Selasa, 31 Mei 2011

PANDANGAN PARA IMAM TENTANG HUKUM/PENDAPATNYA

Para imam banyak menulis kitab untuk menuangkan pendapatnya tentang berbagai hal. Dalam perkembangannya pendapat-pendapat tersebut membentuk berbagai madzhab, diantaranya adalah 4 (empat) madzhab yang terkenal di Indonesia.

Sayang, banyak yang kemudian terjerumus pada sikap fanatik madzhab, seakan-akan pendapat imam adalah sebuah aksioma agama yang tidak bisa diutak-atik. Sementara para imam tidak pernah menyarankan sikap demikian. Justru para imam tersebut memberikan contoh yang sebaliknya, agar umat Islam selalu mengembalikan pendapat pada petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berikut perkataan (qaul) mereka.

Abu Hanifah rahimahullah
Qaul 1: “Apabila aku mengeluarkan suatu pendapat yang bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, maka tinggalkanlah pendapatku itu.”1

Perkataan ini diulas oleh as-Syuhnah dalam kitabnya Syarh al-Hidayah; “Apabila suatu hadits shahih bertentangan dengan madzhab, maka hadits itulah yang mesti diamalkan. Demikian inilah pendapat madzhab Abu Hanifah, jadi para pengikut madzhab tidaklah dikatakan keluar dari garis pengikut Hanafi disebabkan mengamalkan hadits tersebut.”

Qaul 2: “Apabila hadits itu shahih, itulah madzhabku.”2

Malik bin Anas rahimahullah
Qaul 1: “Aku hanyalah manusia biasa yang pendapatku bisa benar dan bisa salah. Karena itu telitilah pendapat yang aku kemukakan. Semua pendapat yang selaras dengan al-Qur'an dan as-Sunnah ambillah, jika tidak selaras tinggalkanlah.”3

Qaul 2: “Semua perkataan manusia sama, bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.”4

Al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah
Qaul 1: “Suatu sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mungkin sampai pada seseorang atau tidak. Jadi kalau aku pernah berpendapat atau merumuskan suatu prinsip ternyata ada hadits yang sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan sebaliknya, maka pendapat yang betul adalah yang Nabi katakan dan aku pun berpendapat dengannya.”5

Qaul 2: “Setiap hadits yang sah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan menjadi pendapatku walaupun sebelumnya kamu tidak pernah mendengarnya dariku.”6

Qaul 3: “Apabila kamu mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka berpeganglah kepada hadits tersebut dan tinggalkan pendapatku (atau tulisanku).”7

Qaul 4: “Pertama, suatu berita yang berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diterima. Kedua, berita atau hadits tersebut wajib diterima jika telah terbukti sah, walaupun para imam belum ada yang mengamalkan atau mengajarkannya. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat seorang imam harus ditinggalkan jika bertentangan dengan hadits Nabi, diganti dengan petunjuk yang berasal dari hadits Nabi. Disamping itu, hadits yang diyakini sah dari Nabi adalah sebuah kepastian yang tidak perlu dikonfirmasikan dengan pendapat seseorang.”8

Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Qaul 1: “Seluruh perkataan bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.”99

Qaul 2: “Pendapat al-Auza'i, Malik, dan Abu Hanifah, semuanya hanyalah pendapat. Aku pandang sama di sisiku, yang mesti jadi rujukan (mutlak) hanyalah sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.”10

Jangan-jangan Kita yang Lancang

Berkata Syaikh al-Albani rahimahullah tentang perkataan para imam tersebut; “Kenyataan tersebut menggambarkan ketinggian ilmu dan ketakwaan para imam tersebut. Melalui perkataan tersebut, mereka menegaskan bahwa dirinya tidaklah menguasai sunnah secara keseluruhan. Kadangkala didapati (pada imam madzhab) beberapa perkara yang menyelisihi sunnah, karena riwayat tentangnya (tentang perkara tersebut) tidak sampai kepadanya. Apabila mengetahui sunnah tersebut, tentu mereka akan memerintahkan kita agar berpegang teguh dengannya dan menjadikannya sebagai madzhab mereka. Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka, semuanya.”11

Tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa seseorang harus berpegang dengan qaul salah seorang imam yang empat secara mutlak. Bahkan mencampuradukkan pendapat satu imam dengan imam yang lain tidak boleh. Pendek kata seorang muslim, menurut kelompok ini, harus setia sampai mati dengan qaul seorang imam.

Sikap macam apakah ini? Tak lebih sebagai sikap ta'ashub yang berlebihan. Bahkan kalau ditimbang dengan qaul para imam tersebut diatas merupakan bentuk kelancangan terhadap nasihat imam yang, katanya, mereka hormati dan muliakan tersebut. Sebenarnya bukan hormat dan memuliakan, justru dalam kenyataannya bersikap sok tahu dan menyalahkan petunjuk para imam. Bukankah para imam berpesan agar tidak mendewakan pendapatnya? Mereka selalu memerintahkan agar mengembalikan segala pendapat kepada petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lantas?!

Catatan kaki:

^ Riwayat Shalih al-Fulani dalam Iqaz al-Himam, hal. 50.
^ Riwayat Ibn ‘Abd al-Barr dari al-Imam Abu Hanifah. Shifatu Shalatin-Nabi, hal. viii.
^ Riwayat Ibn ‘Abd al-Barr dalam Jami' Bayan al-Ilm, jilid. 2, hal. 32.
^ Jami' Bayan al-Ilm, jilid. 2, hal. 91.
^ Riwayat Ibn ‘Asakir di dalam Tarikh Dimashq, 15/1/3. al-Imam Ibn ‘Asakir lahir pada 499 H/1106 M di Dahalyik. Seorang ahli sejarah dan ahli hadits yang terkemuka di kalangan madzhab asy-Syafi‘i pada abad ke 5 H. Nama aslinya Abu al-Qasim ‘Ali bin al-Hassan, wafat pada 571 H/1176 M.
^ Riwayat Ibn Abi Hatim di dalam al-Adab, hal. 93-94.
^ Riwayat al-Khatib al-Baghdadi di dalam al-Ihtijaj bi asy-Syafi‘i, jilid. 8, hal. 2 dan al-Nawawi dalam al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, jilid. 1, hal. 63. Al-Imam an-Nawawi adalah seorang imam mujtahid yang masyhur bagi madzhab asy-Syafi‘i. Nama aslinya Abu Zakaria Yahya bin Syaraf lahir di Syiria pada 631 H/1233 M. Diantara karangan Beliau ialah kitab fiqh madzhab asy-Syafi‘i berjudul al-Majmu' Syarh al- Muhadzdzab dan Syarh Shahih Muslim. Wafat pada 676 H/1277 M.
^ Ar-Risalah, al-Imam asy-Syafi'i. 423/3.
^ Abu Dawud dalam Masa'il al-Imam Ahmad, hal. 276. Al-Imam Abu Dawud ialah Sulaiman bin al-Asy'ath as-Sijistan, lahir pada 202H/818M, sempat berguru kepada Ahmad bin Hanbal bersama al-Bukhari dan Muslim. Kitabnya yang terkenal ialah Sunan Abu Dawud, terdiri dari 4800 buah hadits. Selain itu Beliau juga mengarang belasan kitab lain sebelum meninggal dunia pada 275 H/889 M di Basrah, Irak.
^ Jami' Bayan al-Ilm, jilid. 2, hal. 149.
^ Shifatu Shalatin-Nabi, hal. viii.

barokallohu fikum....

TAWASSUL

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menghamba mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya.Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS. 39:3)

"Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu mendengar, dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka itu berpaling membelakang. (QS. 30:52)".

