Selasa, 21 Agustus 2012

PANDANGAN AHLUSSUNAH/SALAFY TENTANG KETAATAN PADA PEMERINTAH


Taat kepada pemimpin negara dan lainnya dari unsur kepemerintahan adalah wajib, asal tidak dalam bermaksiat kepada Allah تعالى. Hal ini berdasarkan firman Allah تعالى;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, dan taatlah kalian kepada Rasul, dan juga kepada ulil amri dari kalian.” (An-Nisa’: 59)

Juga berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم dalam hadits Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما yang diriwaytak oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim;

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ؛ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Mendegar dan taat itu wajib atas setiap muslim baik dalam perkara yang disukainya atau tidak disukainya, selama tidak diperintah melakukan maksiat. Jika diperintahkan melakukan maksiat maka tidak boleh mendengar tidak boleh taat.”

(Kita tetap wajib taat kepada pemerintah) Sama saja pemerintah itu baik; yaitu yang menunaikan perintah Allah تعالى dan meninggalkan larangan-Nya, atau pemerintah itu jahat; yaitu pelaku kejahatan dan kezhaliman. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam hadits ‘Auf bin Malik رضي الله عنه yang diriwayatkan oleh Imam Muslim;

أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ، وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Ingatlah, siapa yang dipimpin oleh suatu pemerintah, lalu dia melihat pemerintah tersebut melakukan suatu tindak kemaksiatan kepada Allah تعالى, maka hendaknya dia membenci tindak maksiatnya kepada Allah تعالى tersebut, dan jangan sampai dia keluar dari prinsip ketaatan kepada pemerintah.”

Sikap menentang dan memberontak kepada pemerintah adalah perbuatan yang diharamkan dalam syari’at islam. Hal ini berdasarkan isi hadits ‘Ubadah bin Shamit رضي الله عنه yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim;

بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Kami berbai’at kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم untuk mendengar dan taat, di saat kami suka, di saat kami tidak suka, di saat kesulitan, dan di saat kemudahan, dan untuk mendahulukan beliau atas diri-diri kami. Dan kami berbai’at untuk tidak menentang aturan dari pemerintah, kecuali kalian melihat pada diri pemerintah kekafiran yang nyata, dan kalian memiliki landasan dari Allah تعالى akan hal itu.”

Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda dalam hadits Ummu Salamah رضي الله عنها yang diriwayatkan oleh Imam Muslim;

إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا نُقَاتِلُهُمْ، قَالَ: لَا مَا صَلَّوْا لَا مَا صَلَّوْا

“Sesungguhnya akan ada bagi kalian pemerintah yang kalian lihat melakukan yang ma’ruf dan kalian lihat melakukan kemungkaran. Siapa yang membenci (kemungkarannya) maka dia telah terbebas (dari ancaman Allah تعالى), dan siapa yang mengingkari (kemungkarannya) maka dia telah selamat (dari ancaman Allah تعالى), dan siapa yang rela dan mengikuti (kemungkarannya maka dialah yang akan dimurkai Allah تعالى).” Para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah kami memerangi mereka?” Rasulullah bersabda: “Tidak!! Selama mereka masih menunaikan shalat. Tidak!! Selama mereka masih menunaikan shalat.”

Menginkari dan membenci di sini maksudnya dilakukan dengan kalbunya, bukan dengan tindakan yang anarkis dan menghujatnya sehingga runtuhlah kewibawaan pemerintah semisalnya. Dan maksud “Selama mereka masih menunaikan shalat” artinya sebagaimana dalam hadits sebelumnya: selama tidak terbukti adanya kekafiran yang nyata yang ada landasannya dari Allah تعالى.

