahapan ke dua yaitu syarat Allah menerima taubat yaitu menyesal, memohon ampun dan berjanji tidak akan mengulangi. Setelah saya teliti ternyata itu adalah karangan Imam Ghozali. Dan sampai saat ini saya belum mendapatkan dasar argumentasi beliau. Berdasarkan Alquran dan hadis mana sampai beliau menyimpulkan demikian.

Lalu apa yang terjadi setelah kita melewati tahap ke tiga yaitu berbuat baik menurut petunjuk Allah? Kita masuk ke tahap terakhir yaitu tahap dimana Allah pun “bergerak” kembali (taubat) kepada kita. Itulah yang disebut Allah pun taubat (kembali) kepada kita. maka disebutlah Allah beserta orang yang berbuat baik (QS.29:69). Saya mencatat ada 28 ayat yang menuliskan kata “Allah taubat kepada manusia”. Salah satunya adalah :

"Maka Barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah taubat (kembali) kepadanya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS.5:39)

Di terjemahan umumnya anda akan mendapatkan terjemahan yang digaris bawahi sbb : Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Hal ini akan saya bahas secara khusus di bagian teknis atau bagian yang detail terkait struktur bahasa arabnya.

Banyak yang bertanya, kalau manusia taubat (kembali) dari perbuatan dosa maka Allah taubat (kembali) dari apa? Untuk menjawab pertanyaan ini saya ingin sedikit me-review, Pada mulanya ketika kita berbuat dosa, kita menjauhi Allah dan mendekati setan, maka Allah pun menjauhi kita dan mendekati konsekuensi atau hukuman yang akan diberikan kepada kita. Setelah kita berbuat baik, maka kita pun kembali (taubat) kepada Allah dengan taubat yang seutuhnya (sebenarnya) dan meninggalkan setan. Maka Allah pun taubat (kembali) kepada kita dan meninggalkan hukuman yang Allah berikan kepada kita. Karena taubat kita, Allah tidak jadi meneruskan hukuman tersebut. Jadi kalau kita kembali (taubat) kepada Allah dari perbuatan dosa, maka Allah kembali (taubat) kepada kita dari menjatuhkan hukuman-Nya atas kita. Jika kita taubat (kembali) kepada Allah dengan memohon ampunan, maka Allah taubat (kembali) kepada kita dengan memberi ampunan dan kasih sayang-Nya kepada kita.

Itulah tahapan taubat yang saya fahami di Alquran. Dalam hadisnya, kita sering mendengar hadis Nabi Muhammad yang sangat terkenal, yang inti hadis tersebut adalah jika kita kembali kepada Allah sehasta (selangkah) maka Allah akan kembali kepada kita seribu hasta, jika kita kembali kepada Allah berjalan maka Allah kembali kepada kita berlari.

Kita tidak akan bisa menerima penjelasan ini kalau dalam otak dan hati kita masih ada penghalang. Penghalangnya adalah persepsi kita selama ini bahwa taubat itu sama artinya dengan menyesal memohon ampun. Berangkat dari persepsi yang salah tersebut, orang-orang menghina, menghujat bahkan ada yang mengancam membunuh saya. Karena yang ada dalam benak mereka adalah bagaimana mungkin Allah memohon ampun. Saya jawab : Tidak mungkin lah Allah memohon ampun, memangnya Allah salah apa? Dan Allah Maha suci dari kesalahan. Maha suci Allah dari apa yang kita sifatkan. Yang benar adalah Allah kembali kepada kita dengan membawa setumpuk ampunan dan kasih sayang dari (meninggalkan) hukuman yang Allah ancamkan kepada kita.

Untuk orang-orang yang sudah menghina, menghujat dan mengancam saya, maka saya senantiasa memaafkan sebelum mereka meminta maaf dan saya memohonkan ampunan kepada Allah atas mereka karena mereka adalah orang-orang yang belum mengerti. Jika ingin mengetahui lebih banyak tentang apa itu taubatan nasuha, contoh orang yang diterima taubatnya atau orang yang tidak diterima taubatnya, silahkan baca lebih lanjut di bukunya. Sekalian promosi. he..he.. Maaf.

