Kamis, 16 Desember 2010

SYIRIK AKBAR (BESAR)

Penulis: Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Soal 1: Apa dosa yang paling besar di sisi Allah? Jawab: Dosa yang paling besar adalah syirik kepada Allah, dengan dalil firman Allah: "Wahai anakku janganlah kamu mempersekutukan (syirik) kepada Allah, sesungguhnya syirik itu merupakan kezaliman yang paling besar." (Luqman:13). Dan ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya: "Dosa apa yang paling besar? Beliau bersabda: Kamu menjadikan tandingan bagi Allah, sedang Dialah yang menciptakanmu. (HR.Bukhari-Muslim)

Soal 2: Apakah Syirik Akbar itu? Jawab: Syirik besar (Akbar) adalah beribadah kepada selain Allah, seperti berdoa kepada selain Allah, meminta berkah kepada orang yang mati atau hidup tapi tidak berada di tempat orang yang meminta, seperti firman Allah: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. “(an-Nisa':36) Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Termasuk dosa besar yang paling besar adalah berbuat syirik kepada Allah." (HR. Bukhari)

Soal 3: Apakah syirik itu bercokol pada umat sekarang ini?. Jawab: Benar, dengan dalil firman Allah: "Dan kebanyakan dari mereka tidak beriman kepada Allah, kecuali mereka dalam keadaan berbuat syirik." (Yusuf:106) Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Tidak akan terjadi hari kiamat, sehingga segolongan besar dari ummatku cenderung pada orang-orang musyrik dan ikut beribadah pada berhala. (HR.Tirmidzi)

Soal 4: Apa hukum berdoa kepada orang yang mati atau ghaib? Jawab: Berdoa kepada orang yang mati dan ghaib itu syirik akbar, sebagaimana firman Allah: "Dan janganlah kamu berdoa kepada selain Allah, apa yang tidak memberimu manfaat dan memberimu madharat; sebab jika kamu melakukan (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim." (Yunus: 106). Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Barangsiapa yang mati sedang dia menyeru/berdoa kepada selain Allah sebagai tandingan, niscaya masuk neraka." (HR.Bukhari)

Soal 5: Apakah doa itu ibadah?. Jawab: Ya, doa itu ibadah, sebagaimana firman Allah: "Berdoalah kepada-Ku akan Kupenuhi permintaanmu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina." (Ghafir:60) Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Doa itu ibadah." (HR.Ahmad dan Tirmidzi, beliau berkata: hasan shahih)

Soal 6: Apakah orang mati itu bisa mendengarkan doa?. Jawab: Tidak bisa mendengar, dengan dalil firman Allah: "Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar." (an-Naml:80). "Dan kamu sekali-kali tidak sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar." (faathir:22)

CONTOH-CONTOH LAIN PERBUATAN-PERBUATAN SYIRIK YANG BANYAK TERSEBAR DI MASYARAKAT (kitab Mukhalafat fit Tauhid, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ar-Rayyis) 1- Mempersembahkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta'ala, seperti berdoa (memohon) kepada orang-orang shaleh yang telah mati, meminta pengampunan dosa, menghilangkan kesulitan (hidup), atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan, seperti keturunan dan kesembuhan penyakit, kepada orang-orang shaleh tersebut. Juga seperti mendekatkan diri kepada mereka dengan sembelihan qurban, bernazar, thawaf, shalat dan sujud. Ini semua adalah perbuatan syirik, karena Allâh Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)". [al-An’âm/6:162-163]

2- Mendatangi para dukun, tukang sihir, peramal (paranormal) dan sebagainya, serta membenarkan ucapan mereka. Ini termasuk perbuatan kufur (mendustakan) agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya: "Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" HR. Ahmad (2/429) dan al-Hâkim (1/49). Lihat ash-Shahîhah no. 3387. Hal ini dikarenakan para dukun, peramal, dan tukang sihir tersebut mengaku-ngaku mengetahui urusan ghaib, padahal ini merupakan kekhususan bagi Allâh Subhanahu wa Ta'ala.

"Katakanlah: "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan". [an-Naml/27:65]

3- Berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri yang melarang hal ini dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Janganlah kalian berlebihan dan melampaui batas dalam memujiku seperti orang-orang Nashrani berlebihan dan melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku adalah hamba (Allâh), maka katakanlah: hamba Allâh dan rasul-Nya". HR. al-Bukhâri no. 3261. Di antara Bentuk Pengagungan Yang Berlebihan Dan Melampaui Batas Kepada Rasulullâh Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah sebagai berikut:

- Meyakini bahwa beliau mengetahui perkara yang ghaib dan bahwa dunia diciptakan karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

- Memohon pengampunan dosa dan masuk surga kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena semua perkara ini adalah khusus milik Allâh Subhanahu wa Ta'ala dan tidak ada seorang makhluk pun yang ikut serta memilikinya.

- Melakukan safar (perjalanan jauh) dengan tujuan menziarahi kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri yang melarang perbuatan ini dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Tidak boleh melakukan perjalanan (dengan tujuan ibadah) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha". HR. al-Bukhâri no. 1132 dan Muslim no. 1397.
Semua hadits yang menyebutkan keutamaan melakukan perjalanan untuk mengunjungi kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hadits yang lemah dan tidak benar penisbatannya kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang ditegaskan oleh sejumlah imam ahli hadits.

4- Berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan kuburan orang-orang shaleh yang terwujudkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: - Memasukkan kuburan ke dalam masjid dan meyakini adanya keberkahan dengan masuknya kuburan tersebut. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Allâh melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani, (karena) mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)" HR. al-Bukhâri no. 1265 dan Muslim no. 529

- Membangun (meninggikan) kuburan dan mengapur (mengecat) nya. Dalam hadits yang shahih, Jabir bin 'Abdillah Radhiyallahu 'anhu berkata: "Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atasnya, dan membangun di atasnya". HR. Muslim (no. 970). Perbuatan-perbuatan ini dilarang karena merupakan sarana yang membawa kepada perbuatan syirik (menyekutukan Allâh Subhanahu wa Ta'ala dengan orang-orang shaleh tersebut).

5- Termasuk perbuatan yang merusak tauhid dan aqidah seorang Muslim adalah menggantungkan jimat -baik berupa benang, manik-manik atau benda lainnya- pada leher, tangan, atau tempat-tempat lainnya, dengan meyakini jimat tersebut sebagai penangkal bahaya dan pengundang kebaikan. Perbuatan ini dilarang keras oleh Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau yang artinya: "Barangsiapa yang menggantungkan jimat, sungguh dia telah berbuat syirik". HR. Ahmad (4/156). Lihat ash-Shahîhah no. 492

6- Demikian juga perbuatan tahayyur, yaitu menjadikan sesuatu sebagai sebab kesialan atau keberhasilan suatu urusan, padahal Allâh Subhanahu wa Ta'ala tidak menjadikannya sebagai sebab yang berpengaruh. Perbuatan ini juga dilarang keras oleh Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau yang artinya: ”Menganggap sial sesuatu adalah kesyirikan". HR. Abu Dâwud no. 3910, at-Tirmidzi no. 1614 dan Ibnu Mâjah no. 3538. Lihat ash-Shahîhah no. 429 7- Demikian juga perbuatan bersumpah dengan nama selain Allâh Azza wa Jalla. Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya: "Barangsiapa bersumpah dengan (nama) selain Allâh, sungguh dia telah berbuat syirik". HR. Abu Dâwud (no. 3251) dan at-Tirmidzi (no. 1535). Lihat ash-Shahîhah no. 2042

NASEHAT DAN PENUTUP Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan doa perlindungan dari segala bentuk syirik kepada Sahabat yang mulia, Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi :

"Ya Allâh, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari)" Hadits shahih riwayat al-Bukhâri, al-Adabul Mufrad no. 716 dan Abu Ya’la no. 60.

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. An Nisa 48

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. Al An’am 82

Demi masa Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. Al Ashr 1-3

SEMOGA BERMANFAAT.

ILMU ADALAH PEMIMPIN AMALAN


"Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma'ruf wan Nahyu 'anil Mungkar, hal. 15)

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.