Hadits terkahir ini mengisyaratkan juga, bahwa meninggalkan shalat adalah suatu bentuk kekafiran yang nyata, karena Nabi صلى الله عليه وسلم tidak membolehkan untuk menentang pemerintah kecuali adanya kekufuran yang nyata, dan beliau menjadikan hal yang menghalangi untuk memrangi pemerintah adalah penunaian shalat, maka hal ini menunjukkan bahwa meninggalkan penunaian shalat ini menjadi sebab bolehnya memerangi pemerintah.

Namun perlu diingat, secara garis besar memang demikian, kekafiran yang nyata yang dilakukan itu menjadi sebab bolehnya kaum muslimin untuk memerangi pemerintah. Namun apakah serta merta kaum muslimin keluar melakukakn perang begitu saja? Ternyata tidak, umat islam itu umat yang tengah-tengah, tidak lembek tidak pula serampangan. Para ulama masih tetap menjelaskan banyak kaidah dan aturan serta batasan terkait permasalahan yang sangat riskan ini. Tujuan ajaran islam adalah menciptakan kabaikan, ketenteraman, dan keamanan di muka bumi.

Keyakinan islam, keyakinan salafy atau ahlus sunnah pengikut Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah sebagaimana dijelaskan di atas. Dan selain itu ahlus sunnah berkeyakinan untuk tidak menentang pemerintah yang zhalim bukan karena tidak mungkin akan mendapatkan pemerintah yang lebih baik, namun mereka tidak menentang pemerintah karena bimbingan Rasul di atas, dan juga mereka tidak menentang pemrintah demi menjaga kelestarian kebaikan umat dan mencegah dari kerusakan yang besar. Karena sikap penentangan, pemberontakan dan penggulingan itu telah terbukti dalam sejarah umat islam kerusakannya lebih besar dari pada kebaikannya, kondisi sebelum penggulingan lebih baik dari pada setelah penggulingan. Baaik dalam hal keamanan, ekonomi, akhlaq – adab dan lainnya. Silahkan mencoba untuk kilas balik sejarah yang ada.

Oleh karenanya ulama salaf (generasi pendahulu) sepakat untuk tidak melakukan penentangan, pemberontakan, dan penggulingan terhadap pemerintah muslim meski mereka zhalim. Dan kebanyakan orang-orang yang melakukan penentangan, pemberontakan, dan penggulingan terhadap pemerintah muslim tidak mendapatkan pertolongan Allah تعالى. Entah ketika dalam usaha penggulingan entah setelah terjadi penggulingan. Kalaupun berhasil menggulingkan, tidaklah mereka mendapatkan pertolongan Allah تعالى setelah penggulingan itu. Justru yang ada adalah kerusakan dan kesengsaraan yang lebih parah dari sebelumnya.

Sehingga seperti perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله: “Tidaklah mereka menolong islam, tidak pula mereka memangkas kemungkaran.

Karena sebab yang paling banyak yang ada dalam usaha penggulingan adalah usaha seseorang untuk bisa duduk dalam kursi tersebut, lalu melakukan sesuatu yang tidak jauh beda dari yang dilakukan oleh orang yang dia gulingkan. Demikan penjelasan para ulama islam.

Kalau seandainya terbukti bahwa pemerintah telah melakukan kekafiran yang nyata, sehingga boleh untuk digulingkan. Namun ingat, para ulama tetap memberikan rambu dan batasan terkait hal itu. Dengan tujuan penjagaan kebaikan umat. Bagi yang ingin menggulingkan pemerintah yang kafir (ingat kafir bukan zhalim) harus memenuhi tiga syarat:

  1. Kekafirannya itu nyata terbukti berlandaskan dengan syari’at Allah تعالى dengan pemahaman yang haq, yaitu pemahaman salaf shalih bukan pemahaman khawarij teroris. Jadi tidak masuk dalam hal ini kalau kekafiran tersebut timbul karena adanya penta’wilan.
  2. Orang yang akan melakukan penggulingan memiliki kemampuan nyata untuk hal itu. Ingat kemampuan yang nyata wujudnya, baik berupa persenjataan ataupun dana. Jadi tidak cukup hanya dengan perkataan: “Kita akan didukung oleh ini oleh itu. Senjata akan dikirim oleh ini oleh itu.” Karena pemberontakan dan penggulingan itu artinya pertumpahan darah. Maka harus bisa membendung kerusakan yang lebih parah.
  3. Adanya ganti yang lebih baik dari yang sebelumnya. Artinya lebih shalih, lebih mengerti syari’at islam (hukum islam atapun politik islam), lebih adil. Dari kebanyakan aspek lebih baik dari yang sebelumnya secara tinjauan syari’at. Sehingga tidak akan terjadi mengganti sesuatu yang rusak dengan sesuatu yang sama rusaknya, atau lebih parah rusaknya. Atau mengganti yang zhalim dengan yang sama zhalimnya atau lebih parah kezhalimannya. Maka ini bentuk kerusakannya sama atau malah lebih parah.

Bagi ahlus sunnah, ketiga syarat ini sangat amat berat diwujudkan.

Pertama: Tidak mudah untuk mengkafirkan seseorang dengan dalil dan bukti.

Kedua: Ahlus sunnah sangat menjaga darah umat tidak rela darah satu muslimpun tertumpahkan. Dan juga dari mana akan mendapatkan senjata dan dana? Ahlus sunnah sibuk dengan ilmu, fatwa dan dakwah.

Ketiga: Tidak ada satu ulama pun dari ahlus sunnah yang siap mengemban amanah pimpinan negara. Mereka lebih cinta menjadi pemberi arahan kepada umat, dan juga kepada pemerintah dengan nasehat. Jika diterima alhmadulillah, jika tidak diterima maka amanah dari Allah تعالى sudah tersampaikan. Sehingga terlepas dari tanggung jawab di hadapan Allah تعالى nantinya.

Sebagai penutup.

Ahlus sunnah itu bersikap tengah-tengah, diantara dua kelompok yang sama-sama berat sebelah:

Kelompok Pertama: Kelompok yang sangat getol mencari kesalahan pemerintah, mengangkatnya ke permukaan untuk menjatuhkan wibawa pemerintah di hadapan rakyatnya, mengecap pemerintah zhalim, bahkan sebagian mereka menghukumi pemerintah itu kafir pemerintah thaghut. Sehingga membabi buta menghalalkan penggulingan pemerintah yang sah. Orang semacam ini adalah semisal orang-orang yang berpemikiran khawarij teroris, atau orang yang memiliki tendensi duniawi mengejar kursi kepemerintahan, atau orang yang belum tahu bagaimana syari’at ini memberikan bimbingan terkait ketaatan pada pemerintah.

Kelompok Kedua: Kelompok yang serba ikut dengan kemauan pemerintah tanpa memilah mana yang ma’ruf sesuai syari’at islam dan mana yang mungkar atau maksiat dalam kaca mata syari’at islam. Karena merasa kepentingan duniawinya itu akan terjaga dengan dalam sikapnya yang demikian terhadap pemerintah. Sehingga kelompok pertama akan mengatakan kelompok kedua ini adalah kelompok yang lembek atau semisalnya yang lebih para dari itu.

Adapun ahlus sunnah atau Salafy maka tidak seperti kelompok pertama, tidak pula seperti kelompok kedua. Maka mereka tidak mencari-cari kesalahan pemerintah, tidak pula menjatuhkan wibawanya, tidak pula mengkafirkan karena kezhaliman yang dilakukannya. Dan ahlus sunnah tidak pula serba ikut dengan semua kemauan. Ahlus sunnah akan taat kepada pemerintah ketika diperintah melakukan suatu perbuatan yang dibenarkan secara syari’at islam. Dan mereka tidak bisa taat ketika diperintah melakukan suatu perbuatan yang dihukumi syari’at islam sebagai kemaksiatan, kemungkaran dan keharaman.