Bersambung ke bagian yang sangat teknis dan detail tentang struktur dan grammer bahasa arabnya. Bagian ke dua nanti diperuntukkan bagi anda yang masih penasaran ingin tahu lebih lanjut atau bagi anda yang belum bisa menerima penjelasan di atas.

Bandar Lampung, ba’da subuh 17 September 2010



Judul : ALLAH pun TAUBAT
Penulis : Muhammad Farid
Penerbit : CV Anugerah
Tebal : 220 + vi halaman
harga : Rp. 60.000,-

Kehadiran buku ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas semakin ditinggalkannya Alquran sebagai referensi atau pedoman dalam kehidupan umat islam. Banyak cendekiawan muslim atau ulama yang lebih senang mengambil referensi dari kitab-kitab lainnya ketimbang Alquran. Akibatnya, tanpa disadari, kita telah disesatkan oleh kitab-kitab tersebut. Sudah saatnya kita kembali kepada Alquran. Sebab, jika kita tidak kembali pada Alquran, setan akan senantiasa menyertai kita.

“Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Alquran), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan), maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Q.S. Az Zukhruf [43]: 36)

Di buku ini, anda akan menemukan banyak sekali koreksi atas pemahaman yang telah berkembang luas di kalangan umat islam. Melalui buku ini, penulis ingin meluruskan pemahaman tersebut agar selaras dengan petunjuk yang ada dalam Alquran dan Hadis Nabi.

1. Kiat-Kiat Memahami Alquran
Selama ini kita beranggapan bahwa memahami Alquran itu sulit. Padahal ternyata ALLAH telah mudahkan Alquran sebagai pelajaran agar kita bisa mengambil pelajaran. (QS.54:17, 22, 32, 40). Dan ALLAH akan memberikan kepahaman kepada siapa saja yang Dia kehendaki. (QS.2:269). Bab ini menuturkan kiat-kiat atau tata krama memahami Alquran sehingga ALLAH menurunkan kehendak tersebut kepada kita.

2. Kiat Masuk Surga tanpa Mampir di Neraka
Ternyata tidak hanya para Nabi dan Rasul yang bisa langsung masuk surga, kita pun bisa langsung masuk surga tanpa harus terjerumus ke Neraka terlebih dahulu. Bab ini menjelaskan kiat langsung masuk surga secara praktis, sederhana dan logis berdasarkan ayat-ayat Alquran. Syaratnya hanya 2 yaitu beriman dan beramal shaleh, dimana amal shalehnya harus lebih banyak dari keburukannya.

3. Kematian itu Indah
Banyak orang yang takut mati. Bab ini akan menggugah kesadaran kita bahwa kematian bukanlah suatu hal yang harus ditakuti. Justru kita harus menyikapi kematian sebagai sebuah pintu gerbang yang akan mengantarkannya pada sang kekasih ALLAH swt dan surga yang dirindukannya selama ini.

4. Berislam, tetapi kekal di Neraka
Selama ini kita diajarkan, orang Islam pasti dijamin masuk surga walau harus masuk neraka terlebih dahulu. Ternyata menurut Alquran tidak demikian. Yang benar, barangsiapa yang banyak berbuat dosa, dimana dosanya lebih banyak dari kebaikannya, maka dia akan kekal di neraka dan tidak bisa keluar dari sana untuk selama-lamanya. (QS.2:80-81, 23:103).

5. Hidup itu Indah
Bab ini menggambarkan pribadi yang telah diselimuti kasih sayang dari ALLAH swt. Sehingga kejadian apapun yang menimpanya tidak akan membuatnya bersedih hati. Dia tidak pernah khawatir (stress) karena keyakinannya bahwa ALLAH beserta dia dimana saja dia berada.

6. Korupsi dan Zina Tidak Diampuni Allah.
Selama ini dosa syirik selalu saja dikaitkan dengan jin, dukun, ramalan. Padahal menurut Alquran syirik tidak hanya sebatas itu. Semua dosa jika dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa ALLAH telah melarangnya tapi tetap saja dilakukan terus menerus maka dia telah masuk dalam kategori syirik. Dia lebih menomorsatukan hawa nafsunya dan menomorduakan ALLAH. Itulah hakekat dari syirik. Karenanya dosa tersebut tidak akan diampuni dan hanya bisa ditutupi oleh kebaikan. Akibatnya kebaikan kita akan lenyap untuk menutupi dosa syirik tersebut.