Tawassul yang disyariatkan :

1. Tawassul kepada Allàh dengn nama-nama dan sifat-sifatnya.
Dasarnya adalah firman Allàh , 'Hanya milik Allàh asma' al-husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma' al-husna itu.' (Qs.al A'raf:180)

2. Memuji Allàh dan membaca sholawat kepada Nabi di permulaan doa.
Dasarnya adalah hadits dari Fadhalah bin Ubaid, dari Nabi, beliau mendengar seseorang memohon dalam doanya, maka beliau bersabda:
'Orang ini tergesa-gesa.' Lalu memanggilnya dan mengatakan kepadanya:
'Jika salah seorang dari kalian berdoa, maka awalilah dengan memuji kepada Allàh serta bersholawatlah kepada Nabi selanjutnya berdoalah sesukanya.'

3. Bertawassul dengan doa orang-orang sholih dengan harapan doa mereka dikabulkan oleh Allàh. Caranya memohon seorang muslim yg MASIH HIDUP agar mendoakan untuknya.
Dasarnya adalah ucapan anak-anak Ya'qub kepada ayahnya :
'Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah.' (Qs.Yusuf:97).

Demikian pula kisah seorang badui yang datang kepada Nabi agar memohon kepada Allàh supaya menurunkan hujan, lalu Rasulullàh berdoa kepada Allàh.

Demikian pula Umar dan para sahabatnya meminta kepada al-Abbas agar memintakan hujan untuk mereka, yakni berdoa kepada Allàh agar menurunkan hujan kepada mereka.

(sumber Tahdzib Tashil al Aqidah al Islamiyyah hal 185-187 )

Selasa, 24 Mei 2011

AHLUS SUNNAH TIDAK MENYUKAI BANYAK BICARA DAN DEBAT KUSIR

Oleh: Abul Fudhail

Di antara kebiasaan yang dilakukan generasi salafus shalih adalah menjauhi debat yang tidak bermanfaat serta menjauhi perselisihan-perselisihan atau cekcok dalam urusan agama. Mereka melarang keras perbuatan tersebut dan mengingkari orang-orang yang melakukannya. Dalam kitab Fadlu Ilmi Salaf, Ibnu Rajab berkata bahwa di antara hal-hal yang dibenci oleh generasi salaf adalah debat kusir dan cekcok dalam permasalahan-permasalahan halal dan haram. Dan hal itu bukanlah jalan yang ditempuh oleh para imam kaum muslimin, akan tetapi baru muncul pada generasi setelah mereka.

Imam Malik menegaskan hal yang penting ini, sebagaimana dinukil oleh Imam as-Satibi dalam kitab al-’Itisom bahwa debat yang tidak berguna itu tidak termasuk dalam bagian agama sama sekali (bid’ah). Imam al-Lalikai menukil perkataan Imam Malik dalam kitab Syarhul Usul I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah berkata, “Aku membenci debat dalam permasalahan-permasalahan agama. Dan penduduk negri kita (Madinah) senantiasa membenci dan melarangnya, seperti berdebat seputar pemikiran Jahmiah dan Qadariah dan yang semacamnya. Dan aku membenci perbincangan, kecuali perbincangan yang akan mendatangkan manfaat berupa amal.”

Ibnu Abdil Bar menyatakan dalam kitab beliau Jami al-Bayan al-Ilmi, menukil perkataaan Imam Ahmad bahwa beliau berkata, “Berpeganglah kalian dengan atsar sahabat dan al-hadits, dan sibukkanlah diri kalian dengan hal-hal yang bermanfaat. Jauhilah berbantah-bantahan, karena orang yang suka berdebat tak akan pernah beruntung.”

Beliau juga berkata, “Tak akan pernah bahagia orang yang suka berdebat. Dan tidaklah engkau menjumpai seseorang yang suka berdebat kecuali di hatinya tersimpan sebuah penyakit.”

Imam al-Ajuri di dalam kitab beliau asy-Syari’ah, menyinggung pokok yang penting ini. Dia menukil perkataan Imam al-Auzai yang berkata, “Hendaklah kalian berpegang teguh pada jejak generasi salaf walaupun kalian ditinggalkan manusia. Dan janganlah kalian tergiur oleh pendapat-pendapat orang belakangan walaupun dipoles dengan ungkapan-ungkapan indah.

Inilah jalan para generasi Salafus shaleh. Mereka melarang manusia dari debat sia-sia tentang agama. Dan keengganan mereka untuk berdebat itu bukanlah karena mereka itu bodoh atau karena takut kepada manusia atau karena tidak mampu sebagaimana diduga oleh sebagian orang bodoh. Tetapi mereka mengekang dari hal itu semata-mata takut kepada Allah.

Sebagaimana dinukil Imam al-Ajuri dalam kitab beliau asy-Syari’ah dari Ibnu Sirrin, beliau berkata kepada seseorang yang mengajak beliau untuk berdebat, “Aku mengerti apa yang engkau inginkan; dan sebenarnya aku lebih pandai bersilat lidah daripada kamu, tetapi aku tidak berselera untuk berdebat denganmu.”

Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab beliau Fadlu Ilmi Salaf menegaskan ketentuan ini dan membantah orang yang menuduh bahwa generasi salaf (karena tidak banyak bicara) sebagai orang yang lemah dan bodoh. Beliau berkata, “Sungguh telah terfitnah orang banyak dari generasi kiwari ini dengan penyakit suka bedebat atau berbantah-bantahan. Mereka menyangka bahwa orang yang banyak bicara dan berdebat dalam masalah agama adalah lebih alim dari orang yang tidak banyak bicara dan berdebat. Hal ini sangat bodoh karena komentar-komentar generasi tabi’in lebih banyak dari pada komentar para sahabat, padahal para sahabat lebih alim dari tabi’in; dan begitu pula komentar-komentar generasi tabiut tabi’in lebih banyak dari generasi tabi’in, padahal generasi tabi’in lebih alim dari generasi tabiut tabi’in.”

Maka banyaknya ilmu itu tidak bisa diukur dengan banyaknya komentar dan riwayat, karena ilmu itu adalah merupakan cahaya yang terpendam di hati. Dengan ilmu itu seseorang dapat memahami kebenaran dan dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil dan kemudian dengan ilmunya dia bisa mengungkapkan secara ringkas dan mudah difahami. Rasulullah sendiri adalah orang yang diberikan oleh Allah, jawaami’ul kalim (ucapan-ucapan ringkas dan padat) dan berkata dengan perkataan yang pendek. Oleh karenanya terdapat larangan dari Rasulullah agar jangan banyak bicara dan menyibukkan diri dengan qila wa qola (yakni menyebarkan berita yang belum pasti dan tidak berguna).

Maka menjadi sebuah keharusan untuk meyakini bahwa tidak mesti orang yang lebih banyak ulasannya terhadap suatu ilmu lebih alim dari orang yang tidak banyak berkomentar. Dan sungguh sekarang ini kita telah tertimpa musibah berupa banyaknya orang-orang bodoh yang yakin bahwa sebagian orang yang banyak mengeluarkan analisa dan pendapat lebih alim daripada ulama-ulama salaf. Ini adalah merupakan pelecehan berat terhadap salafus shalih, berburuk sangka kepada mereka dan memberikan predikat buruk kepada mereka berupa kejahilan dan minimnya ilmu.

Faktor Diamnya Para Salaf Dari Perdebatan Atau Berbantah-Bantahan

Para salafus shalih senantiasa menjauhi debat atau berbantah-bantahan tentang masalah agama, karena banyak debat itu akan mendatangkan musibah berupa kegoncangan hati, sehingga hati tersebut tidak bisa kokoh untuk berpijak di atas suatu prinsip. Sebagaimana dinukil oleh Imam al-Ajuri dari Umar bin Abdul Aziz yang berkata bahwa barang siapa suka berdebat maka dia akan sering berubah prinsip.