Mu'adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالع...َمَلُ تَابِعُهُ

"Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma'ruf wan Nahyu 'anil Mungkar, hal. 15)

Bukti Bahwa Ilmu Lebih Didahulukan daripada Amalan

Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, "Al 'Ilmu Qoblal Qouli Wal 'Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)". Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta'ala,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

"Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu" (QS. Muhammad [47]: 19).

Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)

Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)

Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (Fathul Bari, 1/108)

Keutamaan Luar Biasa Ilmu Syar’i

Setelah kita mengetahui hal di atas, hendaklah setiap orang lebih memusatkan perhatiannya untuk berilmu terlebih dahulu daripada beramal. Semoga dengan mengetahui faedah atau keutamaan ilmu syar’i berikut akan membuat kita lebih termotivasi dalam hal ini.

Pertama, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu di akhirat dan di dunia

Di akhirat, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat berbanding lurus dengan amal dan dakwah yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang yang berilmu dari hamba-hamba yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia lakukan. Allah Ta’ala berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al Mujadalah: 11)

Kedua, seorang yang berilmu adalah cahaya yang banyak dimanfaatkan manusia untuk urusan agama dan dunia meraka.

Dalilnya, satu hadits yang sangat terkenal bagi kita, kisah seorang laki-laki dari Bani Israil yang membunuh 99 nyawa. Kemudian dia ingin bertaubat dan dia bertanya siapakah di antara penduduk bumi yang paling berilmu, maka ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia bertanya kepada si ahli ibadah, apakah ada taubat untuknya. Ahli ibadah menganggap bahwa dosanya sudah sangat besar sehingga dia mengatakan bahwa tidak ada pintu taubat bagi si pembunuh 99 nyawa. Maka dibunuhlah ahli ibadah sehigga genap 100 orang yang telah dibunuh oleh laki-laki dari Bani Israil tersebut. Akhirnya dia masih ingin bertaubat lagi, kemudian dia bertanya siapakah orang yang paling berilmu, lalu ditunjukkan kepada seorang ulama. Dia bertanya kepada ulama tersebut, “Apakah masih ada pintu taubat untukku”. Maka ulama tersebut mengatakan bahwa masih ada pintu taubat untuknya dan tidak ada satupun yang menghalangi dirinya untuk bertaubat. Kemudian ulama tersebut menunjukkan kepadanya agar berpindah ke sebuah negeri yang penduduknya merupakan orang shalih, karena kampungnya merupakan kampung yang dia tinggal sekarang adalah kampung yang penuh kerusakan. Oleh karena itu, dia pun keluar meninggalkan kampung halamannya. Di tengah jalan sebelum sampai ke negeri yang dituju, dia sudah dijemput kematian. (HR. Bukhari dan Muslim). Kisah ini merupakan kisah yang sangat masyhur. Lihatlah perbedaan ahli ibadah dan ahli ilmu.

Ketiga, Ilmu adalah Warisan Para Nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.”

(HR Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Keempat, Orang yang Berilmu yang Akan Mendapatkan Seluruh Kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada dirinya.”

(Majmu’ Al Fatawa, 28/80)

Ilmu yang Wajib Dipelajari Lebih Dahulu

Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia adalah ilmu yang menuntut untuk diamalkan saat itu, adapun ketika amalan tersebut belum tertuntut untuk diamalkan maka belum wajib untuk dipelajari. Jadi ilmu mengenai tauhid, mengenai 2 kalimat syahadat, mengenai keimanan adalah ilmu yang wajib dipelajari ketika seseorang menjadi muslim, karena ilmu ini adalah dasar yang harus diketahui.

Kemudian ilmu mengenai shalat, hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti bersuci dan lainnya, merupakan ilmu berikutnya yang harus dipelajari. Kemudian ilmu tentang hal-hal yang halal dan haram, ilmu tentang mualamalah dan seterusnya.

Contohnya seseorang yang saat ini belum mampu berhaji, maka ilmu tentang haji belum wajib untuk ia pelajari saat ini. Akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji, ia wajib mengetahui ilmu tentang haji dan segala sesuatu yang berkaitan dengan haji. Adapun ilmu tentang tauhid, tentang keimanan, adalah hal pertama yang harus dipelajari karena setiap amalan yang ia lakukan tentunya berkaitan dengan niat. Kalau niatnya dalam melakukan ibadah karena Allah maka itulah amalan yang benar. Adapun kalau niatnya karena selain Allah maka itu adalah amalan syirik. Ini semua jika dilatarbelakangi dengan aqidah dan tauhid yang benar.

Penutup

Marilah kita awali setiap keyakinan dan amalan dengan ilmu agar luruslah niat kita dan tidak terjerumus dalam ibadah yang tidak ada tuntunan (alias bid’ah). Ingatlah bahwa suatu amalan yang dibangun tanpa dasar ilmu malah akan mendatangkan kerusakan dan bukan kebaikan. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan,

من عبد الله بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح

"Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan." (Al Amru bil Ma'ruf wan Nahyu 'anil Mungkar, hal. 15). Di samping itu pula, setiap ilmu hendaklah diamalkan agar tidak serupa dengan orang Yahudi.

Sufyan bin ‘Uyainah –rahimahullah- mengatakan,

مَنْ فَسَدَ مِنْ عُلَمَائِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ الْيَهُودِ وَمَنْ فَسَدَ مِنْ عِبَادِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ النَّصَارَى

Orang berilmu yang rusak (karena tidak mengamalkan apa yang dia ilmui) memiliki keserupaan dengan orang Yahudi. Sedangkan ahli ibadah yang rusak (karena beribadah tanpa dasar ilmu) memiliki keserupaan dengan orang Nashrani.” (Majmu’ Al Fatawa, 16/567)

Semoga Allah senantiasa memberi kita bertaufik agar setiap amalan kita menjadi benar karena telah diawali dengan ilmu terdahulu. Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat, amal yang sholeh yang diterima, dan rizki yang thoyib.

Alhamdulilllahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Rabu, 15 Desember 2010

MENGENAL TOKOH DAN PERJUANGAN MUHAMMAD BIN ABD. AL-WAHHAB

Oleh: Akhmadz Triyudo

Maaf saya tulis kembali penjelasan tentang "Wahabi" sebagai ilmu pengetahuan.

Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) (bahasa Arab:محمد بن عبد الوهاب التميمى) adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah, yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi.

Para pendukung pergerakan ini sering disebut Wahabbi, namun mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun, yang berarti "satu Tuhan".

Genealogi

Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, yang memiliki nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.

Biografi

Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para pendukung pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun, yang berarti "satu Tuhan".

Istilah Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya terkeliru dengan mereka kerana mereka mendakwa mazhab mereka menuruti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.

Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama 'Abd al-Wahhab yaitu bapa kepada pengasasnya, al-Syaikh Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Najdi. Bagaimanapun, nama Wahhabi dikatakan ditolak oleh para penganut Wahhabi sendiri dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun(3) (unitarians) kerana mereka mendakwa ingin mengembalikan ajaran-ajaran tawhid ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah saw. Dia mengikat perjanjian dengan Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd. Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi politik sementara Ibnu Abdul Wahhab menjadi pemimpin spiritual. Sampai saat ini, gelar "keluarga kerajaan" negara Arab Saudi dipegang oleh keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga Ibnu abdul wahhab misalnya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz.

Masa Kecil

Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan abangnya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.

Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama, yang diajar sendiri oleh ayahnya, Syeikh Abdul Wahhab. Berkat bimbingan kedua orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum ia berusia sepuluh tahun. Setelah itu, beliau diserahkan oleh orangtuanya kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar ke luar daerah

Saudara kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, menceritakan betapa bangganya Syeikh Abdul Wahab, ayah mereka, terhadap kecerasan Muhammad. Ia pernah berkata, "Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh".

Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima - mengerjakan haji di Baitullah. Ketika telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama disana. Di Madinah, ia berguru pada dua orang ulama besar yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.

Kehidupannya di Madinah

Ketika berada di kota Madinah, ia melihat banyak umat Islam di sana yang tidak menjalankan syariat dan berbuat syirik, seperti mengunjungi makam Nabi atau makam seorang tokoh agama, kemudian memohon sesuatu kepada kuburan dan penguhuninya. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan manusia untuk tidak meminta selain kepada Allah.