7. Maksiat yang Mengantarkan ke Surga dan Ibadah yang Menjerumuskan ke Neraka
Bab ini memutarbalikkan pemahaman kita bahwa maksiat pasti akan menjerumuskan ke neraka dan ibadah pasti akan mengantarkan ke surga. Ternyata pemahaman itu tidak 100% benar.

8. Allah pun Taubat
Banyak orang menyangka, istilah ALLAH pun taubat hanya sebuah judul yang mengada-ada untuk menarik perhatian belaka. Padahal istilah ALLAH taubat memang benar-benar ada dalam Alquran. Menurut Alquran, taubat berbeda dengan minta ampun. Taubat artinya kembali. Jika kita kembali (taubat) pada ALLAH maka ALLAH pun akan taubat (kembali) kepada kita. Di bab ini anda akan menemukan proses taubat yang benar menurut Alquran. Proses taubat yang lebih tinggi kedudukannnya daripada taubatan nasuha.

9. Tiga Keanehan Jilbab
Di bab ini anda akan menemukan tiga keanehan jilbab yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat. Ternyata ibu-ibu yang sudah berhenti haid dan tidak ingin menikah lagi, tidak wajib lagi berjilbab (QS.24:60). Di bab ini juga dipaparkan bahwa cadar itu bertentangan dengan tujuan disyariatkan jilbab dalam Alquran.

10. Nabi Ibrahim pun “Kafir”
Sejak dulu kita diajarkan bahwa umat Kristen dan Yahudi sudah pasti kafir. Ternyata menurut Alquran, mereka belum tentu kafir. Oleh karena itu, mereka pun punya kesempatan untuk masuk surga. Kafir bukan hanya diartikan keluar dari islam. Bab ini akan memaparkan pengertian kafir yang sebenarnya menurut Alquran. Kita pun bisa dikategorikan kafir jika nyata-nyata menolak ayat-ayat Alquran.

11. Tujuh Kerancuan dalam Memandang Poligami
Bab ini menjelaskan banyak sekali kerancuan kita dalam memahami hukum poligami. Jika syarat poligami adalah berlaku adil maka di ayat lain ALLAH mengatakan bahwa kita sekali-kali tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istri (QS.4:129). Lantas bagaimana kita menyikapi poligami agar sesuai dengan Alquran? Temukan jawabannya dalam bab ini.

12. Cara Nabi Muhammad Menghadapi Penghinaan
Umat islam mudah sekali terpancing emosi jika ada pihak lain yang melakukan provokasi dengan mengolok-olok Nabi Muhammad dan Islam. Bab ini akan menguraikan bagaimana seharusnya sikap kita terhadap mereka menurut apa yang tertera dalam Alquran.

13. Rahasia Jepang, China, Zulkarnain, Ya’juj, dan Ma’juj dalam Alquran
Di bab ini anda akan menemukan kenyataan bahwa yang membangun tembok China pertamakali adalah orang islam. Selain itu dijelaskan pula siapa sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj yang ternyata sudah muncul dan bahkan pernah menguasai dunia.

14. Mukjizat Alquran
Bab ini menerangkan empat mukjizat Alquran yang telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern di abad ini. Sebuah bukti kebenaran firman ALLAH yang akan menguatkan keimanan kita dan menarik perhatian orang-orang yang belum beriman kepada Alquran.

Secara keseluruhan, buku ini akan membongkar pemahaman yang mengakar di benak kita selama ini. Agar pembaca mendapat manfaat dari buku ini, maka seluruh keuntungan dari penjualan buku akan di infakkan kapada yang berhak menerimanya menurut Alquran, kecuali sekedar kebutuhan penulis atau penerbit.

Buku ini bisa diperoleh di Toko Buku Gramedia dan Gunung Agung. Khusus untuk wilayah Bandar Lampung bisa juga diperoleh di Toko Buku Fajar Agung dan Balai Buku (diskon 20%).