Demikian hadits berikut ini memberikan bimbingan;

Dalam hadist ‘Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabd:

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ

“Tiada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah تعالى.”

Dalam riwayat Imam Bukhary dari hadits ‘Ali رضي الله عنه ada kisah:

بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يُطِيعُوهُ فَغَضِبَ عَلَيْهِمْ وَقَالَ أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُطِيعُونِي قَالُوا بَلَى قَالَ قَدْ عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ لَمَا جَمَعْتُمْ حَطَبًا وَأَوْقَدْتُمْ نَارًا ثُمَّ دَخَلْتُمْ فِيهَا فَجَمَعُوا حَطَبًا فَأَوْقَدُوا نَارًا فَلَمَّا هَمُّوا بِالدُّخُولِ فَقَامَ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ قَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّمَا تَبِعْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِرَارًا مِنْ النَّارِ أَفَنَدْخُلُهَا فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ خَمَدَتْ النَّارُ وَسَكَنَ غَضَبُهُ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَوْ دَخَلُوهَا مَا خَرَجُوا مِنْهَا أَبَدًا إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengutus sebuah pasukan, dan menjadikan salah seorang Anshar pemimpin bagi mereka. Beliau memerintahkan pasukan agar taat kepada pemimpin itu. (Suatu ketika) pemimpin pasukan tersebut marah kepada pasukannya, sembari berkata: “Tidakkah Nabi صلى الله عليه وسلم telah memerintahkan agar kalian taat kepadaku?” Mereka berkata: “Benar.” Dia berkata: “Sungguh aku telah bertekad agar kalian mengumpulkan kayu bakar lalu kalian nyalakan api padanya, kemudian kalian masuk ke dalam api itu.” Maka merekapun mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan apai padanya. Ketika mereka hendak masuk ke dalam api itu, sebagian mereka berdiri dan melihat kepada sebagian yang lain. Sebagian pasukan berkata: “Sesungguhnya kita mengikuti Nabi صلى الله عليه وسلم demi lari menghindari dari api (Neraka), apakah kita akan masuk kepadanya?” Ketika mereka dalam kondisi demikian padamlah api dan redalah kemarahan sang pemimpin. Lalu hal itu diceritakan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau bersabda: “Kalau seandainya mereka masuk pada api tersebut maka mereka tidak akan keluar darinya selamanya. Sesungguhnya ketaatan itu hanya pada perkara yang ma’ruf.”

Inilah prinsip aqidah salafy ahlus sunnah terkait ketaatan pada pemerintah. Adapun kalau diketemukan pada individu yang mengaku salafy kemudian ternyata jauh dari ketaatan pada pemerintah, maka celaan bukan pada aqidah ahlus sunnah tapi celaan hanya tertuju pada orang tersebut saja. Boleh orang mengaku salafy, tapi dia akan dituntut pembuktiannya dengan mengamalkan apa yang dituntunkan Allah تعالى dan Rasul-Nya صلى الله عليه ةسلم sesuai yang dituntunkan dengan pemahaman yang benar. Entah itu bertentangan dengan kemauan hawa nafsunya ataupun tidak.

Dinukil dari: Syarh Lum’ah Al-I’tiqad karya Asy-Syaikh Muhammad bin Al-‘Utsiamin (bagian akhir kitab)

Ditulis oleh: thalibmakbar

(Darul Hadits Ma’bar, Yaman)

HUKUM BERKUNJUNG KE KERABAT DI HARI RAYA


oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy

Bolehkah Mengkhususkan Mengunjungi Kerabat Saat Hari Raya?


