Minggu, 14 November 2010

PERBEDAAN PENDAPAT DALAM ISLAM

Terjadinya ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan para ulama terhadap persoalan agama sudah lama terjadi. Perbedaan itu muncul setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam wafat. Ketika Rasul masih hidup, semua persoalan yang muncul pada umat Islam langsung diputuskan melalui wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun setelah beliau wafat, para sahabat melakukan ijtihad sendiri berdasar al-Qur’an dan Sunnah.

Namun perlu diketahui bahwa perbedaan itu terjadi dalam masalah furu’iyyah (cabang), bukan i’tiqadiyah atau aqidah. Biasanya, ikhtilaf tersebut didasari oleh argumen yang sama-sama kuat menurut ilmu yang mereka miliki.

Menyadari perbedaan di kalangan ulama adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan, para ulama ushul merumuskan sebuah kaidah yang berbunyi, “kebenaran dalam perkara cabang itu banyak.”

Ini menunjukkan bahwa kebenaran dalam perkara yang bersifat furuiyah tidak mampu diseragamkan menjadi satu oleh ribuan ulama. Maka, sikap terbaik adalah mencontoh mereka dalam menyikapi perbedaan tersebut.

Berikut ini adab yang harus dimiliki oleh setiap Muslim dalam menyikapi ikhtilaf, antara lain:
1. Setiap orang harus membersihkan diri dari ta’asub (fanatik) mazhab secara berlebihan, karena mazhab bukanlah penyebab pemecah belah umat.

2. Tidak boleh minder dengan adanya perbedaan mazhab, karena perbedaan dalam pemahaman dan istinbat merupakan perkara yang lumrah dan tabi’iy bagi akal manusia.

3. Tidak boleh memaksa orang lain menerima pandangan kita dalam masalah khilafiyyah.

4. Tidak mencela dan menentang amalan-amalan khilafiyyah yang tidak sesuai dengan pandangan mazhab yang kita anut. Imam al-Shatibi menulis, ”Sesungguhnya perbedaan pendapat yang terjadi pada jaman sahabat hingga saat ini berlaku dalam masalah-masalah ijtihadiyyah. Pertama kali berlangsung sejak jaman Khulafa’ al-Rasyidin dan sahabat-sahabat yang lain, lalu terus sampai jaman para tabi’in. Namun mereka tidak saling mencela di antara satu sama lain. (al-I’tisom 2/191)

5. Harus memiliki adab terhadap ulama yang berbeda pandangan dengan kita, dengan tidak menuduh mereka telah melakukan bid’ah dhalalah atas amalan-amalan yang bersifat khilafiyyah.

Adalah Imam Ahmad Rahimahullahu berpendapat keharusan berwudhu karena keluar darah dari hidung dan karena berbekam. Maka Imam Ahmad ditanya, “Bagaimana jika seorang imam shalat lalu keluar darinya darah dan tidak berwudhu, apakah Anda bermakmum di belakangnya?”

Beliau menjawab, “Bagaimana mungkin saya tidak mau shalat di belakang Al-Imam Malik dan Sa’id bin Musayyib?!” Al-Imam Malik dan Sa’id Rahimahullah berpendapat tidak wajibnya berwudhu karena keluar darah.

6. Jangan menuduh orang yang mengamalkan amalan yang bersifat khilafiyyah sebagai sesat, sebab mereka juga punya hujjah dan alasan yang perlu kita hormati.

7. Bagi para mubaligh atau dai harus bersikap bijak dalam menangani masalah khilafiyyah. Sangat ironis jika seorang dai membangkitkan perkara khilafiyyah.

8. Bagi mubaligh, sebaiknya memfokuskan isi ceramahnya pada persoalan pokok, untuk membentengi mereka dari ajaran sesat.

Demikianlah beberapa adab dalam menyikapi ikhtilaf. Permasalahan ijtihadiyyah jangan sampai menjadi sebab perpecahan kaum Muslimin. Sebab, ini akan menjadikan umat Islam lemah dan menjadi permainan musuh-musuh Islam.

* Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah-OKTOBER 2010

SUNAH-SUNAH YANG BERKAITAN DENGAN SHALAT IED ADHA




Oleh: Kang Ackmanz


Tidak ada salahnya kita mengulang kembali beberapa kesunahan sebelum Shalat Ied Adha meskipun shalat itu tiap tahun kita lakukan. Kesunahan perlu kita lakukan selain menjadi acuan dasar Al-Qur’an juga agar apa yang kita lakukan menuai pahala dan berkah.