Komentar pembaca :

"Tadinya saya tdk suka dgn judul buku ini tapi setelah separuh dibaca luar biasa isinya. Kajiannya menarik sekali, hampir selesai saya membacanya padahal baru tadi pagi buku ini ada di tangan". (081369019xxx)

"Barakallahu, selamat. Bagusnya punya ustad, berkafaah syar'i untuk rujukan & referensi". (081369319xxx)

"Sip Mantab, bagus, dengan bahasa deskripsi yang mudah dipahami. Merubah cara pandang beberapa hal yang sudah berakar di pemikiran kita selama ini. Bab yang saya paling suka "7 Kerancuan dalam memandang poligami". (Hmm harusnya semua laki2 membaca ini hehe)..." (Yunia Amelia).

“Saya berterimakasih kepada penulis karena setelah membaca buku ini, gairah untuk beribadah semakin kuat, untuk menutupi dosa-dosa saya selama ini”. (Pertha Lesmana)

Secara keseluruhan, buku ini akan membongkar pemahaman yang mengakar di benak kita selama ini. Agar pembaca mendapat manfaat dari buku ini, maka seluruh keuntungan dari penjualan buku akan di infakkan kapada yang berhak menerimanya menurut Alquran, kecuali sekedar kebutuhan penulis atau penerbit.

Buku ini bisa diperoleh di Toko Buku Gramedia dan Gunung Agung. Khusus untuk wilayah Bandar Lampung bisa juga diperoleh di Toko Buku Fajar Agung dan Balai Buku (diskon 20%).

Bab 1-5 bisa di download secara gratis di

http://www.4shared.com/file/142728533/c6d52025/e-book_Allah_pun_Taubat.html?err=no-sess

Jika mengalami kesulitan mendownload silahkan mencoba link berikut :

http://www.scribd.com/doc/29086361/E-book-Allah-Pun-Taubat

Sabtu, 02 Oktober 2010

NIKAH SIRI DALAM PANDANGAN ISLAM

Menengok sejarah Islam pada masa lalu, tidak ditemukan riwayat pemerintahan Islam memberikan sanksi pelaku nikah siri

Oleh: Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A

Akhir-akhir ini ramai dibicarakan tentang nikah siri. Pasalnya, pemerintah telah mempersiapkan Rancangan Undang Undang (RUU) Peradilan Agama Tentang Perkawinan yang membahas nikah siri, poligami, dan kawin kontrak.

Dalam RUU tersebut, nikah siri dianggap ilegal sehingga pasangan yang menjalani pernikahan model itu akan dipidanakan, di antaranya adalah kurungan maksimal 3 bulan dan denda maksimal Rp 5 juta. Sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara.

Oleh karenanya, Rancangan Undang Undang (RUU) Peradilan Agama Tentang Perkawinan di atas ditolak oleh banyak kalangan, karena akan membawa dampak yang buruk dan secara tidak langsung akan semakin menyuburkan pelacuran. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang Nikah Siri ?

Siri secara etimologi berarti sesuatu yang tersembunyi, rahasia, pelan-pelan. (Ibnu al Mandhur, Lisan al Arab : 4/ 356). Kadang Siri juga diartikan zina atau melakukan hubungan seksual, sebagaimana dalam firman Allah swt :

وَلَـكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا

“Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian untuk berzina (atau melakukan hubungan seksual) dengan mereka. “ (QS Al Baqarah : 235 )

Sirran pada ayat di atas menurut pendapat sebagian ulama berarti: berzina atau melakukan hubungan seksual. Pendapat ini dipilih Jabir bin Zaid, Hasan Bashri, Qatadah, AnNakh’i, Ad Dhohak, Imam Syafi’i dan Imam Thobari. (Tafsir al Qurtubi : 3/126). Pendapat ini dikuatkan dengan salah satu syi’ir yang disebutkan oleh Imru al Qais:

ألا زعمت بسباسة اليوم أنني كبرت و لا أحسن السر أمثالى

“Basbasah hari ini mengklaim bahwa aku sudah tua dan orang sepertiku ini tidak bisa lagi melakukan hubungan seksual dengan baik.“

Saat ini, nikah Siri dalam pandangan masyarakat mempunyai tiga pengertian:

Pengertian Pertama: Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi–sembunyi tanpa wali dan saksi. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafi’i di dalam kitab Al Umm 5/ 23,