Berikut ini kami tuliskan beberapa jawaban para ulama mengenai permasalahan ini:

Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badrالسائل : هنا عدة أسئلة عن زيارة الأقارب أحياء أو أمواتا يوم العيد Pertanyaan: Syaikh, ada beberapa pertanyaan yang datang terkait tentang hukum berkunjung ke rumah para kerabat, baik yang masih hidup atau pun sudah meninggal ketika hari Idul Fitri.Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr hafizhahullah menjawab:الشيخ : أما زيارة القبور في يوم العيد أو في يوم الجمعة أو تخصيص يوم معين فلا يجوز ذلك ، وأما زيارة الأقارب يوم العيد والذهاب إليهم و .. يعني الدعاء لهم فإن ذلك لا بأس به . أما تخصيص المقابر بالزيارة يوم العيد أو يوم الجمعة أو يوما معينا من الأيام بالذات ليس للإنسان أن يفعل ذلكZiarah kubur ketika hari ‘Id atau hari Jum’at atau mengkhususkan hari tertentu tidaklah diperbolehkan. Sedangkan mengunjungi para kerabat di hari ‘Id atau menempuh perjalanan untuk mengunjungi mereka atau.. mendoakan mereka, ini semua tidak mengapa. Adapun mengkhususkan kunjungan ke pemakaman-pemakaman di hari Ied atau hari Jum’at atau hari tertentu, tidak ada ulama yang melakukan hal ini.[Transkrip dari rekaman suara yang bisa di-unduh di http://www.islamup.com/download.php?id=55581]

Fatwa Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali

السؤال:وهذا من الجزائر يقول: ماحكم تخصيص زيارة الأقارب والأصدقاء في يوم العيد؟Pertanyaan: Ada pertanyaan dari Aljazair, penanya berkata: Apakah hukum mengkhususkan hari Ied untuk mengunjungi para kerabat dan teman-teman baik?Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah menjawab:الجواب:هذا عمل طيب؛والأقارب أولى من يجب وصلهم لأنهم ذوي قرابة فهم أولى من غيرهم تبدأ بهم ثم بعد ذلك بغيرهم وهذا هو المطلوب أن يبدأ الإنسان بذوي قرابته لأنهم آكدوا حقا عليه من غيرهم فحينئذ يبرهم ثم بعد ذلك إن وجد وقتا زار إخوانه وإن حصل ذلك فرحنا Ini perbuatan yang baik. Para kerabat adalah orang-orang yang paling wajib untuk dijalin tali silaturahimnya. Karena mereka adalah orang-orang yang memilikiqurabah (hubungan keluarga), sehingga mereka lebih layak dari yang lain untuk dijalin erat silaturahminya. Mulailah dari mereka, baru yang lain, inilah yang semestinya. Sebab lain, mereka juga memiliki hak yang lebih besar dari diri anda, dibandingkan yang lain. Maka, berbuat-baiklah kepada mereka, lalu jika ada waktu, kunjungilah mereka. Kalau memang bisa demikian, itu akan membuat kita gembira.ولو لم وإن لم يحصل فليس هو بالسنة في ذلك وإنما يكتفي الناس ولله الحمد بالتقائهم في المصلى وبالتقائهم أيضا في المساجد في الصلوات الخمس هذا يحصل ولله الحمد كافي لا يشترط أن تذهب إلى البيتAndaikan tidak bisa, tidak mengapa, perbuatan ini bukanlah hal yang disunnahkan. Cukup bagi anda menemui orang-orang ketika di lapangan tempat shalat ‘Id, wa lillahil hamd. Atau menemui mereka di masjid-masjid ketika shalat lima waktu, ini sudah cukup, wa lillahil hamd. Tidak disyaratkan harus mengunjungi rumah mereka.لكن أصبح من العادات وهنا العادات ليست منافية للشرع ولم يزعموا أنها عبادة وذلك لأنه يوم فرح وسرور فلا بأس بذلك كله والله أعلم وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسانPerbuatan ini memang sudah menjadi tradisi, namun ini adalah tradisi yang tidak dinafikan oleh syari’at dan orang-orang yang melakukannya pun tidak menganggap ini sebagai ibadah. Perbuatan ini sebatas karena hari ‘Id adalah hari bergembira dan bersenang-senang. Maka perbuatan-perbuatan demikian itu semua tidak mengapa, wallahu’alam. Wa shallallahu wa sallama wa baarik ‘ala ‘abdihi wa rasulihi nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa ash-habihi wa atba’ihi bi ihsaanin.[Transkrip dari rekaman suara yang bisa di dengarkan di http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=122458]

