Minggu, 09 September 2012

PERBEDAAN ANTARA WALI ALLAH TA'ALA DAN WALI SYETAN



Alloh subhanahu wa Ta'ala berfirman :
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
" ketahuilah sesungguhnya wali-wali Alloh tidak ada rasa takut pada mereka dan tidaklah mereka bersedih, adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa."(QS.Yunus: 62-63).

Dalam gambaran mayoritas orang bahkan umat islam, wali Alloh adalah setiap orang yang bisa mengeluarkan keanehan. Fakta ini menggambarkan betapa jauhnya persepsi saudara kita kaum muslimin dari pemahaman yang benar tentang hakikat wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.Tulisan ini akan membahas singkat hakikat wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dan juga menjelaskan bahwa di samping wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala ada wali syethan.

Definisi Wali dari segi bahasa berasal dari kata ‘al-wilayah’ yang artinya adalah ‘kekuasaan’ dan ‘daerah’ sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Sikkit rahimahullahu. Atau terambil dari kata ‘al-walayah’ yang berarti pertolongan.

Menurut syariat, wali (wilayah, walayah) artinya kedudukan yang tinggi di dalam agama yang tidak akan dicapai kecuali oleh orang-orang yang melaksanakan tuntunan agama baik secara lahir maupun batin.

Dari sini, wilayah (kewalian) memiliki dua sisi pandang:

Pertama, sisi yang terkait dengan hamba yaitu melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan kemudian secara bertahap dia meningkatkan ubudiyahnya kepada Alloh Ta'ala dengan amalan-amalan sunnah.
Kedua, sisi yang terkait dengan Alloh Ta'ala, yaitu Alloh Ta'ala akan mencintai dia, menolongnya, dan mengokohkannya di atas sikap istiqomah. (Madkhol Syarh Ushul I’tiqad, 9/7)

Siapakah Wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala ?


Ibnu Katsir rohimahullohu mengatakan:“Wali-wali-Nya adalah mereka yang beriman dan bertakwa sebagaimana telah dijelaskan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala tentang mereka sehingga setiap orang yang bertakwa adalah waliNya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/422).


Al-Baidhowi rohimahullohu berkata: “Wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala adalah orang-orang yang mewujudkan ketaatan kepada Alloh Ta'ala dan orang-orang yang diberikan segala bentuk karomah.” (Tafsir Al-Baidhowi, hal. 282)


Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahullohu mengatakan :“Wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dengan berbagai amalan yang bisa mendekatkan diri kepadaNya.” (Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam, hal. 262)


Ibnu Abil ‘Izzi rohimahullohu berkata:“Wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala adalah orang yang selalu melaksanakan segala yang dicintai Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dan selalu mendekatkan diri kepadaNya dengan segala perkara yang diridhoiNya.” (Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyyah, hal. 360)


Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahullohu mengatakan:“Wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala adalah orang yang berilmu tentang Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dan dia terus-menerus di atas ketaatan kepadaNya dengan mengikhlaskan peribadatan.” (Fathul Bari, 11/342)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahullohu berkata “Wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala adalah orang yang beriman dan bertakwa.” Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Mereka adalah orang-orang yang beriman dan ber-wala’ (loyal) kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka mencintai apa-apa yang dicintaiNya, membenci apa-apa yang dibenciNya, ridho terhadap apa-apa yang diridhoiNya, murka terhadap apa-apa yang dimurkaiNya, memerintahkan kepada apa-apa yang diperintahkanNya, mencegah apa-apa yang dicegahNya, memberi kepada orang yang Dia cinta untuk diberi, dan tidak memberi kepada siapa yang Dia larang untuk diberi.” (Al-Furqon dalam kitab Majmu’atut Tauhid, hal. 329)

Al-Hafidz Ibnu Ahmad Al-Hakami rohimahullohu mengata“Wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala adalah setiap orang yang beriman kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, bertakwa kepadaNya dan mengikuti Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam.” (A’lamus Sunnah Al-Manshuroh, hal. 192)

Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rohimahullohu berkata :“Wali Alloh adalah orang-orang yang telah dijelaskan dalam perkataanNya

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
" ketahuilah sesungguhnya wali-wali Alloh tidak ada rasa takut pada mereka dan tidaklah mereka bersedih, adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa."(QS.Yunus: 62-63).
” Kemudian beliau menukilkan ucapan Ibnu Taimiyyah rohimahullohu:
“Barang siapa yang beriman dan bertakwa maka dia adalah wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.” (Syarah Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah hal. 626).