أخبرنا مَالِكٌ عن أبي الزُّبَيْرِ قال أتى عُمَرُ بِنِكَاحٍ لم يَشْهَدْ عليه إلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ فقال هذا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْت تَقَدَّمْت فيه لَرَجَمْت

“Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata: “Ini adalah nikah sirri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam (pelakunya). “

Atsar di atas dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah ra:

أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن نكاح السر‏

“Bahwa nabi Muhammad saw melarang nikah siri. “ ( HR at Tabrani di dalam al Ausath dari Muhammad bin Abdus Shomad bin Abu al Jirah yang belum pernah disinggung oleh para ulama, adapun rawi-raiwi lainnya semuanya tsiqat (terpecaya) (Ibnu Haitami, Majma’ az-Zawaid wal Manbau al Fawaid (4/62) hadist 8057)

Pernikahan Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya tidak sah.

Pengertian Kedua: Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khayalak ramai.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah seperti ini:

Pendapat pertama: menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi makruh. Ini pendapat mayoritas ulama, di antaranya adalah Umar bin Khattab, Urwah, Sya’bi, Nafi’, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad (Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 7/ 434-435). Dalilnya adalah hadist Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

لا نِكاحَ إلا بوَلِيّ وشاهِدَيّ عَدْل

“Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil“ (HR Daruqutni dan al Baihaqi). Hadits ini disahihkan oleh Ibnu Hazm di dalam (al-Muhalla : 9/465).

Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khayalak ramai.

Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah akad mu’awadhah (akad timbal balik yang saling menguntungkan), maka tidak ada syarat untuk diumumkan, sebagaimana akad jual beli.

Begitu juga pengumuman pernikahan yang disertai dengan tabuhan rebana biasanya dilakukan setelah selesai akad, sehingga tidak mungkin dimasukkan dalam syarat-syarat pernikahan.

Adapun perintah untuk mengumumkan yang terdapat di dalam beberapa hadist menunjukkan anjuran dan bukan suatu kewajiban.

Pendapat Kedua: menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya tidak sah. Pendapat ini dipegang oleh Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab Hanabilah (Ibnu Qudamah, al Mughni : 7/ 435, Syekh al Utsaimin, asy-Syarh al-Mumti’ ’ala Zaad al Mustamti’, Dar Ibnu al Jauzi , 1428, cet. Pertama : 12/ 95). Bahkan ulama Malikiyah mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan istrinya, atau membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah melakukan hubungan seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan sangsi jika memang sengaja untuk merahasiakan pernikahan kedua mempelai tersebut. (Al Qarrafi, Ad Dzakhirah, tahqiq : DR. Muhammad al Hajji, Beirut, Dar al Gharb al Islami, 1994, cet : pertama : 4/ 401) Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

فَصْل بَيْنَ الحلالِ والحرامِ الدفُّ والصوت

“Pembeda antara yang halal (pernikahan) dan yang haram (perzinaan) adalah gendang rebana dan suara. “ (HR an Nasai dan al Hakim dan beliau mensahihkannya serta dihasankan yang lain).

Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

أعلنوا النكاح، واجعلوه في المساجد، واضرِبُوا عليه بالدُّفِّ

“ Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya." ( HR Tirmidzi, Ibnu Majah ) Imam Tirmidzi berkata: Ini merupakan hadits gharib hasan pada bab ini.

Pengertian Ketiga: Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA.

Pertanyaannya, kenapa sebagian masyarakat melakukan pernikahan dalam bentuk ini? Apa yang mendorong mereka untuk tidak mencatatkan pernikahan mereka ke lembaga pencatatan resmi? Ada beberapa alasan yang bisa diungkap di sini, di antaranya adalah:

a. Faktor biaya, yaitu sebagian masyarakat khususnya yang ekonomi mereka menengah ke bawah merasa tidak mampu membayar administrasi pencatatan yang kadang membengkak dua kali lipat dari biaya resmi.

b. Faktor tempat kerja atau sekolah, yaitu aturan tempat kerjanya atau kantornya atau sekolahnya tidak membolehkan menikah selama dia bekerja atau menikah lebih dari satu istri.

c. Faktor sosial, yaitu masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif kepada setiap yang menikah lebih dari satu, maka untuk menghindari stigma negatif tersebut, seseorang tidak mencatatkan pernikahannya kepada lembaga resmi.

d. Faktor-faktor lain yang memaksa seseorang untuk tidak mencatatkan pernikahannya.