Hal ini membuat Syeikh Muhammad semakin terdorong untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni (Aqidah Salafiyah). Ia pun berjanji pada dirinya sendiri, ia akan berjuang dan bertekad untuk mengembalikan aqidah umat Islam di sana kepada akidah Islam yang murni (tauhid), jauh dari sifat khurafat, tahayul, atau bidah.

Belajar dan berdakwah di Basrah

Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, ia kemudian pindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang hadits dan musthalahnya, fiqih dan usul fiqhnya, serta ilmu gramatika (ilmu qawaid). Selain belajar, ia sempat juga berdakwah di kota ini.

Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana beliau bermukim untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang bersinar, karena menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama setempat.

Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah ialah seorang ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari sebagian ulama yang dituduhnya sesat. Akhirnya beliau meninggalkan Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk menyebarkan ilmu dan pengalamannya.

Setelah beberapa lama, beliau lalu kembali ke al-Ahsa menemui gurunya Syeikh Abdullah bin `Abd Latif al-Ahsai untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang selama ini belum sempat dipelajarinya. Di sana beliau bermukim untuk beberapa waktu, dan kemudian ia kembali ke kampung asalnya Uyainah.

Pada tahun 1139H/1726M, bapanya berpindah dari 'Uyainah ke Huraymilah dan dia ikut serta dengan bapanya dan belajar kepada bapanya. Tetapi beliau masih meneruskan tentangannya yang kuat terhadap amalan-amalan agama di Najd. Hal ini yang menyebabkan adanya pertentangan dan perselisihan yang hebat antara beliau dengan bapanya yang Ahlussunnah wal jama'ah (serta penduduk-penduduk Najd). Keadaan tersebut terus berlanjut hingga ke tahun 1153H/1740M, saat bapanya meninggal dunia.

Perjuangan memurnikan aqidah Islam

Sejak dari itu, Syeikh Muhammad tidak lagi terikat. Dia bebas mengemukakan akidah-akidahnya sekehendak hatinya, menolak dan mengesampingkan amalan-amalan agama yang dilakukan umat islam saat itu.

Melihat keadaan umat islam yang sudah melanggar akidah, ia mulai merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.

Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut.

Suatu ketika, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat bangunan di atas kubur menurut pendapatnya dapat menjurus kepada kemusyrikan.

Amir menjawab "Silakan... tidak ada seorang pun yang boleh menghalang rancangan yang mulia ini." Tetapi beliau khuatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh penduduk yang tinggal berdekatan maqam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan maqam yang dikeramatkan itu.

Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai makam Zaid bin al-Khattab ra. yang gugur sebagai syuhada’ Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab) di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka. Karena di sana terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan) Yamamah yang dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka.

Bisa saja yang mereka anggap makam Zaid bin al-Khattab itu adalah makam orang lain. Tetapi oleh karena masyarakat setempat di situ telah terlanjur beranggapan bahwa itulah makam beliau, mereka pun mengkeramatkannya dan membina sebuah masjid di dekatnya. Makam itu kemudian dihancurkan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Uthman bin Muammar.

Pergerakan Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat.

Berita tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah maupun di luar Uyainah.

Ketika pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad bin'Abd al-Wahhab mendakwahkan pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula menyokongnya, maka kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada pemerintah'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah. Ia kemudian memanggil Syeikh Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan yang diberikan oleh Amir al-Ahsa'. Amir Uyainah berada dalam posisi serba salah saat itu, di satu sisi dia ingin mendukung perjuangan syeikh tapi di sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir al-Ihsa. Akhirnya, setelah terjadi perdebatan antara syeikh dengan Amir Uyainah, di capailah suatu keputusan: Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah dan mengungsi ke daerah lain.

Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab, Da'watuhu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baz, beliau berkata: "Demi menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak ada lagi pilihan lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Syeikh meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dengan menempuh perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani oleh seorangpun. Ia meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dini hari, dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam hari." (Ibnu Baz, Syeikh `Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22)

Tetapi ada juga tulisan lainnya yang mengatakan bahwa: Pada mulanya Syeikh Muhammad mendapat dukungan penuh dari pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin Mu’ammar, namun setelah api pergerakan dinyalakan, pemerintah setempat mengundurkan diri dari percaturan pergerakan karena alasan politik (besar kemungkinan takut dipecat dari kedudukannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan demikian, tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh pemerintahnya.

Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab kemudian pergi ke wilayah Dir’iyyah.

Kehidupannya di Dir'iyyah

Sesampainya Syeikh Muhammad di sebuah kampung wilayah Dir'iyyah, yang tidak berapa jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud (pemerintah wilayah Dir’iyyah), Syeikh menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Suwailim al-`Uraini. Bin Suwailim ini adalah seorang yang dikenal soleh oleh masyarakat setempat. Syeikh kemudian meminta izin untuk tinggal bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan perjalanannya ke tempat lain. Pada awalnya ia ragu-ragu menerima Syeikh di rumahnya, karena suasana Dir'iyyah dan sekelilingnya pada waktu itu tidak aman. Namun, setelah Syeikh memperkenalkan dirinya serta menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke negeri Dir’iyyah, yaitu hendak menyebarkan dakwah Islamiyah dan membenteras kemusyrikan, barulah Muhammad bin Suwailim ingin menerimanya sebagai tamu di rumahnya.

Peraturan di Dir'iyyah ketika itu mengharuskan setiap pendatang melaporkan diri kepada penguasa setempat, maka pergilah Muhammad bin Suwailim menemui Amir Muhammad untuk melaporkan kedatangan Syeikh Abdul Wahab yang baru tiba dari Uyainah serta menjelaskan maksud dan tujuannya kepada beliau. Namun mereka gagal menemui Amir Muhammad yang saat itu tidak ada di rumah, mereka pun menyampaikan pesan kepada amir melalui istrinya.

Istri Ibnu Saud ini adalah seorang wanita yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud mendapat giliran ke rumah isterinya ini, sang istri menyampaikan semua pesan-pesan itu kepada suaminya. Selanjutnya ia berkata kepada suaminya: "Bergembiralah kakanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan di mana Allah telah mengirimkan ke negeri kita seorang ulama, juru dakwah yang mengajak masyarakat kita kepada agama Allah, berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Inilah suatu keuntungan yang sangat besar, janganlah ragu-ragu untuk menerima dan membantu perjuangan ulama ini, mari sekarang juga kakanda menjemputnya kemari."

Namun baginda bimbang sejenak, ia bingung apakah sebaiknya Syeikh itu dipanggil datang menghadapnya, atau dia sendiri yang harus datang menjemput Syeikh untuk dibawa ke tempat kediamannya? Baginda pun kemudian meminta pandangan dari beberapa penasihatnya tentang masalah ini. Isterinya dan para penasihatnya yang lain sepakat bahwa sebaiknya baginda sendiri yang datang menemui Syeikh Muhammad di rumah Muhammad bin Sulaim. Baginda pun menyetujui nasihat tersebut. Maka pergilah baginda bersama beberapa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin Suwailim, di mana Syeikh Muhammad bermalam.

Sesampainya baginda di rumah Muhammad bin Suwailim, amir Ibnu Saud memberi salam dan dibalas dengan salam dari Syeikh dan bin Suwalim. Amir Ibnu Saud berkata: "Ya Syeikh! Bergembiralah anda di negeri kami, kami menerima dan menyambut kedatangan anda di negeri ini dengan penuh gembira. Dan kami berjanji untuk menjamin keselamatan dan keamanan anda di negeri ini dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat Dir'iyyah. Demi kejayaan dakwah Islamiyah yang anda rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan nyawa dan harta untuk berjuang bersama-sama anda demi meninggikan agama Allah dan menghidupkan sunnah RasulNya, sehingga Allah memenangkan perjuangan ini, Insya Allah!"