Dari beberapa ucapan ulama di atas, sangat jelas bagi kita siapa yang dimaksud dengan wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Semua ucapan ulama tersebut tidak saling bertentangan walaupun ungkapannya berbeda-beda. Semua pendapat mereka bermuara pada perkataan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala:

“ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Alloh itu tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak pula mereka bersedih . adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa.” (QS.Yunus: 62-63) (Al-Furqon dalam kitab Majmu’atut Tauhid hal. 339).

Siapakah Wali Syethan ?


Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rohimahullohu berkata: “Wali setan adalah orang-orang yang menyelisihi Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dan orang-orang yang tidak mematuhi anjuran Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka adalah ahli bid’ah, berdoa kepada selain Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, mengingkari ke Maha Tinggian Alloh Subhanahu Wa Ta’ala di atas ‘ArsyNya, memukul tubuh mereka dengan besi, memakan api dan (perbuatan) lainnya dari amalan-amalan orang Majusi dan syaithon.”(Al-‘Aqidah Al-Islamiyah, hal. 36).


Alloh Subhanahu Wa Ta’ala telah menjelaskan dalam Al Qur’an dalam banyak ayat tentang ciri-ciri dan sifat mereka serta apa yang diperbuat oleh tentara-tentaranya.


Dalil-dalil Adanya Wali Syethan


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahullohu membawakan dalil yang banyak tentang keberadaan wali Syaithon di dalam kitab beliau Al-Furqon Baina Auliya Ar-Rohman wa Auliya Asy-Syaithon, sebagaimana beliau juga membawakan dalil tentang wali Alloh, ciri-ciri mereka, dan karomah yang Alloh Ta'ala berikan kepada mereka.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ ۖ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Alloh dan orang-orang kafir berperang di jalan thoghut, karena itu perangilah wali-wali setan karena sesungguhnya tipu daya syaithon itu lemah.” (QS.An-Nisa: 76).

Dan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berkata :


وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا
“Barangsiapa menjadikan syaithon sebagai wali (pelindung) selain Alloh, maka ia menderita kerugian yang nyata.” (QS.An-Nisa: 119).

Dan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berkata :


إِنَّمَا ذَ‌ٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya mereka tidak lain adalah setan yang menakut-nakuti wali-walinya (kawan-kawannya), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (QS.Ali ‘Imron: 175)

إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaithon-syaithon itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS.Al-A’rof: 27).

Masih banyak lagi nash yang menjelaskan keberadaan wali syaithon di tengah-tengah orang yang beriman.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahullohu berkata:

“Barangsiapa yang mengaku cinta kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dan berwala’ kepadaNya namun dia tidak mengikuti Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam maka dia bukan wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Bahkan barangsiapa yang menyelisihi Rosululloh maka dia adalah musuh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dan wali syaithon.”
Kemudian beliau berkata:
“Walaupun kebanyakan orang menyangka mereka atau selain mereka adalah wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. (Namun) mereka bukanlah wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.” (Al-Furqon dalam kitab Majmu’atut Tauhid, hal. 331).wallohu 'alam bis showab.

Sumber : Anshor Tauhid

Sabtu, 08 September 2012

WALI ALLAH


Oleh: Abu Isma’il Muhammad Abduh Tuasikal

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang berjudul Al Furqon Baina Auliya’ir Rohman wa Auliya’us Syaithon hlm. 34 mengatakan: “Wali Allah hanyalah orang yang beriman kepada Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam, beriman dengan apa yang dibawanya, dan mengikuti secara lahir dan batin. Barangsiapa yang mengaku mencintai Allah dan wali-Nya, namun tidak mengikuti beliau maka tidak termasuk wali Allah bahkan jika dia menyelisihinya maka termasuk musuh Allah dan wali setan. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’.” (Ali Imron: 31)

Hasan Al Bashri berkata: “Suatu kaum mengklaim mencintai Allah, lantas Allah turunkan ayat ini sebagai ujian bagi mereka”.