Bagaimana hukum nikah siri dalam bentuk ketiga ini?

Pertama: Menurut kaca mata syariat, nikah siri dalam katagori ini, hukumnya sah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi.

Kedua: namun, menurut kaca mata hukum positif di Indonesia dengan merujuk pada RUU Pernikahan di atas, maka nikah siri semacam ini dikenakan sanksi hukum.

Pertanyaannya adalah kenapa negara memberikan sanksi kepada para pelaku nikah siri dalam katagori ketiga ini? Apakah syarat sah pernikahan harus dicatatkan kepada lembaga pencatatan? Bagaimana status lembaga pencatatan pernikahan dalam kaca mata syari’at?

Kalau kita menengok sejarah Islam pada masa lalu, ternyata tidak ditemukan riwayat bahwa pemerintahan Islam memberikan sangsi kepada orang yang menikah dan belum melaporkan kepada negara. Hal itu, mungkin saja belum ada lembaga pemerintahan yang secara khusus menangani pencatatan masalah pernikahan, karena dianggap belum diperlukan. Dan memang pernikahan bukanlah urusan negara tetapi merupakan hak setiap individu, serta merupakan sunah Rasulullah saw.
Namun, beriring dengan perkembangan zaman dan permasalahan masyarakat semakin kompleks, maka diperlukan penertiban-penertiban terhadap hubungan antarindividu di dalam masyarakat. Maka, secara umum negara berhak membuat aturan-aturan yang mengarah kepada maslahat umum, dan negara berhak memberikan sangsi kepada orang-orang yang melanggarnya. Hal itu sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

تصرف الراعي منوط بمصلحة الرعية

“Kebijaksanaan pemimpin harus mengarah kepada maslahat masyarakat.“ (As Suyuti, al Asybah wa An-Nadhair, Bierut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1993, Cet. Pertama, hlm : 121)

Maka, dalam ini, pada dasarnya negara berhak untuk membuat peraturan agar setiap orang yang menikah, segera melaporkan kepada lembaga pencatatan pernikahan. Hal itu dimaksudkan agar setiap pernikahan yang dilangsungkan antara kedua mempelai mempunyai kekuatan hukum, sehingga diharapkan bisa meminimalisir adanya kejahatan, penipuan atau kekerasan di dalam rumah tangga, yang biasanya wanita dan anak-anak menjadi korban utamanya.

Oleh karenanya, jika memang tujuan pencatatan pernikahan adalah untuk melindungi hak-hak kaum wanita dan anak-anak serta untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum, maka mestinya negara tidak mempersulit proses pencatatan pernikahan tersebut, di antaranya adalah mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

a. Memberikan keringanan biaya bagi masyarakat yang tidak mampu, bukan malah meminta bayaran lebih, dengan dalih bekerja di luar jam kantor.

b. Membuka pelayanan pada hari-hari di mana banyak diselenggarakan acara pernikahan.

c. Tidak mempersulit orang-orang yang hendak menikah lebih dari satu, selama mereka bertanggung jawab terhadap anak dan istri mereka.

Tetapi jika ada tujuan-tujuan lain yang tersembunyi dan tidak diungkap, maka tentunya peraturan tersebut harus diwaspadai, khususnya jika terdapat indikasi-indikasi yang mengarah kepada pelarangan orang yang ingin menikah lebih dari satu, padahal dia mampu dan sanggup berbuat adil, jika keadaannya demikian, maka rancangan undang-undang tersebut telah merambah kepada hal-hal yang bukan wewenangnya, dan melarang sesuatu yang halal, serta telah mengumumkan perang terhadap ajaran Islam, dan secara tidak langsung memberikan jalan bagi perzinahan dan prostitusi yang semakin hari semakin marak di negeri Indonesia ini. Wallahu A’lam. Sumber: Hidayatullah.com

HATI YANG BERSIH




Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Akhir-akhir ini saya banyak membaca buku sufi, ternyata saya baru tahu bahwa penyucian hati atau tazkiyatun-nufus merupakan perkara besar dalam Islam. Apalah artinya beramal saleh, jika hati kita masih kotor, penuh dengan sifat-sifat buruk? Semua amalan bisa rusak seketika, bahkan bisa hilang tanpa bekas, jika ternyata masih ada riya’ dalam diri.