Selain itu banyak berdebat akan membawa seseorang terjerumus ke dalam kesesatan dan kerancuan antara yang haq dan yang bathil. Sehingga Imam Abu Qilabah berkata sebagaimana dinukil oleh al-Ajuri di dalam kitab As-Syari’ah, “Janganlah kalian berbincang-bincang tentang masalah agama dengan ahli bid’ah. Dan jangan pula melakukan perdebatan dengan mereka, karena tidak akan menjamin kalian bisa selamat dari keburukan mereka. Juga karena mereka akan berusaha membenamkan kalian kedalaam lumpur kesesatan dan membuat kalian bingung serta ragu terhadap sebagian urusan agama kalian sebagaimana halnya mereka.”

Dan begitu pula perdebatan akan mengakibatkan timbulnya rasa kebencian dan permusuhan di hati. Imam Malik menuturkan dalam kitab al-Ibanah bahwa berbantah-bantahan tentang sebuah ilmu akan menyebabkan hati menjadi keras dan memicu timbulnya kedengkian.

Perincian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Tentang Manhaj Ini

Syaikhul Islam Ibnu Taimi menjelaskan bahwa salafus shalih adalah orang-orang yang tidak menyukai debat dan perselisihan dalam agama, namun demikian terkadang mereka mau berdebat dan adu hujjah, jika memang dibutuhkan dan terpaksa atau dalam rangka mengenyahkan kerusakan dan kebathilan.

Beliau berkata lagi di dalam kitab Darut Ta’arud an Naqli wal ‘Aqli, bahwa sesuatu yang tercela menurut kacamata syar’i adalah sesuatu yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti debat dalam rangka membenarkan yang bathil dan debat kusir (tanpa ilmu) dan mendiskusikan sebuah kebenaran yang jelas dan gamblang (seperti wajibnya shalat dan lain-lain).

Adapun debat yang sesuai syari’at (dalam rangka mendakwahi orang-orang jahil, atau dalam rangka sama-sama mencari kebenaran) adalah yang diperintahkan Allah seperti dalam firman-Nya,

“Mereka berkata, Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami.” (QS. Hud:32)

Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. al-An'am:83)

Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan)? Ketika Ibrahim mengatakan, Rabbku ialah yang menghidupkan dan mematikan, orang itu berkata, Saya dapat menghidupkan dan mematikan. Ibrahim berkata, Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat, lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. al-Baqarah:258)

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. an-Nahl:125) dan ayat-ayat lain yang semisalnya. Bahkan justru merupakan sesuatu yang wajib atau mustahab (yang dianjurkan). Jidal (adu hujjah) seperti ini tidaklah dilarang dan dicela oleh syari’at.

Beliau juga berkata, “Jadi,yang dimaksud larangan para salaf dalam berdebat adalah yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat untuk melakukan perdebatan (kurang ilmu dan lain-lain) atau perdebatan yang tidak mendatangkan kemaslahatan yang pasti; berdebat dengan orang yang tidak menginginkan kebenaran, serta berdebat untuk saling unjuk kebolehan dan saling mengalahkan yang berujung dengan ujub (bangga diri) dan kesombongan.

Jidal (adu hujjah) adalah masalah yang hukumnya belum pasti; dan untuk menentukan hukum tentang masalah ini, tergantung kepada kondisi yang ada. Sedangkan debat yang sesuai dengan syari’at, maka hukumnya terkadang wajib dan terkadang mustahab.

Kesimpulannya, debat itu terkadang terpuji dan terkadang tercela; terkadang membawa mafsadat (kerusakan) dan terkadang membawa mashlahat (kebaikan); terkadang merupakan sesuatu yang haq dan terkadang merupakan sesuatu yang bathil.

[Diringkas dan diterjemahkan dari tulisan Dr.‘Adil al-Muthayyarot dalam Majalatil Furqaan ‘adad 227]

http://www.mail-archive.com/fupm-ejip@usahamulia.net/msg00697.html

Senin, 23 Mei 2011

ZIARAH KUBUR DAN MENDO'AKAN MAYIT SETELAH DIKUBUR

Dari Buraidah ra. berkata, Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Tadinya aku melarang kamu sekalian untuk ziyarah kubur, tapi kini berziyarahlah kamu sekalian". (HR. Muslim) ---->Dalam riwayat lain dikatakan: "Maka barangsiapa yang ingin ziyarah kubur maka berziyarahlah ia karena sesungguhnya ziyarah kubur itu dapat mengingatkan pada akhirat".

Dari Buraidah ra. berkata: "Nabi Sallallahu 'Alaihi wa Sallam sering mengajarkan kepada para shahabat bila mereka pergi ke kubur, yaitu hendaklah ia mengucapkan: "ASSALAAMU'ALAIKUM AHLAD DIYAARI MINAL MUKMIMINIINA WAL MUSLIMIINA WA-INNAA IN...SYAA-ALLAAHU BIKUM LAAHIQUN. AS-ALULLAAHA LANAA WALAKUMUL 'AAFIYAH (Kesejahteraan semoga terlimpahkan atas kamu sekalian wahai penghuni perkampungan yang terdiri dari orang-orang mukmin dan muslim, dan kami insya Allah akan menyusul kamu sekalian. Saya memohon semoga Allah melimpahkan keselamatan kepada kami dan kepada kamu sekalian" (Riwayat Muslim).

Dari Ibnu 'Abbas ra. berkata: "Rasulullah melewati kubur di Madinah, kemudian beliau menghadapkan wajahnya kepada akhli kubur dan mengucapkan: "ASSALAAMU'ALAIKUM YAA AHLAL QUBUURI YAGHFIRULLAAHU LANAA WALAKUM. ANTUM SALAFUNAA WANAHNU BIL ATSAR (Kesejahteraan semoga terlimpahkan atas kamu sekalian wahai penghuni kubur, semoga Allah memberi ampunan kepada kami dan kepada kamu sekalian. Kamu sekalian telah mendahului kami dan kami akan mengikutinya)". (Riwayat At-Turmudzy).

Dari Abu 'Amr, ada yang memanggilnya dengan Abu 'Abdullah, ada pula yang memanggilnya dengan Abu Laila 'Utsman bin 'Affan ra. berkata: "Apabila Nabi Sallallahu 'Alaihi wa Sallam telah selesai menguburkan mayit maka beliau berdiri dan bersabda: "Mintalah ampun untuk saudaramu dan mohonlah kepada Allah agar ia diberi ketetapan hati karena sesungguhnya ia sekarang sedang ditanya". (HR. Abu Daud)

Dari 'Amr bin Al 'Ash ra berkata: "Apabila kamu sekalian mengubur saya maka berdirilah disekeliling kuburku selama kira-kira tukang jagal menyembelih ternak dan membagi-bagikan dagingnya sehingga saya merasa agak tenang dan agar saya dapat ...menjawab apa yang ditanyakan oleh utusan Tuhanku". (Riwayat Muslim) ---------> Imam Syafi'y rahimahullah berkata: "Dan disunatkan pula untuk membacakan ayat-ayat Al-Qur'an dikubur itu, dan alangkah baiknya bila mereka mengkhatamkan Al-Qur'an" ----> KETERANGAN: Hanya sebatas ini yang saya tahu referensinya. Keterangan ini berlaku bila kita mengiringi jenazah yang hendak dikubur. Wallahu'alam.

MAKNA BERPAKAIAN TAPI PADA HAKEKATNYA TELANJANG

Bismillah...
Dari Abu Hurairah r.a. katanya Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wassallam Bersabda: “Ada dua macam penduduk neraka yang keduanya belum kelihatan olehku. (1) Kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang dipergunakan untuk memukul orang. (2) Wanita-wanita berpakaian, tetapi sama juga dengan bertelanjang (kerana pakaiannya terlalu minim, terlalu nipis atau tembus pandang, terlalu ketat, atau pakaian yang merangsang lelaki kerana bahagian auratnya terbuka), dan wanita-wanita yang mudah dirayu atau suka merayu, rambut mereka (disasak) bagaikan punuk unta. Wanita-wanita tersebut tidak dapat masuk syurga, bahkan tidak dapat mencium bau syurga. Padahal bau syurga dapat tercium dari jarak yang sangat jauh.”(HR.Muslim:2128).