Allah sungguh telah menjelaskan dalam ayat tersebut, barangsiapa yang mengikuti Rasulullah ShollAllahu ‘alaihi wa sallam maka Allah akan mencintainya. Namun siapa yang mengklaim mencintai-Nya tapi tidak mengikuti beliau ShallAllahu ‘alaihi wa sallam maka tidak termasuk wali Allah. Walaupun banyak orang menyangka dirinya atau selainnya sebagai wali Allah, tetapi kenyataannya mereka bukan wali-Nya.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa cakupan definisi wali ini begitu luas, mencakup setiap orang yang memiliki keimanan dan ketaqwaan. Maka wali Allah yang paling utama adalah para nabi. Para nabi yang paling utama adalah para rasul.

Para Rasul yang paling utama adalah ‘ulul azmi. Sedang ‘ulul azmi yang paling utama adalah Nabi kita Muhammad ShallAllahu ‘alaihi wa sallam.

Maka sangat salah suatu pemahaman yang berkembang di masyarakat kita saat ini, bahwa wali itu hanya monopoli orang-orang tertentu, semisal ulama, kyai, apalagi hanya terbatas pada orang yang memiliki ilmu yang aneh-aneh dan sampai pada orang yang meninggalkan kewajiban syari’at yang dibebankan padanya. Wallahu a’lam.

(Disarikan dari Majalah Al Furqon Ed.1/Th.III dengan sedikit tambahan)

***

Artikel www.muslim.or.id

Selasa, 04 September 2012

HADIST-HADIST PALSU TENTANG KEUTAMAAN MENZIARAHI KUBURAN NABI SALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM


Oleh: Ustadz Abdullah Taslim. MA


عن عبد الله بن عمر، عن النبي قال: ((مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ وَفَاتِي كَانَ كَمَنْ زَارَنِي فِي حَيَاتِي))

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Barangsiapa yang berhaji lalu menziarahi kuburanku setelah aku wafat maka dia seperti orang yang mengunjungiku sewaktu aku masih hidup”.

Hadits ini dikeluarkan oleh imam ath-Thabarani[1], Ibnu ‘Adi[2], ad-Daraquthni[3], al-Baihaqi[4] dan al-Fakihani[5] dengan sanad mereka dari Hafsh bin Sulaiman Ibnu Abi Dawud, dari al-Laits bin Abi sulaim, dari Mujahid, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits ini adalah hadits palsu, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Hafsh bin Sulaiman Ibnu Abi Dawud al-Asadi, imam Ahmad, Abu Hatim, al-Bukhari, Muslim dan an-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia ditinggalkan riwayat haditsnya (karena sangat lemah)”[6]. Imam Yahya bin Ma’in berkata: “Dia adalah seorang pendusta”. Bahkan Ibnu Khirasy berkata: “Dia adalah pendusta, ditinggalkan (riwayat haditsnya) dan pemalsu hadits”[7].

Dalam sanadnya juga ada perawi yang bernama al-Laits bin Abi Sulaim, Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentangnya: “Dia adalah orang yang angat jujur, tetapi hafalannya tercampur dan tidak bisa dibedakan (yang benar dan salah) sehingga (riwayat) haditsnya ditinggalkan”[8].

Hadits ini juga diriwayatkan dari jalur lain, akan tetapi dalam sanadnya juga terdapat perawi yang dihukumi sebagai pendusta oleh para ulama ahli hadits[9].

Hadits ini diisyaratkan kelemahannya yang sangat fatal oleh imam Ibnu ‘Adi[10] dan Ibnu ‘Abdil Hadi[11].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Hadits ini kedustaannya sangat jelas dan (maknanya) bertentangan dengan (ajaran) agama Islam”[12].

Juga dihukumi sebagai hadits palsu oleh Syaikh al-Albani rahimahullah[13].

Ada hadits lain yang semakna dengan hadits di atas:

عن ابن عمر قال: قال رسول الله: ((مَنْ حَجَّ الْبَيْتِ فَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي)).