Melalui rubrik ini, saya ingin bertanya kepada Ustadz tentang indikasi hati yang bersih, mudah-mudahan dengan jawaban tersebut saya bisa mengoreksi sejauh mana kondisi hati saya saat ini. Terima kasih atas jawaban Ustadz.

UG
Jambi

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, kami ingin meluruskan pernyataan Saudara tentang amal saleh. Menurut kami, amal saleh itu adalah perbuatan baik yang dilakukan oleh orang yang baik karena niat dan motivasi yang baik dan benar. Suatu perbuatan yang tidak dilandasi oleh niat dan landasan akidah yang benar, menurut kami bukan termasuk amal saleh. Dengan pengertian seperti ini, maka amal saleh itu tetap berguna kapan dan di manapun juga. Tidak ada amal saleh yang sia-sia.

Tentang hati, Imam Al-Ghazali membagi menjadi tiga jenis, yaitu: hati yang mati, hati yang sakit, dan hati yang sehat. Hati sakit adalah hatinya orang-orang kafir yang telah menutup diri dari kebenaran. Satu-satunya cara menghidupkan hati yang mati adalah dengan membuka tutup yang selama ini telah menutupi dan melindunginya dari hidayah.

Hati yang sakit adalah hatinya orang-orang mukmin yang terserang satu atau lebih penyakit jiwa, seperti hasad, riya’, ujub, dan takabbur. Penyakit hati itu bisa disembuhkan dengan “Tazkiyatun-nufus”, membersihkan hati. Setiap Muslim wajib mendiagnosa penyakit hatinya, kemudian dengan sungguh-sungguh mengobatinya agar hatinya sehat dan selamat.

Hati yang sehat adalah hatinya orang beriman yang lapang dan terbebas dari segala bentuk penyakit hati. Orang-orang yang hatinya sehat merasakan kelapangan dan kemudahan hidup. Hatinya tenang karena menerima qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terhindar dari rakus dan iri hati. Jauh dari rendah diri dan tinggi hati. Sebaliknya, mereka tampak tawadhu dan optimis. Selalu bahagia, tidak mengeluh. Selalu bersikap positif, tidak curiga, dan buruk sangka, terutama kepada Allah. Senantiasa bersyukur menghadapi nikmat dan bersabar ketika mendapati musibah.

Hati yang sehat adalah hati yang bebas dari noda syirik hingga sekecil kecilnya dan seremeh-remehnya. Berserah diri kepada-Nya dengan segenap keyakinannya. Mengimani ke-Ilahiyan- Nya beserta nama-nama dan sifat-sifat- Nya.

Hati yang sehat adalah hati orang beriman yang beribadah kepada Allah dengan sukarela, rasa cinta, tawakkal, khusyu, khudhu’ (merendah), dan raja’ (penuh harap), sambil mengikhlaskan amalnya semata-mata karena Allah Ta’ala.

Hati yang sehat adalah hati yang menerima perintah dan larangan Allah dengan penuh ketundukan dan keridhaan. Bila disebut nama Allah, maka bergetarlah hatinya. Bila dibaca ayat-ayat Allah, maka bertambahlah imannya.

Hanya orang-orang yang hatinya sehat saja yang nantinya bakal dipanggil Allah masuk ke dalam golongan hamba-hamba- Nya, dan masuk ke dalam surga-Nya:
” Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba- Ku, Masuklah ke dalam surga-Ku.” (Al-Fajr [89]: 27 – 30)

Hanya dengan hati yang sehat saja, kita akan selamat menempuh perjalanan akhirat menuju Allah. Ketika harta, keluarga, dan kolega tidak ada manfaat dan gunanya, maka hati yang sehat saja yang nanti akan berguna. Allah berfirman: ”Yaitu di hari harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah denagn hati yang sehat (Qalbun Salim)” (Asyu’ara [26]: 88 – 89).*

SUARA HIDAYATULLAH, AGUSTUS 2010