Fatwa Syaikh Abdullah Al Faqihهل من السنة زيارة الأقارب والأصدقاء وذلك لغرض المعايدة، وهل يعتبر ذلك تخصيصاً، لأننا سمعنا أن أحد العلماء يقول زيارة الأحياء في العيد كزيارة الأموات؟Pertanyaan: Apakah mengunjungi saudara dan teman-teman baik dalam rangka merayakan hari ‘Id termasuk perbuatan yang disunnahkan? Apakah ini termasuk pengkhususan hari tertentu yang terlarang? Karena kami dengar ada salah seorang ulama yang mengatakan bahwa mengunjungi orang yang masih hidup sama hukumnya sebagai mana mengunjungi orang mati (ziarah kubur).Syaikh Abdullah Al Faqih hafizhahullah menjawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:فزيارة الأقارب والأصدقاء والجيران في العيد مشروعة، جاء في الموسوعة الفقهية الكويتية:

Alhamdulillah Was Shalatu Was Salamu ‘ala Rasulillah Wa ‘ala Alihi Wa Shahbihi, Amma ba’du:Saling berkunjung antar kerabat, tetangga dan teman dekat pada hari ‘Id adalah perbuatan yang masyru’ (memiliki landasan dalil dalam syari’at). Sebagaimana tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah:التزاور مشروع في الإسلام، وقد ورد ما يدل على مشروعية الزيارة في العيد، فقد روي عن عائشة رضي الله عنها قالت: دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم وعندي جاريتان تغنيان بغناء بعاث، فاضطجع على الفراش وحول وجهه ودخل أبو بكر….. إلى آخر الحديث.، وموضع الشاهد فيه، وزاد في رواية هشام: يا أبا بكر إن لكل قوم عيداً وهذا عيدناً.، قال في الفتح: قوله وجاء أبو بكر: وفي رواية هشام بن عروة “دخل علي أبو بكر” وكأنه جاء زائراً لها بعد أن دخل النبي صلى الله عليه وسلم بيته.^^ انتهى.“Saling berkunjung (antar kerabat, tetangga dan teman dekat pada hari ‘Id) adalah perbuatan yang masyru’ dalam Islam. Terdapat riwayat yang menunjukkanmasyru’-nya hal tersebut, yaitu hadits yang diriwayatkan dari ‘AisyahRadhiallahu’anha, beliau berkata: ‘Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke rumah, ketika itu aku sedang bersama dua anak wanita yang bernyanyi dengan senandung bu’ats. Lalu beliau bersandar di tempat tidur dan wajahnya menoleh (pada dua anak wanita yang bernyanyi tadi). Kemudian datanglah Abu Bakar…‘ sampai akhir hadits. Sisi pendalilan dari hadits ini, terdapat tambahan riwayat dari Hisyam, bahwa Nabi bersabda: ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki Id sendiri, dan hari ini adalah Id kita‘. Dalam Fathul Baari di jelaskan mengenai tambahan riwayat yang berbunyi ‘Kemudian datanglah Abu Bakar‘: ‘Seolah-olah Abu Bakar datang untuk berkunjung kepada ‘Aisyah (anaknya), beberapa saat setelah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masuk’”. [sampai di sini nukilan dari Mausu'ah Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah]