Adapun makna sabda Nabi Shololloohu ‘alahi Wassallam "Berpakaian tapi telanjang," yakni wanita-wanita tersebut memakai pakaian, akan tetapi pakaian mereka tidak tertutup rapat (menutup seluruh tubuhnya atau auratnya).

Para ulama berpendapat bahwa di antara yang termasuk berpakaian tapi telanjang, yaitu pakian tipis, sehingga terlihat kulit yang terbungkus di belakangnya, sehingga secara lahiriyah pemakainya terlihat berpakaian, tetapi pada hakikatnya telanjang. Juga termasuk pakaian transparan, yaitu pakaian yang tebal, tetapi pendek (mini), pakaian yang ketat sehingga menempel pada kulit dan memperlihatkan lekuk tubuh pemakainya, sehingga seakan-akan tidak berpakaian. Semua pakaian tersebut termasuk jenis pakaian telanjang. Makna tersebut, jika yang dimaksud adalah pakaian transparan dalam pengertian inderawi.

Sedangkan jika yang dimaksud adalah pakaian transparan dalam pengertian maknawi, maka yang dimaksud dengan pakai-an adalah memelihara kesucian diri dan rasa malu. Kemudian yang dimaksud dengan telanjang adalah menganggap sepele perbuatan dosa dan memperlihatkan aib kepada orang lain. Dengan demikian dilihat dari satu sisi wanita-wanita tersebut berpakaian, tetapi dilihat dari sisi lain mereka telanjang.

(Syaikh Ibn Utsaimin, Majmu' Durus Fatawa al-Haram al-Makki, Juz 3, hal. 219. Look: FATWA-FATWA TERKINI, Penerbit DARUL HAQ.)


Minggu, 22 Mei 2011

HADIST-HADIST SEPUTAR LARANGAN MEMAKAI SUTERA, EMAS DAN PERAK

Dari 'Umar bin Khaththab ra, berkata, Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah kamu sekalian memakai kain sutera, karena sesungguhnya orang yang telah memakainya di dunia maka nanti di akhirat tidak akan memakainya lagi" (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari ' Ali ra. berkata: "Saya melihat Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam memegang kain sutera ditangan kanannya, dan memegang emas ditangan kirinya kemudian bersabda: "Sesungguhnya dua benda ini haram bagi ummatku yang laki-laki". (HR. Abu Daud)

Dari Abu Musa Al Asy'ary ra. bahwasannya Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Memakai kain sutera dan emas itu haram bagi ummatku yang laki-laki; dan halal bagi ummatku yang perempuan". (HR. At-Turmudzy).

Dari 'Umar bin Khaththab ra. berkata: "Saya mendengar Rasulullah Sallallahu 'Alahi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya orang yang memakai kain sutera adalah orang yang tidak akan mendapat bagian nanti (di akhirat)". (HR. Bukhari dan Muslim). -----> Dalam riwayat Bukhari dikatakan: "Orang yang tidak akan mendapat bagian kain sutera nanti di akhirat".

Dari Hudzaifah ra berkata: " Nabi Sallallahu 'Alaihi wa Sallam telah melarang kami untuk minum dan makan dengan bejana emas dan perak, serta melarang pula untuk memakai kain sutera baik yang tipis maupun yang tebal dan melarang pula untuk duduk diatasnya". ( Riwayat Bukhari)

Dari Anas ra. berkata:" Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam telah memberi kemurahan kepada Zubair dan 'Abdurrahman bin 'Auf ra. untuk memakai kain sutera karena menderita penyakit gatal-gatal". (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Dari Ummu Salamah ra. bahwasannya Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Orang yang minum dengan menggunakan bejana perak itu bagaikan menuangkan api neraka kedalam perutnya". (HR. Bukhari dan Muslim). --------> Dalam riwayat Muslim dikatakan: " Sesungguhnya orang yang makan atau minum dengan menggunakan bejana perak dan emas".

Dari Hudzaifah ra. berkata: "Sesungguhnya Nabi Sallallahu 'Alaihi wa Sallam melarang kami untuk memakai kain sutera baik yang halus maupun yang kasar, dan melarang minum dengan menggunakan emas dan perak. Beliau bersabda: "Itu semua untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia, dan untuk kamu sekalian nanti di akhirat". (HR Bukhari dan Muslim).

Dari Hudzaifah ra. berkata:"Saya mendengar Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah kamu sekalian memakai kain sutera baik yang halus maupun yang kasar; dan janganlah kamu sekalian minum dengan menggunakan bejana emas dan perak serta janganlah kamu sekalian makan dengan memakai piring emas atau perak". (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Anas bin Sirin berkata: "Ketika saya bersama Anas bin Malik ra. kerumah salah seorang majusi, disitu dijamu dengan faludza pada bejana yang terbuat dari perak tetapi Anas tidak mau memakannya. Kemudian Anas berkata kepada orang majusi itu: "Pindahkanlah". Maka orang majusi itu memindahkannya pada bejana yang terbuat dari kayu, lantas dihidangkannya maka Anas memakannya". (Riwayat Al Baihaki).

APA ITU SALAFY ?



Dialog pembukan :
Allah telah menamai kita muslim, kenapa harus menisbahkan diri kita pada Salaf. Al Imam Al Albani menjawab dalam diskusinya dengan seseorang (Abdul Halim Abu Syakkah), yang direkam dalam kasetnya yang berjudul “Saya seorang Salafy”, dan inilah sebagian hal yang penting dari diskusi itu:

Syaikh Al Albani : “Jika dikatakan padamu, apa madzhabmu, maka apa jawabanmu?”

Penanya : “Muslim“

Syaikh Al Albani : “Ini tidaklah cukup“

Penanya : “Allah telah menamai kita dengan muslim (kemudian dia membaca firman Allah), “Dialah yang telah menamai kalian orang-orang muslim dari dahulu” (Al Hajj 78)’”

Syaikh Al Albani : “Ini merupakan jawaban yang tepat, jika kita berada disaat Islam itu pertama kali muncul, sebelum firqah-firqah bermunculan dan menyebar. Tapi jika ditanyakan, pada saat ini, pada setiap muslim dari berbagai macam firqah yang berbeda dengan kita dalam masalah aqidah, maka jawabannya tidaklah jauh dari kalimat ini. Mereka semua, seperti Syi’ah Rafidlah, Khariji, Nusayri Alawi, akan berkata ‘Saya muslim’. Sehingga penyebutan “muslim” (saja) tidak cukup pada saat ini.”

Penanya : “Kalau begitu, (saya akan berkata) saya adalah Muslim berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah“

Syaikh Al Albani : “Ini juga tidak cukup“

Penanya : “Kenapa?”

Syaikh Al Albani : “Apakah kamu menemukan dari mereka yang telah kita sebutkan tadi, akan mengatakan ,’kami adalah adalah muslim yang tidak berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah?’ atau seorang dari mereka berkata “Saya seorang Muslim tetapi tidak berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah?”

Maka selanjutnya Syaikh Al Albani menjelaskan dengan jelas akan pentingnya berada di atas Al Qur’an dan As Sunnah dan memahami di atas cahaya (pemahaman) Salafush Shalih (pendahulu yang sholih).

Penanya : “Kalau begitu, saya akan menyatakan bahwa saya adalah muslim yang berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan mengikuti pemahaman Salafus Shalih“

Syaikh Al Albani : “Jika seseorang bertanya padamu tentang madzhabmu, apakah ini yang akan kamu katakan?”

