Senin, 16 Mei 2011

HUKUM 'AZL DALAM PANDANGAN ISLAM



Oleh: Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Mengenai masalah ‘Azl ada dua pendapat masyhur dari para ulama, yaitu:

[a]. Azl Itu Dibolehkan.
Ia boleh mengeluarkan air maninya di luar (kemaluan) isterinya.

Arti ‘azl ialah mencabut setelah memasukkan (kemaluannya) untuk mengeluarkan mani di luar vagina. [1]

Mengenai hal ini terdapat sejumlah hadits, di antaranya:

Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir, ia menuturkan: "Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam" [2]

Kedua, apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari juga dari Jabir, ia mengatakan: "Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan (ayat-ayat) al-Qur'an (masih) turun." [3]

Ketiga, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Sa’id al-Khudri, ia mengatakan: "Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu mengatakan: ‘Aku mempunyai sahaya wanita, dan aku biasa melakukan ‘azl darinya, sedangkan aku menginginkan sesuatu seperti yang diinginkan laki-laki. Kaum Yahudi mengklaim bahwa ‘azl adalah penguburan kecil terhadap bayi hidup-hidup.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

"Artinya : Kaum Yahudi berdusta. Seandainya Allah berkehendak untuk menciptakannya, maka tidak mampu menolaknya.’” [4]
Keempat, hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya dari Jabir bahwa seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan, "Aku mempunyai sahaya wanita, dia pelayan kami dan yang menyirami pohon kurma kami. Aku biasa menggaulinya, dan aku tidak suka jika dia hamil." Maka, beliau menjawab: "Ber-’azllah darinya, jika engkau suka. Sebab, akan datang kepadanya apa yang telah ditentukan baginya." Orang ini pun melakukannya. Beberapa waktu kemudian, dia datang kepada beliau seraya mengatakan: "Sahaya wanitaku telah hamil." Beliau mengatakan: "Aku telah mengabarkan kepadamu bahwa akan datang kepadanya apa yang telah ditentukan baginya." [5]

Kelima, Muslim meriwayatkan dari Jabir, dia mengatakan: "Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu hal itu sampai (terdengar) kepada Nabi Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak melarang kami." [6]

[b]. Yang Terbaik Adalah Tidak Melakukannya. [7]
Benar, dalam hadits-hadits yang terdahulu terkesan bahwa ‘azl dibolehkan, tetapi di sana terdapat hadits-hadits lainnya yang menunjukkan bahwa tidak ber’azl adalah lebih baik, di antaranya:

Pertama, menyelisihi perintah beliau yang tegas agar memperbanyak anak dan keturunan, sebagaimana dalam sabdanya.

"Artinya : Nikahilah wanita yang belas kasih dan subur (banyak anak), sebab aku akan membangga-banggakan jumlah kalian pada umat-umat lainnya."[8]

Kedua, jika sekiranya wanita tidak mengizinkan hal itu, maka hal ini memberikan kerugian padanya, yaitu tidak mendapatkan kenikmatan pada saat bersenggama.
Yang pasti, hal yang makruh menurut saya, -bila tidak diiringi kedua perkara tadi atau salah satunya- adalah hal lain, yakni yang merupakan tujuan kaum kafir dalam melakukan ‘azl. Misalnya, takut miskin karena banyak anak, atau berat untuk memberi nafkah dan mendidik mereka. Dalam keadaan demikian, maka yang makruh terangkat menjadi haram, karena niat orang yang melakukan ‘azl bertemu dengan kaum kafir yang membunuh anak-anak mereka karena takut miskin dan fakir. Lain halnya bila wanita (isteri) sedang sakit... [16]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
_________
Foote Note
[1]. Fathul Baari (IX/305).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5207) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1440) kitab an-Nikaah.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5209) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1440) kitab an-Nikaah.
[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 1136), Abu Dawud (no. 2173) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 11110), dengan sanad yang shahih.
[5]. HR. Muslim (no. 1439) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2173) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 89), kitab al-Muqaddimah, Ahmad (no. 13936)
[6]. Telah ditakhrij sebelumnya.
[7]. Ini pendapat al-Hafizh dalam Fat-hul Baari (IX/306).
[8]. HR. An-Nasa-i (no. 3227) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2050) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1846) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 12202), dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1811).
[9]. HR. Muslim (no. 1442) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 2011) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 26496).
[10]. Disebutkan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/309).
[11]. Fat-hul Baari (IX/309).
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 5210) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1438) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1138) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1926) kitab an-Nikaah.
[13]. Dinyatakan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/307).
[14]. Dinyatakan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/308).
[15]. Ibid.
[16]. Aadaabuz Zifaaf, Syaikh al-Albani (hal. 136).