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang berhaji ke baitullah lalu tidak menziarahi (kuburanku) maka sungguh dia telah bersikap kasar terhadapku”.

Hadits ini dikeluarkan oleh imam Ibnu ‘Adi, Ibnu Hibban dan Ibnul Jauzi dengan sanad mereka dari Ibnu ‘Umar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits ini juga hadits yang palsu, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama an-Nu’man bin Syibl al-Bahili al-Bashri, imam Musa bin Harun berkata tentangnya: “Dia adalah seorang yang tertuduh (berdusta dalam meriwayatkan hadits)”[14]. Imam Ibnu Hibban berkata: “Dia meriwayatkan dari perawi-perawi terpercaya malapetaka besar (hadits-hadits dusta dan palsu) dan dari perawi-perawi yang kuat hafalannya hadits-hadits yang terbalik”[15].

Hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh imam Ibnu Hibban[16], Ibnul Jauzi[17], adz-Dzahabi[18], asy-Syaukani[19] dan Syaikh al-Albani[20].

Demikian pula hadits-hadits lain tentang keutamaan/anjuran menziarahi kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya adalah hadits yang sangat lemah atau palsu, maka sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi dan landasan dalam beramal[21].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya hadits-hadits (tentang keutamaan) menziarahi kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semuanya (sangat) lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dalam agama Islam, oleh karena itu, hadits-hadits tersebut tidak satupun diriwayatkan oleh (para imam) pemilik kitab-kitab (hadits) shahih dan sunan, yang meriwayatkannya adalah (para imam) yang meriwayatkan hadits-hadits yang (sangat) lemah (dalam kitab-kitab mereka), seperti ad-Daraquthni, al-Bazzar dan lain-lain”[22].

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya banyak hadits-hadits lain (selain hadits di atas) tentang (keutamaan/anjuran) menziarahi kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya dibawakan oleh as-Subki dalam kitabnya “asy-Syifaa’”, tapi seluruhnya adalah hadits yang sangat parah kelemahannya, bahkan sebagiannya lebih parah dari yang lainnya…Imam Ibnu ‘Abdil Hadi telah menjelaskan kelemahan semua hadits-hadits tersebut dalam kitab beliau “ash-Shaarimul manki” dengan penjelasan yang detail dan teliti yang tidak terdapat dalam kitab-kitab lain”[23].


وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 5 Jumadal akhir 1432 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni


==================================================

[1] Dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 13497) dan “al-Mu’jamul ausath” (no. 3376).

[2] Dalam “al-Kamil fi dhu’afaa-ir rijaal” (2/382).

[3] Dalam “Sunan ad-Daraquthni” (2/278).

[4] Dalam “As-Sunanul kubra” (no. 10054) dan “Syu’abul iimaan” (no. 4154).

[5] Dalam “Akhbaaru Makkah” (no. 901).

[6] Semuanya dinukil oleh Ibnu Hajar dalam “Tahdziibut tahdziib” (2/345).

[7] Ibid.

[8] Kitab “Taqriibut tahdziib” (Hal. 464).

[9] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (1/121-122).

[10] Dalam “al-Kamil fi dhu’afaa-ir rijaal” (2/382).

[11] Dalam kitab “ash-Shaarimul manki” (hal. 63).

[12] Kitab “Majmuu’ul fataawa” (1/234).

[13] Dalam kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (1/120, no. 47).

[14] Dinukil oleh imam adz-Dzahabi dalam “Miizaanul I’tidaal” (4/265).

[15] Kitab “al-Majruuhiin” (3/73).

[16] Dalam kitab “al-Majruuhiin” (3/73).

[17] Dalam kitab “al-Maudhuu’aat” (2/217).

[18] Dalam kitab “Miizaanul I’tidaal” (4/265).

[19] Dalam kitab “al-Fawa-idul majmuu’ah” (hal. 118).

[20] Dalam kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (1/119, no. 45).

[21] Lihat kitab “Syifa-ush shuduur” (hal. 168) tulisan Zainuddin Mar’i al-Karmi dan “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (1/123).

[22] Kitab “Majmuu’ul fataawa” (1/234).

[23] Kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (1/123)..