Kemudian Syeikh menjawab: "Alhamdulillah, anda juga patut gembira, dan Insya Allah negeri ini akan diberkati Allah Subhanahu wa Taala. Kami ingin mengajak umat ini kepada agama Allah. Siapa yang menolong agama ini, Allah akan menolongnya. Dan siapa yang mendukung agama ini, nescaya Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah kita akan melihat kenyataan ini dalam waktu yang tidak begitu lama." Demikianlah seorang Amir (penguasa) tunggal negeri Dir'iyyah, yang bukan hanya sekadar membela dakwahnya saja, tetapi juga sekaligus melindungi darahnya bagaikan saudara kandung sendiri, yang berarti di antara Amir dan Syeikh sudah bersumpah setia sehidup-semati, dan senasib-sepenanggungan, dalam menegakkan hukum Allah dan RasulNya di bumi Dir'iyyah. Ternyata apa yang diikrarkan oleh Amir Ibnu Saud itu benar-benar ditepatinya. Ia bersama Syeikh seiring sejalan, bahu-membahu dalam menegakkan kalimah Allah, dan berjuang di jalanNya.

Nama Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu terdengar di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dir'iyyah maupun di negeri-negeri tetangga. Masyarakat luar Dir'iyyah pun berduyun-duyun datang ke Dir'iyyah untuk menetap dan tinggal di negeri ini, sehingga negeri Dir'iyyah penuh sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab. Ia pun mulai membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang menjadi modal utama bagi perjuangan beliau, yang meliputi disiplin ilmu Aqidah al-Qur’an, tafsir, fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah hadith, gramatikanya (nahwu-shorof) dan lain-lain.

Dalam waktu yang singkat , Dir'iyyah telah menjadi kiblat ilmu dan tujuan mereka yang hendak mempelajari Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun datang ke negeri ini. Di samping pendidikan formal (madrasah), diadakan juga dakwah yang bersifat terbuka untuk semua lapisan masyarakat. Gema dakwah beliau begitu membahana di seluruh pelosok Dir'iyyah dan negeri-negeri jiran yang lain. Kemudian, Syeikh mulai menegakkan jihad, menulis surat-surat dakwahnya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh beliau sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bidah dan khurafat di negeri mereka masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, beliau memulai di negeri Najd. Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.

Berdakwah Melalui Surat-menyurat

Syeikh menempuh pelbagai macam dan cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).

Maka Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, salah satunya adalah Dahham bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Ia terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang dekat ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan tahyul.

Berkat hubungan surat menyurat Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga beliau disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan,Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.

Memang cukup banyak para da’i dan ulama di negeri-negeri tersebut, tetapi pada waktu itu kebanyakan dari mereka tidak fokus untuk membasmi syirik dalam dakwahnya, meskipun mereka memiliki ilmu-ilmu yang cukup memadai.

Demikian banyaknya surat-menyurat di antara Syeikh dengan para ulama baik di dalam dan luar Jazirah Arab, sehingga menjadi dokumen yang amat berharga sekali. Akhir-akhir ini semua tulisan beliau, yang berupa risalah, maupun kitab-kitabnya, sedang dihimpun untuk dicetak dan sebagian sudah dicetak dan disebarkan ke seluruh pelosok dunia Islam, baik melalui Rabithah al-`Alam Islami, maupun dari pihak kerajaan Saudi sendiri (di masa mendatang). Begitu juga dengan tulisan-tulisan dari putera-putera dan cucu-cucu beliau serta tulisan-tulisan para murid-muridnya dan pendukung-pendukungnya yang telah mewarisi ilmu-ilmu beliau. Di masa kini, tulisan-tulisan beliau sudah tersebar luas ke seluruh pelosok dunia Islam.

Dengan demikian, jadilah Dir'iyyah sebagai pusat penyebaran dakwah kaum Muwahhidin (gerakan pemurnian tauhid) oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang didukung oleh penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian murid-murid keluaran Dir'iyyah juga menyebarkan ajaran-ajaran tauhid murni ini ke seluruh penjuru dunia dengan membuka madrasah atau kajian umum di daerah mereka masing-masing.

Sejarah pembaharuan yang digerakkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab ini tercatat dalam sejarah dunia sebagai yang paling hebat dari jenisnya dan amat cemerlang.

Di samping itu, hal ini merupakan suatu pergerakan perubahan besar yang banyak memakan korban manusia maupun harta benda. Hal ini terjadi karena banyaknya perlawanan dari luar maupun dari dalam. Perlawanan dari dalam terutama dari tokoh-tokoh agama Islam sendiri yang takut akan kehilangan pangkat, kedudukan, pengaruh dan jamaahnya. Maupun dari Penguasa Turki Utsmani yang khawatir terhadap pengaruh dakwah Ibnu Abdil Wahhab yang telah merambah dua kota suci umat Islam, Mekkah dan Madinah. Karenanya, demi mempertahankan kekuasaan mereka, mereka mengirim pasukan besar di bawah komando Muhammad Ali Basya (Gubernur Mesir) untuk menaklukkan Dir'iyyah beberapa kali, hingga akhirnya jatuh pada tahun 1233 H.

Banyak di antara tokoh Al Saud dan Al Syaikh (anak-cucu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) yang ditangkap dan diasingkan ke Mesir pasca jatuhnya ibukota Dir'iyyah, bahkan sebagiannya dieksekusi oleh musuh, contohnya adalah Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab yang merupakan pakar hadits di zamannya. Beliau dibunuh dengan cara sangat keji oleh Ibrahim Basya. Demikian pula imam Daulah Su'udiyyah kala itu, yaitu Imam Abdullah bin Su'ud bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud (cicit Muhammad bin Saud). Beliau dieksekusi di Istanbul, Turki.

Inilah periode Daulah Su'udiyyah I (1151-1233 H). Kemudian berdiri Daulah Su'udiyyah II (1240-1309 H), dan yang terakhir ialah Daulah Su'udiyyah III yang kemudian berganti nama menjadi Al Mamlakah Al 'Arabiyyah As Su'udiyyah (Kerajaan Arab Saudi), yang didirikan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Saud (Bapak Raja-raja Saudi sekarang) pada tahun 1319 H hingga kini.

Selain mendapat perlawanan sengit dari Pihak Turki Utsmani, mereka juga sangat dimusuhi oleh kaum Syi'ah Bathiniyyah, baik dari Najran (selatan Saudi) maupun yang lainnya. Salah satu pertempuran besar pernah terjadi antara kaum muwahhidin dengan pasukan Hasan bin Hibatullah Al Makrami dari Najran yang berakidah Syi'ah Bathiniyyah, dan peperangan ini memakan korban jiwa cukup besar di pihak muwahhidin. Bahkan Imam Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud konon terbunuh di tangan salah seorang syi'ah yang menyusup ke tengah-tengah kaum muwahhidin, beliau ditikam dari belakang ketika sedang mengimami salat berjama'ah.

Selain perlawanan sengit dari mereka yang mengatasnamakan Islam, para pengikut dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab juga dimusuhi oleh pihak kafir. Imperialis Inggris yang menjajah banyak negeri kaum muslimin kala itu pun khawatir terhadap dampak buruk penyebaran dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab bagi eksistensi mereka. Sebab beliau menghidupkan kembali ajaran tauhid dan berjihad melawan berbagai bentuk syirik dan bid'ah, sedangkan Inggris justeru mempertahankan hal tersebut karena di situlah titik kelemahan kaum muslimin. Artinya, bila kaum muslimin kembali kepada tauhid dan meninggalkan semua bentuk syrik dan bid'ah, niscaya mereka akan angkat senjata melawan para penjajah. Karenanya, Inggris memunculkan istilah 'Wahhabi' dan merekayasa berbagai kedustaan dan kejahatan yang mereka lekatkan pada pengikut dakwah Syaikh Ibn Abdil Wahhab, sehingga banyak dari kaum muslimin di negeri-negeri jajahan Inggris yang termakan hasutan tersebut dan serta merta membenci mereka.

Alhamdulillah, masa-masa tersebut telah berlalu. Umat Islam kini lebih faham tentang apa dan siapa kaum pengikut dakwah Rasulullah yang diteruskan Muhammad bin Abdul Wahhab (yang dijuluki Wahabi) tersebut. Satu persatu kejahatan dan kebusukan kaum orientalis yang sengaja mengadu domba antara sesama umat Islam semenjak awal, begitu juga dari kaum penjajah Barat, semuanya kini terungkap.