Penanya : “Ya“

Syaikh Al Albani : “Bagaimana pendapatmu, bila kita menyingkat kalimat ini dalam pembicaran (Muslim yang berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan mengikuti pemahaman Salafus Shalih), yang lebih ringkas dan menunjukkan makna dengan ‘Salafi‘”. (Selesai penukilan)

Makna Salaf dan salafy :

Kata ‘Salaf’ Tidaklah Asing di Kalangan Ulama

Mungkin banyak orang saat ini yang merasa asing dengan kata salaf, namun kata ini tidaklah asing di kalangan ulama. Imam Bukhari -ahli hadits terkemuka- menuturkan, “Rasyid bin Sa’ad mengatakan, ‘Dulu para SALAF menyukai kuda jantan, karena kuda seperti itu lebih tangkas dan lebih kuat’.” Kemudian Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari bahwa salaf tersebut adalah para sahabat dan orang setelah mereka.

Imam Nawawi -ulama besar madzhab Syafi’i- mengatakan dalam kitab beliau Al Adzkar, “Sangat bagus sekali doa para SALAF sebagaimana dikatakan Al Auza’i rahimahullah Ta’ala, ‘Orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat istisqo’ (minta hujan), kemudian berdirilah Bilal bin Sa’ad, dia memuji Allah …’.” Salaf yang dimaksudkan oleh Al Auza’i di sini adalah Bilal bin Sa’ad, dan Bilal adalah seorang tabi’in. (Lihat Al Manhajus Salaf ‘inda Syaikh al-Albani)

DEFINISI SALAF MENURUT BAHASA

Berkata Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab : “Dan As-Salaf juga adalah orang-orang yang mendahului kamu dari ayah-ayahmu dan kerabatmu yang mereka itu di atas kamu dari sisi umur dan keutamaan karena itulah generasi pertama dikalangan tabi’in mereka dinamakan As-Salaf Ash-Sholeh”.

Berkata Al-Manawi dalam At-Ta’arif jilid 2 hal.412 : “As-Salaf bermakna At-Taqoddum (yang terdahulu). Jamak dari salaf adalah أَسْلاَفٌ (aslaf)”.

DEFINISI SALAF MENURUT ISTILAH

Pertama : Makna Salaf secara khusus adalah generasi permulaan ummat Islam dari kalangan para shahabat, Tabi’in (murid-murid para Shahabat), Tabi’ut Tabi’in (murid-murid para Tabi’in) dalam tiga masa yang mendapatkan kemulian dan keutamaan dalam hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary, Muslim dan lain-lainnya dimana Rasulullah shallallahu ‘alahi wa alihi wa sallam menyatakan :

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian generasi setelahnya kemudian generasi setelahnya”.

Makna khusus inilah yang diinginkan oleh banyak ‘ulama ketika menggunakan kalimat Salaf dan saya akan menyebutkan beberapa contoh dari perkataan para ‘ulama yang mendefinisikan Salaf dengan makna khusus ini atau yang menggunakan istilah Salaf dan mereka inginkan dengannya makna Salaf secara khusus.

Berkata Al-Bajury dalam Syarah Jauharut Tauhid hal.111 : “Yang dimaksud dengan salaf adalah orang-orang yang terdahulu dari para Nabi dan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka”.

Berkata Al-Qolasyany dalam Tahrirul Maqolah Syarah Ar-Risalah : “As-Salaf Ash-Sholeh yaitu generasi pertama yang mapan di atas ilmu, yang mengikuti petunjuk Nabi shollahu ‘alahi wa alihi wa sallam lagi menjaga sunnah-sunnah beliau. Allah memilih mereka untuk bersahabat dengan Nabi-Nya dan memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan mereka itulah yang diridhoi oleh para Imam ummat (Islam) dan mereka berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad dan mereka mencurahkan (seluruh kemampuan mereka) dalam menasehati ummat dan memberi manfaat kepada mereka dan mereka menyerahkan diri-diri mereka dalam menggapai keridhoan Allah”.

Dan berkata Al-Ghazaly memberikan pengertian terhadap kata As-Salaf dalam Iljamul ‘Awwam ‘An ‘ilmil Kalam hal.62 : “Yang saya maksudkan dengan salaf adalah madzhabnya para shahabat dan Tabi’in”.

Lihat Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy hal.31 dan Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf hal.18-19.

Berkata Abul Hasan Al-Asy’ary dalam Kitab Al-Ibanah Min Ushul Ahlid Diyanah hal.21 : “Dan (diantara yang) kami yakini sebagai agama adalah mencintai para ‘ulama salaf yang mereka itu telah dipilih oleh Allah ‘Azza Wa Jalla untuk bershahabat dengan Nabi-Nya dan kami memuji mereka sebagaimana Allah memuji mereka dan kami memberikan loyalitas kepada mereka seluruhnya”.

Berkata Ath-Thahawy dalam Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyah : “Dan ulama salaf dari generasi yang terdahulu dan generasi yang setelah mereka dari kalangan Tabi’in (mereka adalah) Ahlul Khair (ahli kebaikan) dan Ahli Atsar (hadits) dan ahli fiqh dan telaah (peneliti), tidaklah mereka disebut melainkan dengan kebaikan dan siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan maka dia berada di atas selain jalan (yang benar)”.

Dan Al-Lalika`i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah jilid 2 hal.334 ketika beliau membantah orang yang mengatakan bahwa Al-Qura dialah yang berada di langit, beliau berkata : “Maka dia telah menyelisihi Allah dan Rasul-Nya dan menolak mukjizat Nabi-Nya dan menyelisihi para salaf dari kalangan Shahabat dan tabi’in dan orang-orang setelahnya dari para ‘ulama ummat ini“.

Berkata Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman jilid 2 hal.251 tatkala beliau menyebutkan pembagian ilmu, beliau menyebutkan diantaranya : “Dan mengenal perkataan-perkataan para salaf dari kalangan shahabat, Tabi’in dan orang-orang setelah mereka”.

Dan berkata Asy-Syihristany dalam Al-Milal Wa An-Nihal jilid 1 hal.200 : “Kemudian mengetahui letak-letak ijma’ (kesepakatan) shahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in dari Salafus Sholeh sehingga ijtihadnya tidak menyelisihi ijma’ (mereka)“.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Bayan Talbis Al-Jahmiyah jilid 1 hal.22 : “Maka tidak ada keraguan bahwasanya kitab-kitab yang terdapat di tangan-tangan manusia menjadi saksi bahwasanya seluruh salaf dari tiga generasi pertama mereka menyelesihinya“.

Dan berkata Al-Mubarakfury dalam Tuhfah Al-Ahwadzy jilid 9 hal.165 : “…Dan ini adalah madzhab Salafus Sholeh dari kalangan shahabat dan Tabi’in dan selain mereka dari para ‘ulama -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka seluruhnya-”.

Dan hal yang sama dinyatakan oleh Al-’Azhim Abady dalam ‘Aunul Ma’bud jilid 13 hal.7.

Kedua : Makna salaf secara umum adalah tiga generasi terbaik dan orang-orang setelah tiga generasi terbaik ini, sehingga mencakup setiap orang yang berjalan di atas jalan dan manhaj generasi terbaik ini.

Dan berkata Al-’Allamah Muhammad As-Safariny Al-Hambaly dalam Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah Wa Sawathi’ Al-Asrar Al-Atsariyyah jilid 1 hal.20 : “Yang diinginkan dengan madzhab salaf yaitu apa-apa yang para shahabat yang mulia -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka- berada di atasnya dan para Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik dan yang mengikuti mereka dan para Imam agama yang dipersaksikan keimaman mereka dan dikenal perannya yang sangat besar dalam agama dan manusia menerima perkataan-perkataan mereka…”.

Berkata Ibnu Abil ‘Izzi dalam Syarah Al ‘Aqidah Ath-Thohawiyah hal.196 tentang perkataan Ath-Thohawy bahwasanya Al-Qur`an diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Yakni merupakan perkataan para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan mereka itu adalah Salafus Sholeh“.

Dan berkata Asy-Syaikh Sholeh Al-Fauzan dalam Nazharat Wa Tu’uqqubat ‘Ala Ma Fi Kitab As-Salafiyah hal.21 : “Dan kata Salafiyah digunakan terhadap jama’ah kaum mukminin yang mereka hidup di generasi pertama dari generasi-generasi Islam yang mereka itu komitmen di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka dengan sabdanya : “Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya….”.