Sabtu, 01 September 2012

ADAB ISLAMI ZIARAH KUBUR

Oleh: Rifzal Darma

Agar berbuah pahala, maka ziarah kubur harus sesuai dengan tuntunan syari’at yang mulia ini. Berikut ini adab-adab Islami ziarah kubur :


Pertama: Hendaknya mengingat tujuan utama berziarahIngatlah selalu hikmah disyari’atkannya ziarah kubur, yakni untuk mengambil pelajaran dan mengingat kematian.


Imam Ash Shan’ani rahimahullah berkata : “Semua hadits di atas menunjukkan akan disyari’atkannya ziarah kubur dan menjelaskan hikmah dari ziarah kubur, yakni untuk mengambil pelajaran seperti di dalam hadits Ibnu Mas’ud (yang artinya ) : “ Karena di dalam ziarah terdapat pelajaran dan peringatan terhadap akhirat dan membuat zuhud terhadap dunia”. Jika tujuan ini tidak tercapai, maka ziarah tersebut bukanlah ziarah yang diinginkan secara syari’at” [1]


Kedua: Tidak boleh melakukan safar untuk berziarah


Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى


“Janganlah melakukan perjalanan jauh (dalam rangka ibadah, ed) kecuali ke tiga masjid : Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsha” [2]


Ketiga: Mengucapkan salam ketika masuk kompleks pekuburan


“Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu , dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan mereka (para shahabat) jika mereka keluar menuju pekuburan agar mengucapkan :


اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْل الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُاللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ


“ Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian, kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian” [3]


Keempat: Tidak memakai sandal ketika memasuki pekuburan


Dari shahabat Basyir bin Khashashiyah radhiyallahu ‘anhu : “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berjalan, tiba-tiba beliau melihat seseorang sedang berjalan di antara kuburan dengan memakai sandal. Lalu Rasulullah bersabda,


يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ، وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ» فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَرَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا


“Wahai pemakai sandal, celakalah engkau! Lepaskan sandalmu!” Lalu orang tersebut melihat (orang yang meneriakinya). Tatkala ia mengenali (kalau orang itu adalah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia melepas kedua sandalnya dan melemparnya” [4]


Kelima: Tidak duduk di atas kuburan dan menginjaknya


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ، فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ


“Sungguh jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, itu lebih baik daripada duduk di atas kubur” [5]


Keenam: Mendo’akan mayit jika dia seorang muslim


Adapun jika mayit adalah orang kafir, maka tidak boleh mendo’akannya.


Ketujuh: Boleh mengangkat tangan ketika mendo’akan mayit tetapi tidak boleh menghadap kuburnya ketika mendo’akannya (yang dituntunkan adalah menghadap kiblat)


Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau mengutus Barirah untuk membuntuti Nabi yang pergi ke Baqi’ Al Gharqad. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di dekat Baqi’, lalu mengangkat tangan beliau untuk mendo’akan mereka.[6]


Dan ketika berdo’a, hendaknya tidak menghadap kubur karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan. Sedangkan do’a adalah intisari sholat.


Kedelapan: Tidak mengucapkan alhujr


Telah lewat keterangan dari Imam An Nawawi rahimahullah bahwa al hujr adalah ucapan yang bathil. Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan : “Tidaklah samar lagi bahwa apa yang orang-orang awam lakukan ketika berziarah semisal berdo’a pada mayit, beristighotsah kepadanya, dan meminta sesuatu kepada Allah dengan perantaranya, adalah termasuk al hujr yang paling berat dan ucapan bathil yang paling besar. Maka wajib bagi para ulama untuk menjelaskan kepada mereka tentang hukum Allah dalam hal itu. Dan memahamkan mereka tentang ziarah yang disyari’atkan dan tujuan syar’i dari ziarah tersebut” [7]


Kesembilan: Diperbolehkan menangis tetapi tidak boleh meratapi mayit


Menangis yang wajar diperbolehkan sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika menziarahi kubur ibu beliau sehingga membuat orang-orang di sekitar beliau ikut menangis. Tetapi jika sampai tingkat meratapi mayit, menangis dengan histeris, menampar pipi, merobek kerah, maka hal ini diharamkan.


Wallahu a'lam..