Sunah-Sunah Menjelang shalat Ied Adha antara lain:

1. Mandi Sebelum Shalat Ied Adha dan Berhias
Mandi dalam fikih berarti membasahi semua tubuh dari ujung rambut hingga kaki, kemudian memakai wewangian.

Diceritakan dari Ibnu Umar bahwa beliau mandi sebelum pergi menghadiri shalat ied (Muwatha Malik).

Dari Ali pernah ditanya perihal mandi, maka dia menjawab,

“Yaitu pada hari Jum’at, hari ‘Arafah, hari raya Fitri dan hari raya Idul Adha.” (HR. Baihaqi).

Dianjurkan pula untuk menyempurnakan kebesihan ini dengan merapikan bulu di ketiaknya, memotong kuku dan yang lainnya, sebab dia berfungsi sebagai penyempurna kebersihan dan keindahan.

2. Memakai Pakaian Yang Terbaik
Selanjutnya memakai pakaian yang bagus dan ini sangat dianjurkan mengingat para sahabat melakukannya.

Diceritakan dari Ibnu Umar ra bahwa dia memakai pakaiannya yang paling indah pada dua hari raya (Al-Baihaqi).

Ibnul Qoyyim berkata: “Dan Nabi saw memakai pakaian yang paling indah pada dua hari raya, maka beliau memiliki pakaian khusus yang dipakainya pada dua hari raya dan hari jum’at.” (Zadul Ma’ad).

3. Makan Setelah Shalat Ied Adha
Dianjurkan makan setelah shalat Ied Adha dengan dasar sabda Nabi Saw,

"Bahwa Nabi Saw tidak berangkat shalat di hari raya Ied Fitri kecuali makan dahulu, dan beliau tidak makan pada hari hari raya Ied Adha melainkan setelah selesai shalat Ied." (HR. Tirmizi, Ibn Majah dan Ahmad)

4. Berbeda Jalan Pergi Pulang
Disunahkan pergi dan pulang dengan menggunakan jalan berbeda. Dari Jabir ra berkata:

“Bahwa Rasulullah Saw pada hari eid (pergi dan pulang) pada jalan yang berbeda.” (HR. Bukhari)

Lakukan perbuatan ini semampunya meskipun hanya berbeda jalan kiri kanan agar mendapat pahala sunnah.

5. Shalat 2 Rakaat Ketika Sampai di Rumah
Dari Abi Sa’id Al-Khudri ra berkata:
“Bahwa Nabi Saw tidak mendirikan shalat apapun sebelum ied dan apabila telah kembali ke rumah maka beliau saw mendirikan shalat dua rakaat.” (HR. Ibnu Majah).

Shalat di rumah ini dimungkinkan shalat dhuha sedangkan makna hadist diatas bahwa Nabi tidak shalat sebelum Ied, karena shalat ied ketika itu diselenggarakan di lapangan sehingga tidak ada shalat tahiyatul masjid. Sedangkan jika diadakan di Masjid, maka disunahkan shalat tahiyatul Masjid.

PERHATIAN
Jangan Shalat Tahiyatul Masjid jika shalat diselenggerakan di Lapangan

6. Lakukan Takbir Baik Oleh Pribadi Atau Berjamaah
Disunahkan mengumandangkan takbir sejak tenggelamnya matahari pada malam eid, dan takbir ini dijadikan kesepakan oleh empat mazhab (Mahzab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali) bahkan sebagian ulama ada yang mewajibkannya berdasarkan firman Allah Swt:

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Bertakbir ini tidak saja dilakukan oleh para muazin di Masjid-masjid, namun disunahkan pula oleh pribadi masing-masing. Lakukan takbir sejak keluar dari rumah menuju tempat shalat dan berhenti sampaishalat didirikan.
Diceritakan bahwa Ibnu Umar menjalankan shalat ied di luar mesjid dan beliau bertakbir sehingga sampai di tempat mendirikan shalat dan beliau tetap bertakbir sehingga imam datang. (HR. Daruqutni).
Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa Nabi saw mengucapkan:

الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله و الله أكبر الله أكبر ولله الحمد


Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa Ilaha Ilallah Walahu Akbar Allahu Akbar Walilahi Hamd

“ Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, dan hanya bagi Allahlah segala pujian.”
Beliau mengucapkan takbir ini di mesjid, di rumah dan di jalan-jalan.(HR. Mushanaf Abi Syaibah)

7. Hadirilah Shalat Ied Adha
Tuntutan shalat eid ini sangat dianjurkan bagi pria dan wanita, bahkan sebagian ulama mengatakan wajib dengan dalil Hadits Ummu Athiyah bahwa,
" Nabi saw memerintahkan para wanita yang masih gadis untuk mengerjakannya, begitu juga para wanita yang baru baligh dan mereka yang sedang haid, namun beliau memerintahkan agar wanita yang haid menjauhi tempat pelaksanaan shalat dan mereka menyaksikan kebaikan dan berdo’a bersama bagi kaum muslimin.” (HR. Bukhari)

selamat hari raya ied adha semoga berbahagia bersama orang yang dicintai

Puasa Arafah dan Idul Adha, Ikut Pemerintah atau Arab Saudi?