Dan beliau juga berkata dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘An As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah hal.103-104 : “As-Salafiyah adalah orang-orang yang berjalan di atas Manhaj Salaf dari kalangan Shahabat dan tabi’in dan generasi terbaik, yang mereka mengikutinya dalam hal aqidah, manhaj, dan metode dakwah“.

Dan berkata Syaikh Nashir bin ‘Abdil Karim Al-‘Aql dalam Mujmal Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hal.5 : “As-Salaf, mereka adalah generasi pertama ummat ini dari para shahabat, tabi’in dan imam-imam yang berada di atas petunjuk dalam tiga generasi terbaik pertama. Dan kalimat As-Salaf juga digunakan kepada setiap orang yang berada pada setelah tiga generasi pertama ini yang meniti dan berjalan di atas manhaj mereka“.

Asal Penamaan Salaf Dan Penisbahan Diri Kepada Manhaj Salaf

Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fathimah radihyallahu ‘anha :

“Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya”. Dikeluarkan oleh Bukhary no.5928 dan Muslim no.2450.

Maka jelaslah bahwa penamaaan salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah perkara yang mempunyai landasan (pondasi) yang sangat kuat dan sesuatu yang telah lama dikenal tapi karena kebodohan dan jauhnya kita dari tuntunan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka muncullah anggapan bahwa manhaj salaf itu adalah suatu aliran, ajaran, atau pemahaman baru, dan anggapan-anggapan lainnya yang salah.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 4 hal 149 : “Tidak ada celaan bagi orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbahkan diri kepadanya dan merujuk kepadanya, bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf itu adalah tak lain kecuali kebenaran”.

Berikut ini saya akan memberikan beberapa contoh untuk menunjukkan bahwa penggunaan nama salaf sudah lama dikenal.

Berkata Imam Az-Zuhry (wafat 125 H) tentang tulang belulang bangkai seperti bangkai gajah dan lainnya : “Saya telah mendapati sekelompok dari para ulama salaf mereka bersisir dengannya dan mengambil minyak darinya, mereka menganggap (hal tersebut) tidak apa-apa”. Lihat : Shohih Bukhary bersama Fathul Bary jilid 1 hal.342.

Tentunya yang diinginkan dengan ‘ulama salaf oleh Az-Zuhry adalah para shahabat karena Az-Zuhry adalah seorang Tabi’i (generasi setelah shahabat).

Dan Sa’ad bin Rasyid (wafat 213 H) berkata : “Adalah para salaf, lebih menyenangi tunggangan jantan karena lebih cepat larinya dan lebih berani”. Lihat : Shohih Bukhary dengan Fathul Bary jilid 6 hal.66 dan Al-Hafizh menafsirkan kata salaf : “Yaitu dari shahabat dan setelahnya”.

Berkata Imam Bukhary (wafat 256 H) dalam Shohihnya dengan Fathul Bary jilid 9 hal.552 : “Bab bagaimana para ‘ulama salaf berhemat di rumah-rumah mereka dan di dalam perjalanan mereka dalam makanan, daging dan lainnya”.

Imam Ibnul Mubarak (wafat 181 H) berkata : “Tinggalkanlah hadits ‘Amr bin Tsabit karena ia mencerca para ‘ulama salaf”. Baca : Muqoddimah Shohih Muslim jilid 1 hal.16.

Tentunya yang diinginkan dengan kata salaf oleh Imam Bukhary dan Ibnul Mubarak tiada lain kecuali para shahabat dan tabi’in.

Dan juga kalau kita membaca buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan nasab, akan didapatkan para ’ulama yang menyebutkan tentang nisbah Salafy (penisbahan diri kepada jalan para ‘ulama salaf), dan ini lebih memperjelas bahwa nisbah kepada manhaj salaf juga adalah sesuatu yang sudah lama dikenal dikalangan para ‘ulama.

Berkata As-Sam’any dalam Al-Ansab jilid 3 hal.273 : “Salafy dengan difathah (huruf sin-nya) adalah nisbah kepada As-Salaf dan mengikuti madzhab mereka“.

Dan berkata As-Suyuthy dalam Lubbul Lubab jilid 2 hal.22 : “Salafy dengan difathah (huruf sin dan lam-nya) adalah penyandaran diri kepada madzhab As-Salaf“.

Dan saya akan menyebutkan beberapa contoh para ‘ulama yang dinisbahkan kepada manhaj (jalan) para ‘ulama salaf untuk menunjukkan bahwa mereka berada diatas jalan yang lurus yang bersih dari noda penyimpangan :

1. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal.183 setelah menyebutkan hikayat bahwa Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawy rahimahullah menghina ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu : “Kisah ini terputus, Wallahu A’lam. Dan saya tidak mengetahui Ya’qub Al-Fasawy kecuali beliau itu adalah seorang Salafy, dan beliau telah mengarang sebuah kitab kecil tentang As-Sunnah”.

2. Dan dalam biografi ‘Utsman bin Jarzad beliau berkata : “Untuk menjadi seorang Muhaddits (ahli hadits) diperlukan lima perkara, kalau satu perkara tidak terpenuhi maka itu adalah suatu kekurangan. Dia memerlukan : Aqal yang baik, agama yang baik, dhobth (hafalan yang kuat), kecerdikan dalam bidang hadits serta dikenal darinya sifat amanah“.

Kemudian Adz-Dzahaby mengomentari perkataan tersebut, beliau berkata : “Amanah merupakan bagian dari agama dan hafalan bisa masuk kepada kecerdikan. Adapun yang dibutuhkan oleh seorang hafizh (penghafal hadits) adalah : Dia harus seorang yang bertaqwa, pintar, ahli nahwu dan bahasa, bersih hatinya, senantiasa bersemangat, seorang salafy, cukup bagi dia menulis dengan tangannya sendiri 200 jilid buku hadits dan memiliki 500 jilid buku yang dijadikan pegangan dan tidak putus semangat dalam menuntut ilmu sampai dia meninggal dengan niat yang ikhlas dan dengan sikap rendah diri. Kalau tidak memenuhi syarat-syarat ini maka janganlah kamu berharap”. Lihat dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal.280.

3. Dan Adz-Dzahaby berkata tentang Imam Ad-Daraquthny : “Beliau adalah orang yang tidak akan pernah ikut serta mempelajari ilmu kalam (ilmu mantik) dan tidak pula ilmu jidal (ilmu debat) dan beliau tidak pernah mendalami ilmu tersebut, bahkan beliau adalah seorang salafy“. Baca Siyar A’lam An-Nubala`jilid 16 hal.457.

4. Dan dalam Tadzkirah Al-Huffazh jilid 4 hal.1431 dalam biografi Ibnu Ash-Sholah, berkata Imam Adz-Dzahaby : “Dan beliau adalah seorang Salafy yang baik aqidahnya“. Dan lihat : Thobaqot Al-Huffazh jilid 2 hal.503 dan Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal.142.

5. Dalam biografi Imam Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Isa bin ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdasy, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Beliau adalah seorang yang terpercaya, tsabt (kuat hafalannya), pandai, seorang Salafy…”. Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal.18.

6. Dan dalam Biografi Abul Muzhoffar Ibnu Hubairah, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Dia adalah seorang yang mengetahui madzhab dan bahasa arab dan ilmu ‘arudh, seorang salafy, atsary“. Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 20 hal.426.

7. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam biografi Imam Az-Zabidy : “Dia adalah seorang Hanafy, Salafy“. Baca Siyar A’lam An-Nubala`jilid 20 hal.316.

8. Dan dalam Biografi Musa bin Ibrahim Al-Ba’labakky, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Dan demikian pula beliau seorang perendah hati, seorang Salafy”. Lihat : Mu’jamul Muhadditsin hal.283.