Meskipun usaha musuh-musuh dakwahnya begitu hebat, baik dari luar maupun dalam, yang dilancarkan melalui pena atau ucapan demi membendung dakwah tauhid ini, namun usaha mereka sia-sia belaka, karena ternyata Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memenangkan perjuangan dakwah tauhid yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang telah mendapat sambutan bukan hanya oleh penduduk negeri Najd saja, akan tetapi juga sudah menggema ke seluruh dunia Islam dari Ujung barat benua Afrika sampai ke Merauke, bahkan mulai menjamah Eropa dan Amerika.

Untuk mencapai tujuan pemurnian ajaran agama Islam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah menempuh pelbagai macam cara. Kadangkala lembut dan kadangkala kasar, sesuai dengan sifat orang yang dihadapinya. Ia mendapat pertentangan dan perlawanan dari kelompok yang tidak menyenanginya karena sikapnya yang tegas dan tanpa kompromi, sehingga lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun pelbagai fitnah terhadap dirinya dan pengikut-pengikutnya.

Musuh-musuhnya pernah menuduh bahwa Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah melarang para pengikutnya membaca kitab fiqh, tafsir dan hadith. Malahan ada yang lebih keji, yaitu menuduh Syeikh Muhammad telah membakar beberapa kitab tersebut, serta menafsirkan Al Qur’an menurut kehendak hawa nafsu sendiri.

Apa yang dituduh dan difitnah terhadap Syeikh Ibnu `Abdul Wahab itu, telah dijawab dengan tegas oleh seorang pengarang terkenal, yaitu al-Allamah Syeikh Muhammad Basyir as-Sahsawani, dalam bukunya yang berjudul Shiyanah al-Insan di halaman 473 seperti berikut:

"Sebenarnya tuduhan tersebut telah dijawab sendiri oleh Syeikh Ibnu `Abdul Wahab sendiri dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan kepada `Abdullah bin Suhaim dalam pelbagai masalah yang diperselisihkan itu. Diantaranya beliau menulis bahwa semua itu adalah bohong dan kata-kata dusta belaka, seperti dia dituduh membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia mendakwakan dirinya sebagai mujtahid, bukan muqallid."

Kemudian dalam sebuah risalah yang dikirimnya kepada `Abdurrahman bin `Abdullah, Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Aqidah dan agama yang aku anut, ialah mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah, sebagai tuntunan yang dipegang oleh para Imam Muslimin, seperti Imam-imam Mazhab empat dan pengikut-pengikutnya sampai hari kiamat. Aku hanyalah suka menjelaskan kepada orang-orang tentang pemurnian agama dan aku larang mereka berdoa (mohon syafaat) pada orang yang hidup atau orang mati daripada orang-orang soleh dan lainnya."

`Abdullah bin Muhammad bin `Abdul Wahab, menulis dalam risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa hasil karya ayahnya, Syeikh Ibnu `Abdul Wahab, seperti berikut: "Bahwa mazhab kami dalam Ushuluddin (Tauhid) adalah mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan cara (sistem) pemahaman kami adalah mengikuti cara Ulama Salaf. Sedangkan dalam hal masalah furu’ (fiqh) kami cenderung mengikuti mazhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kami tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang bermazhab dengan salah satu daripada mazhab yang empat. Dan kami tidak mempersetujui seseorang bermazhab kepada mazhab yang luar dari mazhab empat, seprti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan lain-lain lagi. Kami tidak membenarkan mereka mengikuti mazhab-mazhab yang batil. Malah kami memaksa mereka supaya bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari mazhab empat tersebut. Kami tidak pernah sama sekali mengaku bahwa kami sudah sampai ke tingkat mujtahid mutlaq, juga tidak seorang pun di antara para pengikut kami yang berani mendakwakan dirinya dengan demikian. Hanya ada beberapa masalah yang kalau kami lihat di sana ada nash yang jelas, baik dari Qur’an maupun Sunnah, dan setelah kami periksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya, atau yang mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya, serta dipegangi pula oleh salah seorang Imam empat, maka kami mengambilnya dan kami meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti dalam masalah warisan yang menyangkut dengan kakek dan saudara lelaki; Dalam hal ini kami berpendirian mendahulukan kakek, meskipun menyalahi mazhab kami (Hambali)."

Demikianlah bunyi isi tulisan kitab Shiyanah al-Insan, hal. 474. Seterusnya beliau berkata: "Adapun yang mereka fitnah kepada kami, sudah tentu dengan maksud untuk menutup-nutupi dan menghalang-halangi yang hak, dan mereka membohongi orang banyak dengan berkata: `Bahwa kami suka mentafsirkan Qur’an dengan selera kami, tanpa mengindahkan kitab-kitab tafsirnya. Dan kami tidak percaya kepada ulama, menghina Nabi kita Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam’ dan dengan perkataan `bahwa jasad Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam itu buruk di dalam kuburnya. Dan bahwa tongkat kami ini lebih bermanfaat daripada Nabi, dan Nabi itu tidak mempunyai syafaat.

Dan ziarah kepada kubur Nabi itu tidak sunat, dan Nabi tidak mengerti makna "La ilaha illallah" sehingga perlu diturunkan kepadanya ayat yang berbunyi: "Fa’lam annahu La ilaha illallah," dan ayat ini diturunkan di Madinah. Dituduhnya kami lagi, bahwa kami tidak percaya kepada pendapat para ulama. Kami telah menghancurkan kitab-kitab karangan para ulama mazhab, karena didalamnya bercampur antara yang hak dan batil. Malah kami dianggap mujassimah (menjasmanikan Allah), serta kami mengkufurkan orang-orang yang hidup sesudah abad keenam, kecuali yang mengikuti kami. Selain itu kami juga dituduh tidak mau menerima bai’ah seseorang sehingga kami menetapkan atasnya `bahwa dia itu bukan musyrik begitu juga ibu-bapaknya juga bukan musyrik.’

Dikatakan lagi bahwa kami telah melarang manusia membaca selawat ke atas Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam dan mengharamkan berziarah ke kubur-kubur. Kemudian dikatakannya pula, jika seseorang yang mengikuti ajaran agama sesuai dengan kami, maka orang itu akan diberikan kelonggaran dan kebebasan dari segala beban dan tanggungan atau hutang sekalipun.

Kami dituduh tidak mau mengakui kebenaran para ahlul Bait Radiyallahu 'anhum. Dan kami memaksa menikahkan seseorang yang tidak kufu serta memaksa seseorang yang tua umurnya dan ia mempunyai isteri yang muda untuk diceraikannya, karena akan dinikahkan dengan pemuda lainnya untuk mengangkat derajat golongan kami.

Maka semua tuduhan yang diada-adakan dalam hal ini sungguh kami tidak mengerti apa yang harus kami katakan sebagai jawaban, kecuali yang dapat kami katakan hanya "Subhanaka - Maha suci Engkau ya Allah" ini adalah kebohongan yang besar. Oleh karena itu, maka barangsiapa menuduh kami dengan hal-hal yang tersebut di atas tadi, mereka telah melakukan kebohongan yang amat besar terhadap kami. Barangsiapa mengaku dan menyaksikan bahwa apa yang dituduhkan tadi adalah perbuatan kami, maka ketahuilah: bahwa kesemuanya itu adalah suatu penghinaan terhadap kami, yang dicipta oleh musuh-musuh agama ataupun teman-teman syaithan dari menjauhkan manusia untuk mengikuti ajaran sebersih-bersih tauhid kepada Allah dan keikhlasan beribadah kepadaNya.

Kami beri’tiqad bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar, seperti melakukan pembunuhan terhadap seseorang Muslim tanpa alasan yang wajar, begitu juga seperti berzina, riba’ dan minum arak, meskipun berulang-ulang, maka orang itu hukumnya tidaklah keluar dari Islam (murtad), dan tidak kekal dalam neraka, apabila ia tetap bertauhid kepada Allah dalam semua ibadahnya." (Shiyanah al-Insan, m.s 475)

Khusus tentang Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Dan apapun yang kami yakini terhadap martabat Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam bahwa martabat beliau itu adalah setinggi-tinggi martabat makhluk secara mutlak. Dan Beliau itu hidup di dalam kuburnya dalam keadaan yang lebih daripada kehidupan para syuhada yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Karena Beliau itu lebih utama dari mereka, dengan tidak diragukan lagi. Bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam mendengar salam orang yang mengucapkan kepadanya. Dan adalah sunnah berziarah kepada kuburnya, kecuali jika semata-mata dari jauh hanya datang untuk berziarah ke maqamnya. Namun Sunat juga berziarah ke masjid Nabi dan melakukan salat di dalamnya, kemudian berziarah ke maqamnya. Dan barangsiapa yang menggunakan waktunya yang berharga untuk membaca selawat ke atas Nabi, selawat yang datang daripada beliau sendiri, maka ia akan mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat."