ولا شك أن التزاور في العيد مما يقوي الصلة، ويزيل الشحناء ويقطع التدابر، ولذلك فهو عمل مسنون كان عليه السلف من الصحابة ومن بعدهم، وهو عمل المسلمين إلى يومنا هذا، ولا نعلم أن أحداً من العلماء شبه زيارة الأحياء بزيارة الأموات، ولم نفهم المراد من قولك (وهل يعتبر ذلك خصيصاً) وفي ما مضى كفاية.والله أعلم.Tidak ragu lagi bahwa saling berkunjung di hari Id, yang menyebabkan terjalinnya silaturahmi, berakhirnya sengketa, berakhirnya saling benci, maka ini adalah perkara yang dianjurkan dan dilakukan oleh para salaf dari kalangan sahabat dan yang setelah mereka. Ini pun merupakan kebiasaan kaum muslimin sampai hari ini. Saya tidak mengetahui ada seorang ulama yang menyamakan perbuatan ini dengan mengunjungi orang mati (ziarah kubur). Dan saya tidak paham maksud perkataan anda ‘Apakah ini termasuk pengkhususan hari tertentu yang terlarang‘. Namun saya kira, penjelasan tadi sudah mencukupi. Wallahu’alam.Sumber: http://www.islamweb.net/ahajj/index.php?page=ShowFatwa&lang=A&Id=43305&Option=FatwaId—Akhir kata, saling berkunjung ke rumah kerabat di hari Idul Fitri adalah hal yang dibolehkan, dengan alasan berikut:

  1. Kegiatan tersebut adalah kegiatan non-ibadah. Sedangkan kegiatan non-ibadah hukum asalnya adalah mubah.
  2. Salah satu makna عِيد (‘Id) secara bahasa adalah hari yang biasanya orang-orang saling berkumpul dan saling bertemu.والعِيدُ كلُّ يوم فيه جَمْعٌ، واشتقاقه من عاد يَعُود كأَنهم عادوا إِليه؛ وقيل: اشتقاقه من العادة لأَنهم اعتادوه” ‘Id juga berarti hari yang biasanya orang-orang saling berkumpul. ‘Id berasal dari kata عاد يَعُود (mengulang) karena mereka secara rutin melakukannya (kumpul-kumpul). Sebagian ahli bahasa berpendapat, asal katanya dari العادة (kebiasaan) karena mereka biasa melakukan hal tersebut” (Lisaanul ‘Arab)
  3. Syariat menetapkan bahwa ‘Idul Fitri dan Idul Adha adalah hari bergembira ria. Sebagaimana diceritakan oleh Anas bin Malik Radhiallahu’anhu:قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال ما هذان اليومان قالوا كنا نلعب فيهما في الجاهلية فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الأضحى ويوم الفطر“Di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam baru hijrah ke Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya yang biasanya di hari itu mereka bersenang-senang. Rasulullah bertanya: ‘Perayaan apakah yang dirayakan dalam dua hari ini?’. Warga madinah menjawab: ‘Pada dua hari raya ini, dahulu di masa Jahiliyyah kami biasa merayakannya dengan bersenang-senang’. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Sungguh Allah telah mengganti hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan ‘Idul Fithri’ ” (HR. Abu Daud, 1134, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud, 1134)Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman:للصائم فرحتان : فرحة عند فطره ، وفرحة عند لقاء ربه“Orang yang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan. Kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu Rabb-Nya kelak” (Muttafaqun ‘alaih)Dan cara bergembira di hari itu tidak ditentukan oleh syariat sehingga kembali kepada ‘urf (kebiasaan) setempat. Mengunjungi kerabat adalah bentuk bersenang-senang dan bergembira karena tentunya bertemu dengan keluarga dan kerabat menimbulkan rasa sayang dan kegembiraan.
  4. Perbuatan ini memiliki dasar dari syari’at dan diamalkan oleh salaf, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah
  5. Memang sebagian ulama menganggap hal ini termasuk bid’ah, sebagaimana pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albanirahimahullah (silakan baca di: http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=20509). Menurut beliau, mengkhususkan hari untuk saling berkunjung kepada sesama orang yang hidup hukumnya sama seperti mengkhususkan hari untuk berkunjung ke orang mati (ziarah kubur). Sedangkan mengkhususkan hari untuk ziarah kubur adalah bid’ah. Namun pendapat ini nampaknya kurang tepat jika kita menimbang alasan-alasan di atas. Yang jelas, permasalahan ini termasuk ranah ijtihadiyyah yang semestinya kita bisa toleran terhadap pendapat yang ada dari para ulama. Wallahu’alam.