Tahun ini, pemerintah Indonesia secara resmi menetapkan bahwa hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1431 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 17 November 2010 Masehi, berbeda dengan pemerintah Arab Saudi yang menetapkan bahwa hari raya yang juga disebut hari haji akbar itu jatuh pada sehari sebelumnya, bertepatan 16 November 2010. Ini berarti bahwa jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah pada tanggal 15 November 2010.

Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan, kapan kita yang berada di Indonesia ini berpuasa Arafah dan berhari raya kurban? Apakah tetap mengikuti pemerintah kita atau mengikuti Arab Saudi? Dan apakah memungkinkan kalau puasa Arafahnya mengikuti waktu wukufnya jama’ah haji, sementara idul adhanya mengikuti pemerintah?

Kami akan menyebutkan dua pendapat yang pernah dijelaskan oleh para ulama, yaitu:

Pendapat pertama: puasa Arafah dan idul adha tetap mengikuti pemerintah walaupun berbeda dengan negara Arab Saudi

Ini adalah pendapat yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau pernah ditanya oleh para pekerja yang bertugas di kedutaan Arab Saudi (di negara lain), ketika mereka menghadapi masalah terkait dengan puasa Ramadhan dan puasa Arafah. Mereka tepecah menjadi tiga kelompok:

Kelompok pertama mengatakan: “Kami akan berpuasa dan berbuka mengikuti kerajaan Arab Saudi”.

Kelompok kedua mengatakan: “Kami berbuka dan berpuasa mengikuti negara yang kami bertugas di sana.”

Dan kelompok ketiga mengatakan: “Kami akan berpuasa Ramadhan sesuai dengan negara tempat kami bertugas, namun untuk puasa Arafah, kami mengikuti kerajaan Arab Saudi.”

Maka beliau menjawab:

Para ulama rahimahumullah berbeda pendapat, apakah jika hilal telah tampak di suatu negeri,

- Kemudian mengharuskan kaum muslimin di seluruh negeri untuk mengikuti negeri tersebut,

- ataukah kewajiban itu hanya bagi yang melihat hilal saja dan juga bagi negeri yang satu mathla’ dengannya,

- atau kewajiban itu juga berlaku bagi yang melihat hilal dan siapa saja yang berada di pemerintahan (negara) yang sama.

Dalam permasalahan ini terdapat beberapa pendapat,

Yang rajih (kuat) adalah bahwasannya permasalahan ini dikembalikan kepada ahlul ma’rifah. Jika dua negeri berada dalam satu mathla’ yang sama, maka keduanya terhitung seperti satu negeri, sehingga jika di salah satu negeri tersebut sudah terlihat hilal, maka hukum ini juga berlaku bagi negeri yang satunya tadi.

Adapun jika dua negeri tadi tidak berada pada satu mathla’, maka setiap negeri memiliki hukum tersendiri. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala. Dan inilah yang sesuai dengan zhahir Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta qiyas.

Dalil dari Al-Qur’an:

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [Al-Baqarah: 185]

Dipahami dari ayat ini adalah barangsiapa yang tidak melihat maka tidak diwajibkan baginya berpuasa.

Adapun dalil dari As-Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا

“Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka berpuasalah, dan apabila melihat hilal (syawwal), maka berbukalah (beridul fithrilah.”

Dipahami dari hadits ini adalah jika kita tidak melihat hilal, maka tidak wajib berpuasa ataupun berbuka (beridul fithri).

Adapun dalil qiyas adalah:

Karena waktu mulainya berpuasa dan berbuka itu hanya berlaku untuk negeri itu sendiri dan negeri lain yang waktu terbit dan tenggelamnya matahari adalah sama. Ini adalah hal yang telah disepakati, sehingga anda saksikan bahwa kaum muslimin di Asia sebelah timur mulai berpuasa sebelum kaum muslimin yang berada di sebelah baratnya, demikian pula dengan waktu berbukanya. Hal ini terjadi karena fajar di belahan bumi timur terbit lebih dahulu daripada di belahan barat, begitu juga dengan tenggelamnya matahari. Jika perbedaan seperti ini bisa terjadi pada waktu mulainya berpuasa dan berbuka yang itu terjadi setiap hari, maka demikian juga hal itu bisa terjadi pada waktu mulainya berpuasa di awal bulan dan waktu mulainya berhari raya. Tidak ada bedanya antara keduanya.