Tantangan Dakwah dan Pemecahannya

Sebagaimana lazimnya, seorang pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan , maka Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab pun tidak lepas dari sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik dari dalam maupun dari luar Islam, terutama setelah Syeikh menyebarkah dakwahnya dengan tegas melalui tulisan-tulisannya, berupa buku-buku mahupun surat-surat yang tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap penjuru negeri Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab).

Surat-suratnya itu dibalas oleh pihak yang menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau dibukukan niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya.

Sebagian dari surat-surat ini sudah dihimpun, diedit serta diberi ta’liq dan sudah diterbitkan, sebagian lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini tidak termasuk buku-buku yang sangat berharga yang sempat ditulis sendiri oleh Syeikh di celah-celah kesibukannya yang luarbiasa itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan dan rujukan kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah ketika beliau memimpin gerakan tauhidnya.

Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:

  • Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
  • Atas nama politik yang berselubung agama.

Bagi yang terakhir, mereka memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung kumpulan mereka untuk memusuhi dakwah Wahabiyah.

Mereka menuduh dan memfitnah Syeikh sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum Khawarij, sebagai orang yang ingkar terhadap ijma’ ulama dan pelbagai macam tuduhan buruk lainnya.

Namun Syeikh menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang, sabar dan beliau tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa mempedulikan celaan orang yang mencelanya.

Pada hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau:

  • Golongan ulama khurafat, yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci auliya’ dan orang-orang soleh, yang bererti musuh mereka yang harus segera diperangi.
  • Golongan ulama taashub, yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Syeikh yang disampaikan oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap Ashabiyah (kebanggaan dengan golongannya) yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaashubannya. Lalu menganggap Syeikh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ dan memusuhi orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka. Mereka mencaci-maki Syeikh habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.
  • Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jawatan, pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini memusuhi beliau supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh Syeikh yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan oleh suasana hingar-bingarnya penentang beliau.

Demikianlah tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang digerakkan oleh Syeikh dari Najd ini, yang mana akhirnya terjadilah perang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara Syeikh di satu pihak dan lawannya di pihak yang lain. Syeikh menulis surat-surat dakwahnya kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya.

Perang pena yang terus menerus berlangsung itu, bukan hanya terjadi di masa hayat Syeikh sendiri, akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di mana anak cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi ulama.

Merekalah yang meneruskan perjuangan al-maghfurlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab, yang dibantu oleh para muridnya dan pendukung-pendukung ajarannya. Demikianlah perjuangan Syeikh yang berawal dengan lisan, lalu dengan pena dan seterusnya dengan senjata, telah didukung sepenuhnya oleh Amir Muhammad bin Saud, penguasa Dar’iyah.

Beliau pertama kali yang mengumandangkan jihadnya dengan pedang pada tahun 1158 H. Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang da’i ilallah, apabila tidak didukung oleh kekuatan yang mantap, pasti dakwahnya akan surut, meskipun pada tahap pertama mengalami kemajuan. Namun pada akhirnya orang akan jemu dan secara beransur-ansur dakwah itu akan ditinggalkan oleh para pendukungnya.

Oleh karena itu, maka kekuatan yang paling ampuh untuk mempertahankan dakwah dan pendukungnya, tidak lain harus didukung oleh senjata. Karena masyarakat yang dijadikan sebagai objek daripada dakwah kadangkala tidak mampan dengan lisan mahupun tulisan, akan tetapi mereka harus diiring dengan senjata, maka waktu itulah perlunya memainkan peranan senjata.

Alangkah benarnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: " Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami, dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Mizan/neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat bagi umat manusia, dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa." (al-Hadid:25)

Ayat di atas menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus para RasulNya dengan disertai bukti-bukti yang nyata untuk menumpaskan kebatilan dan menegakkan kebenaran. Di samping itu pula, mereka dibekalkan dengan Kitab yang di dalamnya terdapat pelbagai macam hukum dan undang-undang, keterangan dan penjelasan. Juga Allah menciptakan neraca (mizan) keadilan, baik dan buruk serta haq dan batil, demi tertegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah umat manusia.

Namun semua itu tidak mungkin berjalan dengan lancar dan stabil tanpa ditunjang oleh kekuatan besi (senjata) yang menurut keterangan al-Qur’an al-Hadid fihi basun syadid yaitu, besi baja yang mempunyai kekuatan dahsyat. yaitu berupa senjata tajam, senjata api, peluru, senapan, meriam, kapal perang, nuklir dan lain-lain lagi, yang pembuatannya mesti menggunakan unsur besi.

Sungguh besi itu amat besar manfaatnya bagi kepentingan umat manusia yang mana al-Qur’an menyatakan dengan Wamanafiu linnasi yaitu dan banyak manfaatnya bagi umat manusia. Apatah lagi jika dipergunakan bagi kepentingan dakwah dan menegakkan keadilan dan kebenaran seperti yang telah dimanfaatkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab semasa gerakan tauhidnya tiga abad yang lalu.

Orang yang mempunyai akal yang sehat dan fikiran yang bersih akan mudah menerima ajaran-ajaran agama, sama ada yang dibawa oleh Nabi, mahupun oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang zalim dan suka melakukan kejahatan, yang diperhambakan oleh hawa nafsunya, mereka tidak akan tunduk dan tidak akan mau menerimanya, melainkan jika mereka diiring dengan senjata.

Demikianlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dalam dakwah dan jihadnya telah memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sendiri, di waktu baginda mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu dahulu. Yang demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh Syeikh Muhammad selama lebih kurang 48 tahun tanpa berhenti, yaitu dari tahun 1158 Hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206 H.

Wafat

Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdulwahab berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd).

Selasa, 14 Desember 2010

MENGENAL ISLAM SYI'AH

Oleh: Akhmadz Triyudo

Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Muslim Syi'ah mengikuti Islam sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan Ahlul Bait-nya. Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Shī`ī (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalahSyī`ī شيعي.

"Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun)

Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama diantara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.

Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammaddan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.

Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.

Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.

DOKTRIN DALAM SYI'AH

Dalam Syi'ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu'uddin (masalah penerapan agama).

Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin:
1.Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
2. Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
3. An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia
4. Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian.
5. Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan.

Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin (Al Hadid / QS. 57:3). Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang). Dimensi ketuhanan ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin (Al Hadid / QS. 57:3). Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang). Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan / QS. 25:2).
Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS. 22:70).
Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al-Maa'idah / QS. 5:17).
Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An'am / QS 6:149).
Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96).
Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22).
Allah yang menentukan segala akibat. Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan / QS. 25:2).
Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS. 22:70) Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al-Maa'idah / QS. 5:17) Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An'am / QS 6:149)
Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96) Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22). Allah yang menentukan segala akibat. nabi sama seperti muslimin lain.

I’tikadnya tentang kenabian ialah:
1. Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
2. Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad SAW.
3. Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada.
4. Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
5. Al-Qur'an ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad SAW

  • Kontroversi tentang Syi'ah
  • Hubungan antara Sunni dan Syi'ah telah mengalami kontroversi sejak masa awal terpecahnya secara politis dan ideologis antara para pengikut Bani Umayyah dan para pengikut Ali bin Abi Thalib. Sebagian kaum Sunni menyebut kaum Syi'ah dengan nama Rafidhah, yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna meninggalkan. Dalam terminologi syariat Sunni, Rafidhah bermakna "mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakar dan Umar bin Khattab, berlepas diri dari keduanya, dan sebagian sahabat yang mengikuti keduanya".