Penyusun: Yulian PurnamaArtikel www.muslim.or.id

Kesimpulan AHSI

Jika berkunjung ke kerabat saat 'Id sebagai suatu kebiasaan dan menganggapnya muamalah, bukan ibadah, maka boleh, akan tetapi menganggapnya suatu 'ibadah, maka ia butuh dalil lagi . wallallahu 'alam

Sukpandiar idris advokat assalafy.blogspot.com

KEUTAMAAN SHAUM 6 HARI DI BULAN SYAWAL


Abu Ayyub Al-Anshari ra meriwayatkan, Nabi Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : "Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun . (HR. Muslim).
Imam Ahmad dan An-Nasa'i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Puasa Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun penuh." ( Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam "Shahih" mereka.)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu'anhu, Nabi Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa berpuasa Ramadham lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun. " (HR. Al-Bazzar) (Al Mundziri berkata: "Salah satu sanad yang beliau miliki adalah shahih.")

Dalam pengertiannya bahwa setiap hasanah (kebaikan) diganjar sepuluh kali lipatnya, sebagaimana telah disinggung dalam hadits Tsauban di muka. Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat, di antaranya :
1. Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.

2. Puasa Syawal dan Sya'ban bagaikan shalat sunnah rawatib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi Sallallahu 'Alaihi wa Sallam di berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidak sempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.

3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah Ta'ala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan: "Pahala'amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya." Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.

4. Puasa Ramadhan sebagaimana disebutkan di muka dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lain. Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari Raya 'ldul Fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa. Oleh karena itu termasuk sebagian ungkapan rasa syukur seorang hamba atas pertolongan dan ampunan yang telah dianugerahkan kepadanya adalah dengan berpuasa setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah menggantinya dengan perbuatan maksiat maka ia termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali. Allah Ta'ala berfirman: "Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali "(An-Nahl: 92)

5. Dan di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup. Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fi sabilillah lantas kembali lagi.Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan sebab mereka merasa berat, jenuh dan lama berpuasa Ramadhan.

Barangsiapa merasa demikian maka sulit baginya untuk bersegera kembali melaksanakan puasa, padahal orang yang bersegera kembali melaksanakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah puasa, ia tidak merasa bosam dan berat apalagi benci.

Seorang Ulama salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya pada bulan Ramadhan tetapi jika Ramadhan berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar: "Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah secara benar kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang shalih adalah yang beribadah dengan sungguh-sunggguh di sepanjang tahun."

Oleh karena itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat proses pembebasan dirinya dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal, dengan demikian ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal. Ketahuilah, amal perbuatan seorang mukmin itu tidak ada batasnya hingga maut menjemputnya.
Allah Ta'ala berfirman : "Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) " (Al-Hijr: 99)

Dan perlu diingat pula bahwa shalat-shalat dan puasa sunnah serta sedekah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala pada bulan Ramadhan adalah disyari'atkan sepanjang tahun, karena hal itu mengandung berbagai macam manfaat, di antaranya; ia sebagai pelengkap dari kekurangan yang terdapat pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba-Nya, sebab terkabulnya doa, demikian pula sebagai sebab dihapusnya dosa dan dilipatgandakannya pahala kebaikan dan ditinggikannya kedudukan. wallohu alam

Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan, shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu ke haribaan Nabi, segenap keluarga dan sahabatnya.

keluarga muslim