Namun jika ada dua negeri yang berada dalam satu pemerintahan, dan pemerintah negeri tersebut telah memerintahkan untuk berpuasa atau berbuka (berhari raya), maka wajib mengikuti perintah (keputusan) pemerintah tersebut. Masalah seperti ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan pemerintahlah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada.

Berdasarkan ini semua, hendaklah kalian berpuasa dan berbuka (berhari raya) sebagaimana puasa dan berbuka (berhari raya) yang dilakukan di negeri kalian berada (yaitu mengikuti keputusan pemerintah). Sama saja apakah keputusan ini sesuai dengan negeri asal kalian atau berbeda. Begitu juga dengan hari (puasa) Arafah, hendaklah kalian mengikuti negeri yang kalian berada di sana.

Pada kesempatan yang lain, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala juga ditanya:

“Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah dari negeri-negeri yang berbeda disebabkan perbedaan mathla’, apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami berada padanya, ataukah mengikuti ru’yah Haramain (Arab Saudi)?”

Beliau menjawab:

“Permasalahan ini dibangun (muncul) dari perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah munculnya hilal (di suatu daerah) itu berlaku untuk seluruh dunia, ataukah berbeda-beda tergantung perbedaan mathla’nya.

Pendapat yang benar adalah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan mathla’nya. Misalnya di Makkah terlihat hilal tanggal 9 Dzulhijjah, namun di negari lain, hilal tersebut sudah terlihat sehari sebelumnya, sehingga hari Arafah (di Makkah) menurut negeri itu adalah sudah memasuki tanggal 10 Dzulhijjah. Maka tidak boleh bagi penduduk negeri tersebut untuk berpuasa pada hari itu, karena hari itu adalah hari ‘Idul Adha.

Demikian juga jika munculnya hilal Dzulhijjah di negeri itu sehari setelah ru’yatul hilal di Makkah, maka tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu adalah bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah di negeri tersebut. Sehingga penduduk negeri tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka, yang bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.

Inilah pendapat yang kuat dalam permasalahan ini, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا

“Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) hendaklah kalian berpuasa, dan jika kalian melihat hilal (Syawwal) hendaknya kalian berbuka (berhari raya).”

Penduduk di daerah yang tidak tampak oleh mereka hilal, maka mereka bukan termasuk orang yang melihatnya.

Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar dan tenggelamnya matahari itu sesuai (mengikuti) daerahnya masing-masing yang berbeda-beda, maka demikian juga penetapan (awal) bulan itu, sebagaimana penetapan waktu harian (mengikuti daerahnya masing-masing).”

Pendapat kedua: puasa Arafah mengikuti Arab Saudi, namun idul adha mengikuti pemerintah

Ini sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Utsman bin ‘Abdillah As-Salimi hafizhahullah, salah seorang ulama besar di Yaman, dan termasuk murid senior Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimauhllah. Dalam salah satu pelajaran yang disampaikan ba’da zhuhur tanggal 3 Dzulhijjah yang lalu, beliau ditanya:

Apakah kita beridul Adha (yakni mulai menyembelih hewan kurban) dengan mengikuti Arab Saudi, sementara kami di Maroko, meskipun hal ini menyelisihi dan mendahului waliyul amr (pemerintah), dan hal ini juga bisa menimbulkan fitnah sebagaimana yang anda ketahui?

Maka beliau menjawab:

Idul Adha wajib atas seluruh kaum muslimin untuk mengikuti negeri Al-Haramain (Arab Saudi), karena pelaksanaan ibadah haji berada di sana, sehingga yang dijadikan patokan adalah pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah (sesuai dengan yang di Arab Saudi), maka hendaknya kalian melaksanakan puasa hari Arafah ketika di negara Arab Saudi juga berpuasa, yaitu ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah.

Adapun waliyul amr (pemerintah), baik di Maroko maupun negeri yang lain, tidak boleh bagi mereka untuk menyelisihi umat Islam (yang berpatokan pada pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah di Saudi tersebut).

Namun apabila kalian khawatir terjadinya fitnah, jika kalian sanggup, maka hendaknya kalian menyembelih hewan kurban pada hari nahr secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak mampu, maka pada hari keduanya tidak mengapa. Hari-hari penyembelihan itu banyak, yaitu hari nahr (10 Dzulhijjah), tanggal 11, tanggal 12, dan menurut pendapat yang benar adalah juga tanggal 13 sebagaimana yang dikatakan Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama yang lain.