  • Sebagian Sunni menganggap firqah (golongan) ini tumbuh tatkala seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba yang menyatakan dirinya masuk Islam, mendakwakan kecintaan terhadap Ahlul Bait, terlalu memuja-muji Ali bin Abu Thalib, dan menyatakan bahwa Ali mempunyai wasiat untuk mendapatkan kekhalifahan. Syi'ah menolak keras hal ini. Menurut Syiah, Abdullah bin Saba' adalah tokoh fiktif.

  • Namun terdapat pula kaum Syi'ah yang tidak membenarkan anggapan Sunni tersebut. Golongan Zaidiyyah misalnya, tetap menghormati sahabat Nabi yang menjadi khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib. Mereka juga menyatakan bahwa terdapat riwayat-riwayat Sunni yang menceritakan pertentangan diantara para sahabat mengenai masalah imamah Abu Bakar dan Umar.

  • Kisah tentang Abdullah bin Saba' :

  • Beliau adalah seorang yahudi asal Yaman yang menyusup ke Islam untuk membuat kekacauan pada masa kekhalifahan Utsman ra. dan Ali ra. Abu Umar bin Umar bin Abdul Aziz Al-Kasysyi (abad ke 4 H) dalam kitabnya RIJAL AL-KASYSYI halaman 101 mengatakan: Sebagian akhli ilmu mengatakan bahwa ibnu Saba' seorang Yahudi lalu masuk Islam dan mendukung Ali ra.

  • Ketika dia masih Yahudi dia berkata bahwa Yusa' bin Nun adalah washi (penerima wasiat) dari nabi Musa As. kemudian setelah Islamnya, setelah wafatnya Rasulullah SAW. ia mengatakan tentang Ali sama dengan hal diatas. Dia adalah orang pertama yang mengatakan tentang kepastian imamah Ali dan berlepas diri dari musuh2 Ali". Abu Muhammad al-Hasan bin Musa An-Nubakhti (abad ke 3 H) dalam kitabnya FIROQ ASY-SYI'AH, halaman 43-44, berkata: "Abdullah bin Saba' adalah termasuk orang yang menampakkan cacian kepada Abu Bakar, Umar, Utsman dan para sahabat. Ia berlepas diri dari mereka dan mengatakan bahwa Ali telah memerintahkannya berbuat begitu. Maka Ali menangkapnya dan menanyai tentang ucapannya itu, ternyata ia mengakuinya. Maka Ali memerintahkan untuk membunuhnya".

  • SEKTE DALAM SYI'AH
  • Syi'ah terpecah menjadi 22 sekte. Dari 22 sekte itu, hanya tiga sekte yang masih ada sampai sekarang, yakni:

    Dua Belas Imam
    Disebut juga Imamiah atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam); dinamakan demikian sebab mereka percaya ...yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan imam mereka yaitu:
    1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
    2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
    3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
    4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
    5. Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
    6. Jafar bin Muhammad (703–765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
    7. Musa bin Ja'far (745–799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
    8. Ali bin Musa (765–818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
    9. Muhammad bin Ali (810–835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
    10. Ali bin Muhammad (827–868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
    11. Hasan bin Ali (846–874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari
    12. Muhammad bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi

    Ismailiyah
    Disebut juga Tujuh Imam; dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:
    1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
    2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
    3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
    4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
    5. Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
    6. Ja'far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
    7. Ismail bin Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.

    Zaidiyah
    Disebut juga Lima Imam; dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:
    1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
    2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
    3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
    4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
    5. Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.


PEMAHAMAN KHAWARIJ DAN SEJARAHNYA

Oleh : Akhmadz Triyudo

  • Hadis riwayat Sahal bin Hunaif ra.:
    Dari Yusair bin Amru, ia berkata: Saya berkata kepada Sahal: Apakah engkau pernah mendengar Nabi saw. menyebut-nyebut Khawarij? Sahal menjawab: Aku mendengarnya, ia menunjuk dengan tangannya ke arah Timur, mereka adalah kaum yang membaca Al-Quran dengan lisan mereka, tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama secepat anak panah melesat dari busurnya. (Shahih Muslim No.1776)

    Hadis riwayat Ali ra., ia berkata:
    Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Di akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah akal. Mereka berbicara dengan pembicaraan yang seolah-olah berasal dari manusia yang terbaik. Mereka membaca Alquran, tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama, secepat anak panah meluncur dari busur. Apabila kalian bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka, karena membunuh mereka berpahala di sisi Allah pada hari kiamat. (Shahih Muslim No.1771)


  • Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:
    Seseorang datang kepada Rasulullah saw. di Ji`ranah sepulang dari perang Hunain. Pada pakaian Bilal terdapat perak. Dan Rasulullah saw. mengambilnya untuk diberikan kepada manusia. Orang yang datang itu berkata: Hai Muhammad, berlaku adillah! Beliau bersabda: Celaka engkau! Siapa lagi yang bertindak adil, bila aku tidak adil? Engkau pasti akan rugi, jika aku tidak adil. Umar bin Khathab ra. berkata: Biarkan aku membunuh orang munafik ini, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Aku berlindung kepada Allah dari pembicaraan orang bahwa aku membunuh sahabatku sendiri. Sesungguhnya orang ini dan teman-temannya memang membaca Alquran, tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari Islam secepat anak panah melesat dari busurnya. (Shahih Muslim No.1761)

  • Kaum khawarij menurut hadits tersebut adalah orang-orang yang membaca Al Qur'an tetapi tidak berusaha memahami dan mengamalkannya.

  • Khawārij (bahasa Arab: خوارج baca Khowaarij, secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar") ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah.
    Disebut atau dinamakan Khowarij disebabkan karena keluarnya mereka dari dinul Islam dan pemimpin kaum muslimin. (Fat, juz 12 hal. 283)
    Awal keluarnya mereka dari pemimpin kaum muslimin yaitu pada zaman Amirul Mu'minin Al Kholifatur Rosyid Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه ketika terjadi (musyawarah) dua utusan. Mereka berkumpul disuatu tempat yang disebut Khouro (satu tempat di daerah Kufah). Oleh sebab itulah mereka juga disebut Al Khoruriyyah. (Mu'jam Al-Buldan li Yaqut Al-Hamawi juz 2 hal. 245)

  • Asal muasal khawarij: Setelah Utsman bin Affan dibunuh oleh orang-orang khawarij, kaum muslimin mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, setelah beberapa hari kaum muslimin hidup tanpa seorang khalifah. Kabar kematian 'Ustman kemudian terdengar oleh Mu'awiyyah bin Abu Sufyan, yang mana beliau masih memiliki hubungan kekerabatan dengan 'Ustman bin Affan. Sesuai dengan syari'at Islam, Mu'awiyyah berhak menuntut balas atas kematian 'Ustman. Mendengar berita ini, orang-orang Khawarij pun ketakutan, kemudian menyusup ke pasukan Ali bin Abi Thalib. Mu'awiyyah berpendapat bahwa semua orang yang terlibat dalam pembunuhan 'Ustman harus dibunuh, sedangkan Ali berpendapat yang dibunuh hanya yang membunuh 'Ustman saja karena tidak semua yang terlibat pembunuhan diketahui identitasnya. Akhirnya terjadilah perang siffin karena perbedaan dua pendapat tadi. Kemudian masing-masing pihak mengirim utusan untuk berunding, dan terjadilah perdamaian antara kedua belah pihak. Melihat hal ini, orang-orang khawarij pun menunjukkan jati dirinya dengan keluar dari pasukan Ali bin abi Thalib. Mereka ( Khawarij ) merencanakan untuk membunuh Mu'awiyyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib, tapi yang berhasil mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib.

    Ajaran :
    Secara umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah:
    Kaum muslimin yang melakukan dosa besar adalah kafir.
    Kaum muslimin yang terlibat dalam perang Jamal, yakni perang antara Aisyah, Thalhah, dan Zubair melawan 'Ali ibn Abi Thalib dan pelaku arbitrase (termasuk yang menerima dan membenarkannya) dihukumi kafir.
    Khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari golongan manapun bisa menjadi kholifah asalkan mampu memimpin dengan benar.

BAHAYA TAQLID BUTA

"Kyai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”, Ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat.
Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan pria dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan.
Inilah sesungguhnya penyakit yang menimpa Iblis durjana, makhluk pertama yang mendurhakai Allah SWT, disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur asal dia diciptakan Allah menerangkan tentang kepongahan Iblis tatkala ia protes kepada Allah SWT, yang artinya:
“Aku lebih baik daripadanya (Adam). Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (Al A’raf : 12).