9. Dan dalam biografi Muhammad bin Muhammad Al-Bahrony, Imam Adz-Dzahaby Berkata : “Dia seorang yang beragama, orang yang sangat baik, seorang Salafy”. Lihat : Mu’jam Asy-Syuyukh jilid 2 hal.280 (dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah hal.18).

10. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam Lisanul Mizan Jilid 5 hal.348 dalam biografi Muhammad bin Qasim bin Sufyan Abu Ishaq : “Dan Ia adalah Seorang yang bermadzhab Salafy”.

Wajib Mengikuti Jalan Salafush Sholih

Setelah kita mengetahui bahwa salaf adalah generasi terbaik umat ini, maka apakah kita wajib mengikuti jalan hidup salaf?

Allah telah meridhai secara mutlak para salaf dari kaum muhajirin dan anshor serta kepada orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100). Untuk mendapatkan keridhaan yang mutlak ini, tidak ada jalan lain kecuali dengan mengikuti salafush sholih.

Allah juga memberi ancaman bagi siapa yang mengikuti jalan selain orang mukmin. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115). Yang dimaksudkan dengan orang-orang mukmin ketika ayat ini turun adalah para sahabat (para salaf). Barangsiapa yang menyelisihi jalan mereka akan terancam kesesatan dan jahannam. Oleh karena itu, mengikuti jalan salaf adalah wajib.

Menyandarkan Diri Pada Salafush Sholih

Setelah kita mengetahui bahwa mengikuti jalan hidup salafush sholih adalah wajib, maka bolehkan kita menyandarkan diri pada salaf sehingga disebut salafi (pengikut salaf)? Tidakkah ini termasuk golongan/kelompok baru dalam Islam?

Jawabannya kami ringkas sebagai berikut: [1] Istilah salaf bukanlah suatu yang asing di kalangan para ulama, [2] Keengganan untuk menyandarkan diri pada salaf berarti berlepas diri dari Islam yang benar yang dianut oleh salafush sholih, [3] Kenapa penyandaran kepada berbagai madzhab/paham dan pribadi tertentu seperti Syafi’i (pengikut Imam Syafi’i) dan Asy’ari (pengikut Abul Hasan Al Asy’ari) tidak dipersoalkan?! Padahal itu adalah penyandaran kepada orang yang tidak luput dari kesalahan dan dosa!! [4] Salafi adalah penyandaran kepada kema’shuman secara umum (keterbebasan dari kesalahan) sehingga memuliakan seseorang, [5] Penyandaran kepada salaf bertujuan untuk membedakan dengan kelompok lainnya yang semuanya mengaku bersandar pada Al Qur’an dan As Sunnah, namun tidak mau beragama (bermanhaj) seperti salafush sholih yaitu para sahabat dan pengikutnya. (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh al-Albani).

Kesimpulannya sebagaimana dikatakan Syaikh Salim Al Hilali, “Penamaan salafi adalah bentuk penyandaran kepada salaf. Penyandaran seperti ini adalah penyandaran yang terpuji dan cara beragama (bermanhaj) yang tepat. Dan bukan penyandaran yang diada-adakan sebagai madzhab baru.” (Limadza Ikhtartu Al Manhaj As Salaf)

Solusi Perpecahan Umat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan solusi mengenai perpecahan umat Islam saat ini untuk berpegang teguh pada sunnah Nabi dan sunnah khulafa’ur rasyidin -yang merupakan salaf umat ini-. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Dan sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian terhadap sunnahku dan sunnah khulafa’rosyidin yang mendapat petunjuk. Maka berpegang teguh dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.” (Hasan Shohih, HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Jalan Salaf Adalah Jalan yang Selamat

Orang yang mengikuti jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya (salafush sholih) inilah yang selamat dari neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan; satu golongan masuk surga, 70 golongan masuk neraka. Nashrani terpecah menjadi 72 golongan; satu golongan masuk surga, 71 golongan masuk neraka. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, umatku akan terpecah menjadi 73 golongan; satu golongan masuk surga dan 72 golongan masuk neraka. Ada sahabat yang bertanya,’Wahai Rasulullah! Siapa mereka yang masuk surga itu?’ Beliau menjawab, ‘Mereka adalah Al-Jama’ah‘.” (HR. Ibnu Majah, Abu Daud, dishahihkan Syaikh Al Albani). Dalam riwayat lain para sahabat bertanya,’Siapakah mereka wahai Rasulullah?‘ Beliau menjawab,‘Orang yang mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku.‘ (HR. Tirmidzi)

Sebagai nasihat terakhir, ‘Ingatlah, kata salafi -yaitu pengikut salafush sholih- bukanlah sekedar pengakuan (kleim) semata, tetapi harus dibuktikan dengan beraqidah, berakhlak, beragama (bermanhaj), dan beribadah sebagaimana yang dilakukan salafush solih.’

HUKUM AQIQAH DALAM ISLAM

Hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad dan seharusnya tidak ditinggalkan oleh orang yang mampu melakukannya..
Aqiqah bagi anak laki-laki afdholnya dengan dua ekor kambing, namun dengan seekor kambing juga dibolehkan. Sedangkan aqiqah bagi anak perempuan adalah dengan seekor kambing.
Waktu utama aqiqah adalah hari ke-7 kelahiran, kemudian hari ke-14 kelahiran, kemudian hari ke-21 kelahiran, kemudian setelah itu terserah tanpa melihat hari kelipatan tujuh. Pendapat ini adalah pendapat ulama Hambali, namun dinilai lemah oleh ulama Malikiyah. Jadi, jika aqiqah dilaksanakan sebelum atau setelah waktu tadi sebenarnya diperbolehkan. Karena yg penting adalah aqiqahnya dilaksanakan. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)

Aqiqah asalnya menjadi beban ayah selaku pemberi nafkah. Aqiqah ditunaikan dari harta ayah, bukan dari harta anak. Orang lain tidak boleh melaksanakan aqiqah selain melalui izin ayah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/382)


Imam Asy Syafi’i mensyaratkan bahwa yang dianjurkan aqiqah adalah orang yang mampu. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/382)


Apabila ketika waktu pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam keadaan tidak mampu, maka aqiqah menjadi gugur, walaupun nanti beberapa waktu kemudian orang tua menjadi kaya. Sebaliknya apabila ketika waktu pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam keadaan kaya, maka orang tua tetap dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun anaknya sudah dewasa.

Imam Asy Syafi’i memiliki pendapat bahwa aqiqah tetap dianjurkan walaupun diakhirkan. Namun disarankan agar tidak diakhirkan hingga usia baligh. Jika aqiqah diakhirkan hingga usia baligh, maka kewajiban orang tua menjadi gugur. Akan tetapi ketika itu, anak punya pilihan, boleh mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)
Perhitungan hari ke-7 kelahiran, hari pertamanya dihitung mulai dari hari kelahiran. Misalnya si bayi lahir pada hari Senin, maka hari ke-7 kelahiran adalah hari Ahad. Berarti hari Ahad adalah hari pelaksanaan aqiqah. [Keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin lainnya, Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 161, no. 24]

Pendapat yang menyatakan, “Jika seseorang anak tidak diaqiqahi, maka ia tidak akan memberi syafaat kepada orang tuanya pada hari kiamat nanti”, ini adalah pendapat yang lemah sebagaimana dilemahkan oleh Ibnul Qayyim. [Keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin lainnya, Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 161, no. 24]

Demikian pembahasan ringkas mengenai aqiqah. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarga, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Kamis, 19 Mei 2011

APAKAH WAHABI IDENTIK DENGAN DAKWAH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB ?