Sehingga kalian boleh memilih, tidak mengapa bagi kalian untuk mengakhirkan dan mengikuti negeri kalian dalam menyembelih hewan kurban jika khawatir timbul fitnah. Wabillahit taufiq.

Akan tetapi hendaknya kalian tetap merasa bahwa hari Id (yang benar) adalah bersama dengan negeri Saudi Arabia. Semoga Allah memberikan taufik kepada kalian.

Adapun untuk shalat id, maka dilakukan pada hari kedua (dari hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah) selama di negeri tersebut semuanya melaksanakan id bersama dengan pemerintah setempat, sehingga jika khawatir terjadi fitnah, maka boleh mengakhirkan shalat id pada hari kedua.

Kesimpulan

Kaum muslimin di Indonesia -sebagaimana yang telah diumumkan sendiri oleh pemerintah-, diberi keleluasaan untuk memilih waktu puasa Arafah dan hari Id-nya, silakan mengikuti pemerintah atau boleh juga mengikuti Arab Saudi. Dari keterangan para ulama di atas, maka Insya Allah tidak mengapa bagi setiap muslim di negeri ini untuk menentukan waktu puasa dan hari rayanya sesuai dengan pendapat yang menurut dia lebih tepat (tentunya dalam memilih pendapatnya itu harus dengan didasari oleh ilmu, tanpa ada sikap taqlid, apalagi memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu diri dan kelompoknya), karena masing-masing pendapat tersebut berdasarkan ijtihad para ulama yang bersumber dari dalil-dalil yang syar’i.

Bagi yang mengikuti pendapat pertama, maka dia memiliki dasar:

* Bahwa dari keterangan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin tadi, dalam menentukan waktu masuknya bulan Dzulhijjah, insya Allah Pemerintah Indonesia sudah menempuh upaya-upaya yang sesuai dengan syar’i, yaitu ru’yatul hilal[1], yang kenyataannya pada 29 Dzulqa’dah petang, hilal bulan Dzulhijjah belum nampak, sehingga dilakukan ikmal (menyempurnakan/menggenapkan bulan Dzulqa’dah menjadi 30 hari). Ini semua adalah upaya yang sudah sesuai dengan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.[2]
* Dengan mengikuti pemerintah, syi’ar kebersamaan umat Islam di negeri ini akan lebih terjaga, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:

الصوم يوم تصومون ، و الفطر يوم تفطرون ، و الأضحى يوم تضحون

“Berpuasa (adalah dilakukan di) hari kalian semua berpuasa, beridul fithri (adalah dilakukan di) hari kalian beridul fithri, dan beridul adha (adalah dilakukan di) kalian beridul adha (melakukan penyembelihan).” [HR. At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah]

Dan bagi yang mengikuti pendapat kedua, dia memiliki dasar:

* Puasa Arafah disesuaikan waktunya dengan waktu wukufnya jama’ah haji di Arafah. Sesuai dengan namanya, bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilakukan ketika jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah. Wallahu a’lam.
* Pemerintah memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memilih waktu puasa dan hari rayanya, sehingga kalau dia berpuasa dan berhari raya tidak bersamaan waktunya dengan pemerintah, ini bukan termasuk bentuk ketidaktaatan kepada waliyul amr.
* Adapun untuk shalat id-nya, boleh bagi dia untuk melakukannya bersamaan dengan pemerintah karena biasanya mayoritas umat Islam di negeri ini mengikuti pemerintah, sehingga jika dikhawatirkan timbul fitnah, tidak mengapa untuk melakukan shalat id sesuai dengan pemerintah negeri ini, berbeda dengan puasa yang itu merupakan amalan yang tidak nampak.

Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Walaupun pemerintah juga menggunakan metode hisab, namun metode ini tidak teranggap karena tidak sesuai dengan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua dan kepada pemerintah negeri ini.

[2] Berbeda dengan yang dituduhkan oleh kelompok sempalan yang dalam pergerakannya banyak menyelisihi syari’at semisal Majelis Mujahidin (Indonesia) yang menyatakan bahwa penetapan awal Dzulhijjah oleh pemerintah RI adalah tidak sah sebagai pegangan Syar’i karena menyalahi penetapan wukuf Arafah. Demikian maklumat yang mereka keluarkan. Wallahu a’lam, sebagaimana yang biasa mereka lakukan, apakah keputusan ini lebih dominan didorong dari sikap kebencian mereka kepada pemerintah atau karena yang lain?