DEFINISI TAQLID
Taqlid secara bahasa diambil dari kata (قَلَّدَ - يُقَلِّدُ) yang bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang bertaqlid kepada seorang tokoh tertentu, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya untuk ditarik seakan-akan hewan ternak.
Sedangkan menurut istilah, adalah beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yang jelas dari Al Qur’an atau As Sunnah.
Dari pengertian ini, jelaslah bahwa sikap taqlid bukanlah sikap yang ilmiah, tidaklah ia muncul kecuali dari kebanyakan orang awam yang jauh dari bimbingan ilmu.

TAQLID MERUPAKAN SIKAP YANG TERCELA
Allah SWT telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa ayat-Nya dan menjelaskan kepada kita sikap taqlid ini adalah kebiasaan kaum musyrikin ketika sampai dakwah para nabi kepada mereka. Allah SWT berfirman yang artinya:
“Apakah seandainya telah kami datangkan kepada mereka sebuah kitab (hujjah) sebelum munculnya kesyirikan yang mereka lakukan, kemudian mereka mau berpegang dengannya? Ternyata justru mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendapati nenek moyang kami diatas sebuah prinsip (aqidah yang mereka yakini), maka kami adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dengan mengikuti jejak pendahulu kami. ” (Az Zukhruf : 21)
Dan juga firman Allah SWT, dalam ayat lain yang artinya:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah, mereka menjawab: “Tidak, bahkan kami hanya mengikuti apa-apa yang kami dapati dari kebiasaan nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: “Ayat-ayat ini merupakan dalil terkuat tentang batil dan jeleknya sikap taqlid. Karena sesungguhnya orang-orang yang bertaqlid tidaklah mereka beramal dalam perkara agama ini kecuali hanya bertaqlid dengan pendapat para pendahulu yang mereka warisi secara turun temurun. Dan apabila datang seorang da’i yang mengajak mereka untuk keluar dari kesesatan, dan kembali kepada al-haq, atau menjauhkan mereka dari kebid’ahan yang mereka yakini serta mereka warisi dari para pendahulu mereka itu, tanpa didasari dalil yang jelas –hanya berdasarkan “katanya dan katanya”-, mereka mengatakan pernyataan yang sama dengan pernyataan orang-orang kafir yang hidup di masa para Rasul.

BAHAYA TAQLID
Di antara bahaya taqlid yang bisa disebutkan dalam kajian ini:
1. Menghalangi pelakunya untuk menerima kebenaran.
2. Memperuncing perselisihan dan perpecahan di tengah-tengah umat, karena masing-masing pihak mendahulukan pendapat pimpinan atau nenek moyang mereka terhadap ketentuan Al Qur’an dan Sunnah Rasul, yang kita diperintah untuk berpegang dengan keduanya dan mengembalikan setiap perkara yang diperselisihkan kepada keduanya. Sebagaimana firman Allah ? yang artinya:
“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara hendaknya kalian mengembalikan (jawaban atau penyelesaiannya) kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian (benar-benar) beriman kepada Allah dan hari akhir , karena sesungguhnya yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’ : 59)
3. Sikap taqlid dengan mendahulukan pendapat seseorang daripada perkataan Allah dan Rasul-Nya, merupakan sebab datangnya adzab dan tersebarnya fitnah, sebagaimana Allah berfirman yang artinya:
“Berhati-hatilah mereka yang selalu menyelisihi perintahnya (Rasul) akan menimpa kepada mereka fitnah atau adzab yang pedih.” (An Nur:63)
4. Sikap taqlid ini akan mengantarkan pelakunya kepada penyesalan yang tak kunjung usai di hari kiamat, karena para pemimpin atau nenek moyang (pendahulu) yang dipanuti secara taqlid akan berlepas diri dari para pengikut mereka. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
“Ketika orang-orang yang diikuti (dengan taqlid) berlepas diri dari para pengikut mereka, dan mereka telah melihat adanya adzab dan ketika itu segala bentuk hubungan antara mereka terputus sama sekali, dan kemudian berkata para pengikut: “Seandainya kami dapat kembali ke (dunia) pasti kami akan berlepas diri dari mereka (para pemimpin yang dipanuti) sebagaimana mereka berlepas diri dari kami" (Al Baqarah: 66-167)
Dan juga firman Allah SWT yang artinya:
“Dan alangkah dahsyatnya ketika kamu melihat orang-orang dholim dihadapkan kepada Tuhan-nya sebagian mereka melemparkan tuduhan kepada yang lainnya, berkatalah orang-orang yang lemah (dari kalangan para pengikut) kepada orang-orang yang menyombongkan diri (dari kalangan pemimpin): “Kalau bukan karena kalian tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman, maka menjawablah orang-orang yang menyombong-kan diri (para pemimpin): “Apakah kami yang menghalangi kalian dari petunjuk ketika petunjuk tersebut datang kepada kalian? Justru kalian sendirilah orang-orang yang berdosa (dengan meninggalkan petunjuk tersebut), maka orang-orang yang lemah menjawab kepada orang-orang yang menyombong-kan diri: “Justru sebenarnya tipu daya kalianlah (yang secara terus menerus) malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kalian menyeru supaya kami mengingkari Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya.” Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tersebut tatkala mereka semua melihat adzab.. .” (As Saba’: 31-34)

UCAPAN PARA IMAM TENTANG TERCELANYA TAQLID
Al Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan, ”Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami tanpa mengetahui dari mana dasar hujjah yang Kami ambil.” Dalam riwayat lainnya, beliau mengatakan ,” Haram bagi siapapun yang tidak mengetahui dalil yang saya pakai, untuk berfatwa dengan pendapat saya. Karena sesungguhnya kami adalah manusia, pendapat yang sekarang kami ucapkan, mungkin besok kami rujuk (kami tinggalkan pendapat tersebut).

Al Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Saya hanyalah manusia biasa yang mungkin salah dan mungkin benar. Maka telitilah pendapatku, apabila sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka ambillah. Dan apabila tidak sesuai dengan keduanya maka tinggalkanlah.”

Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, ”Semua permasalahan yang sudah disebutkan dalam hadits yang shohih dari Rasulullah saw dan berbeda dengan pendapat saya, maka saya rujuk dari pendapat itu baik ketika saya masih hidup ataupun sudah meninggal dunia.”

Al Imam Ahmad mengatakan, “Janganlah kalian taqlid kepadaku dan jangan taqlid kepada Malik atau Asy Syafi’i, atau Al Auza’i, atau (Sufyan) Ats Tsauri. Tapi ambillah (dalil) dari mana mereka mengambil.”

Al-‘Allamah Al-Ma’shumi berkata: “Bahwa termasuk pergeseran yang terjadi dalam agama adalah adanya prinsip dan kewajiban bahwasanya seorang muslim harus bermadzhab dengan satu madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil. Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya dengan prinsip bid’ah ini tercapailah tujuan Iblis di dalam memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah SWT dari hal itu.”
Beliau juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwasanya seseorang harus bermadzhab dengan satu madzhab tertentu, sesungguhnya dibangun di atas satu kepentingan politik tertentu, dan ambisi-ambisi. Dan sesungguhnya atau tujuan pribadi madzhab yang haq dan wajib diyakini dan diikuti adalah madzhab junjungan kita Nabi Muhammad saw yang merupakan Imam yang Agung yang wajib diikuti, kemudian para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيَّيْنَ
“Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing…” (Shahih, HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari shahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455).

Allah SWT berfirman yang artinya:
“Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah.” (Al-Hasyr : 7).

Adapun yang dimaksud dengan Sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin yang harus diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah saw.
Maka setelah kita melihat bahaya taqlid tidak semestinya bagi setiap muslim untuk bertaqlid dalam perkara agama dan hendaknya tidak beramal suatu amalan tertentu kecuali berdasarkan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang dipahami oleh para sahabat Nabi saw serta menjauhkan diri dari cara bersikap orang-orang kafir ketika datang kepada mereka sebuah hujjah...
Wallahu a’lam bish-shawab