Pendiri Wahabi adalah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum wafat 211 H. Bukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab wafat 1206 H

Sebenarnya, Al-Wahabiyah merupakan firqah sempalan Ibadhiyah khawarij yang timbul pada abad ke 2 (dua) Hijriyah (jauh sebelum masa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab), yaitu sebutan Wahabi nisbat kepada tokoh sentralnya Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum yang wafat tahun 211 H. Wahabi merupakan kelompok yang sangat ekstrim kepada ahli sunnah, sangat membenci syiah dan sangat jauh dari Islam.

Untuk menciptakan permusuhan di tengah Umat Islam, kaum Imperialisme dan kaum munafikun memancing di air keruh dengan menyematkan baju lama (Wahabi) dengan berbagai atribut penyimpangan dan kesesatannya untuk menghantam dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau setiap dakwah mana saja yang mengajak untuk memurnikan Islam. Karena dakwah beliau sanggup merontokkan kebatilan, menghancurkan angan-angan kaum durjana dan melumatkan tahta agen-agen asing, maka dakwah beliau dianggap sebagai penghalang yang mengancam eksistensi mereka di negeri-negeri Islam.

Contohnya: Inggris mengulirkan isue wahabi di India, Prancis menggulirkan isu wahabi di Afrika Utara, bahkan Mesir menuduh semua kelompok yang menegakkan dakwah tauhid dengan sebutan Wahabi, Italia juga mengipaskan tuduhan wahabi di Libia, dan Belanda di Indonesia, bahkan menuduh Imam Bonjol yang mengobarkan perang Padri sebagai kelompok yang beraliran Wahabi. Semua itu, mereka lakukan karena mereka sangat ketakutan terhadap pengaruh murid-murid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mengobarkan jihad melawan Imperialisme di masing-masing negeri Islam.

Tuduhan buruk yang mereka lancarkan kepada dakwah beliau hanya didasari tiga faktor:

1. Tuduhan itu berasal dari para tokoh agama yang memutarbalikkan kebenaran, yang hak dikatakan bathil dan sebaliknya, keyakinan mereka bahwa mendirikan bangunan dan masjid di atas kuburan, berdoa dan meminta bantuan kepada mayit dan semisalnya termasuk bagian dari ajaran Islam. Dan barangsiapa yang mengingkarinya dianggap membenci orang-orang shalih dan para wali.

2. Mereka berasal dari kalangan ilmuwan namun tidak mengetahui secara benar tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan dakwahnya, bahkan mereka hanya mendengar tentang beliau dari pihak yang sentimen dan tidak senang Islam kembali jaya, sehingga mereka mencela beliau dan dakwahnya sehingga memberinya sebutan Wahabi.

3. Ada sebagian dari mereka takut kehilangan posisi dan popularitas karena dakwah tauhid masuk wilayah mereka, yang akhirnya menumbangkan proyek raksasa yang mereka bangun siang malam.

Dan barangsiapa ingin mengetahui secara utuh tentang pemikiran dan ajaran Syaikh Muhammad (Abdul Wahab) maka hendaklah membaca kitab-kitab beliau seperti Kitab Tauhid, Kasyfu as-Syubhat, Usul ats-Tsalatsah dan Rasail beliau yang sudah banyak beredar baik berbahasa arab atau Indonesia.

Penulis: Ustadz Zainal Abidin, Lc. Dan Artikel ini sebelumnya dipublikasikan oleh Koran Republika, edisi Selasa, 25 Agustus 2009.Dipublikasi ulang oleh muslim.or.id dengan penambahan beberapa catatan kecil.

Senin, 16 Mei 2011

HUKUM 'AZL DALAM PANDANGAN ISLAM



Oleh: Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Mengenai masalah ‘Azl ada dua pendapat masyhur dari para ulama, yaitu:

[a]. Azl Itu Dibolehkan.
Ia boleh mengeluarkan air maninya di luar (kemaluan) isterinya.

Arti ‘azl ialah mencabut setelah memasukkan (kemaluannya) untuk mengeluarkan mani di luar vagina. [1]

Mengenai hal ini terdapat sejumlah hadits, di antaranya:

Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir, ia menuturkan: "Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam" [2]

Kedua, apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari juga dari Jabir, ia mengatakan: "Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan (ayat-ayat) al-Qur'an (masih) turun." [3]

Ketiga, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Sa’id al-Khudri, ia mengatakan: "Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu mengatakan: ‘Aku mempunyai sahaya wanita, dan aku biasa melakukan ‘azl darinya, sedangkan aku menginginkan sesuatu seperti yang diinginkan laki-laki. Kaum Yahudi mengklaim bahwa ‘azl adalah penguburan kecil terhadap bayi hidup-hidup.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

"Artinya : Kaum Yahudi berdusta. Seandainya Allah berkehendak untuk menciptakannya, maka tidak mampu menolaknya.’” [4]
Keempat, hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya dari Jabir bahwa seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan, "Aku mempunyai sahaya wanita, dia pelayan kami dan yang menyirami pohon kurma kami. Aku biasa menggaulinya, dan aku tidak suka jika dia hamil." Maka, beliau menjawab: "Ber-’azllah darinya, jika engkau suka. Sebab, akan datang kepadanya apa yang telah ditentukan baginya." Orang ini pun melakukannya. Beberapa waktu kemudian, dia datang kepada beliau seraya mengatakan: "Sahaya wanitaku telah hamil." Beliau mengatakan: "Aku telah mengabarkan kepadamu bahwa akan datang kepadanya apa yang telah ditentukan baginya." [5]

Kelima, Muslim meriwayatkan dari Jabir, dia mengatakan: "Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu hal itu sampai (terdengar) kepada Nabi Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak melarang kami." [6]

[b]. Yang Terbaik Adalah Tidak Melakukannya. [7]
Benar, dalam hadits-hadits yang terdahulu terkesan bahwa ‘azl dibolehkan, tetapi di sana terdapat hadits-hadits lainnya yang menunjukkan bahwa tidak ber’azl adalah lebih baik, di antaranya:

Pertama, menyelisihi perintah beliau yang tegas agar memperbanyak anak dan keturunan, sebagaimana dalam sabdanya.

"Artinya : Nikahilah wanita yang belas kasih dan subur (banyak anak), sebab aku akan membangga-banggakan jumlah kalian pada umat-umat lainnya."[8]

Kedua, jika sekiranya wanita tidak mengizinkan hal itu, maka hal ini memberikan kerugian padanya, yaitu tidak mendapatkan kenikmatan pada saat bersenggama.
Yang pasti, hal yang makruh menurut saya, -bila tidak diiringi kedua perkara tadi atau salah satunya- adalah hal lain, yakni yang merupakan tujuan kaum kafir dalam melakukan ‘azl. Misalnya, takut miskin karena banyak anak, atau berat untuk memberi nafkah dan mendidik mereka. Dalam keadaan demikian, maka yang makruh terangkat menjadi haram, karena niat orang yang melakukan ‘azl bertemu dengan kaum kafir yang membunuh anak-anak mereka karena takut miskin dan fakir. Lain halnya bila wanita (isteri) sedang sakit... [16]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
_________
Foote Note
[1]. Fathul Baari (IX/305).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5207) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1440) kitab an-Nikaah.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5209) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1440) kitab an-Nikaah.
[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 1136), Abu Dawud (no. 2173) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 11110), dengan sanad yang shahih.
[5]. HR. Muslim (no. 1439) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2173) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 89), kitab al-Muqaddimah, Ahmad (no. 13936)
[6]. Telah ditakhrij sebelumnya.
[7]. Ini pendapat al-Hafizh dalam Fat-hul Baari (IX/306).
[8]. HR. An-Nasa-i (no. 3227) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2050) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1846) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 12202), dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1811).
[9]. HR. Muslim (no. 1442) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 2011) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 26496).
[10]. Disebutkan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/309).
[11]. Fat-hul Baari (IX/309).
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 5210) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1438) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1138) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1926) kitab an-Nikaah.
[13]. Dinyatakan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/307).
[14]. Dinyatakan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/308).
[15]. Ibid.
[16]. Aadaabuz Zifaaf, Syaikh al-Albani (hal. 136).