Sabtu, 02 Oktober 2010

NIKAH SIRI DALAM PANDANGAN ISLAM

Menengok sejarah Islam pada masa lalu, tidak ditemukan riwayat pemerintahan Islam memberikan sanksi pelaku nikah siri

Oleh: Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A

Akhir-akhir ini ramai dibicarakan tentang nikah siri. Pasalnya, pemerintah telah mempersiapkan Rancangan Undang Undang (RUU) Peradilan Agama Tentang Perkawinan yang membahas nikah siri, poligami, dan kawin kontrak.

Dalam RUU tersebut, nikah siri dianggap ilegal sehingga pasangan yang menjalani pernikahan model itu akan dipidanakan, di antaranya adalah kurungan maksimal 3 bulan dan denda maksimal Rp 5 juta. Sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara.

Oleh karenanya, Rancangan Undang Undang (RUU) Peradilan Agama Tentang Perkawinan di atas ditolak oleh banyak kalangan, karena akan membawa dampak yang buruk dan secara tidak langsung akan semakin menyuburkan pelacuran. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang Nikah Siri ?

Siri secara etimologi berarti sesuatu yang tersembunyi, rahasia, pelan-pelan. (Ibnu al Mandhur, Lisan al Arab : 4/ 356). Kadang Siri juga diartikan zina atau melakukan hubungan seksual, sebagaimana dalam firman Allah swt :

وَلَـكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا

“Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian untuk berzina (atau melakukan hubungan seksual) dengan mereka. “ (QS Al Baqarah : 235 )

Sirran pada ayat di atas menurut pendapat sebagian ulama berarti: berzina atau melakukan hubungan seksual. Pendapat ini dipilih Jabir bin Zaid, Hasan Bashri, Qatadah, AnNakh’i, Ad Dhohak, Imam Syafi’i dan Imam Thobari. (Tafsir al Qurtubi : 3/126). Pendapat ini dikuatkan dengan salah satu syi’ir yang disebutkan oleh Imru al Qais:

ألا زعمت بسباسة اليوم أنني كبرت و لا أحسن السر أمثالى

“Basbasah hari ini mengklaim bahwa aku sudah tua dan orang sepertiku ini tidak bisa lagi melakukan hubungan seksual dengan baik.“

Saat ini, nikah Siri dalam pandangan masyarakat mempunyai tiga pengertian:

Pengertian Pertama: Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi–sembunyi tanpa wali dan saksi. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafi’i di dalam kitab Al Umm 5/ 23,

أخبرنا مَالِكٌ عن أبي الزُّبَيْرِ قال أتى عُمَرُ بِنِكَاحٍ لم يَشْهَدْ عليه إلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ فقال هذا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْت تَقَدَّمْت فيه لَرَجَمْت

“Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata: “Ini adalah nikah sirri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam (pelakunya). “

Atsar di atas dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah ra:

أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن نكاح السر‏

“Bahwa nabi Muhammad saw melarang nikah siri. “ ( HR at Tabrani di dalam al Ausath dari Muhammad bin Abdus Shomad bin Abu al Jirah yang belum pernah disinggung oleh para ulama, adapun rawi-raiwi lainnya semuanya tsiqat (terpecaya) (Ibnu Haitami, Majma’ az-Zawaid wal Manbau al Fawaid (4/62) hadist 8057)

Pernikahan Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya tidak sah.

Pengertian Kedua: Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khayalak ramai.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah seperti ini:

Pendapat pertama: menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi makruh. Ini pendapat mayoritas ulama, di antaranya adalah Umar bin Khattab, Urwah, Sya’bi, Nafi’, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad (Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 7/ 434-435). Dalilnya adalah hadist Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

لا نِكاحَ إلا بوَلِيّ وشاهِدَيّ عَدْل

“Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil“ (HR Daruqutni dan al Baihaqi). Hadits ini disahihkan oleh Ibnu Hazm di dalam (al-Muhalla : 9/465).

Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khayalak ramai.

Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah akad mu’awadhah (akad timbal balik yang saling menguntungkan), maka tidak ada syarat untuk diumumkan, sebagaimana akad jual beli.

Begitu juga pengumuman pernikahan yang disertai dengan tabuhan rebana biasanya dilakukan setelah selesai akad, sehingga tidak mungkin dimasukkan dalam syarat-syarat pernikahan.

Adapun perintah untuk mengumumkan yang terdapat di dalam beberapa hadist menunjukkan anjuran dan bukan suatu kewajiban.

Pendapat Kedua: menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya tidak sah. Pendapat ini dipegang oleh Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab Hanabilah (Ibnu Qudamah, al Mughni : 7/ 435, Syekh al Utsaimin, asy-Syarh al-Mumti’ ’ala Zaad al Mustamti’, Dar Ibnu al Jauzi , 1428, cet. Pertama : 12/ 95). Bahkan ulama Malikiyah mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan istrinya, atau membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah melakukan hubungan seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan sangsi jika memang sengaja untuk merahasiakan pernikahan kedua mempelai tersebut. (Al Qarrafi, Ad Dzakhirah, tahqiq : DR. Muhammad al Hajji, Beirut, Dar al Gharb al Islami, 1994, cet : pertama : 4/ 401) Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

فَصْل بَيْنَ الحلالِ والحرامِ الدفُّ والصوت

“Pembeda antara yang halal (pernikahan) dan yang haram (perzinaan) adalah gendang rebana dan suara. “ (HR an Nasai dan al Hakim dan beliau mensahihkannya serta dihasankan yang lain).

Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

أعلنوا النكاح، واجعلوه في المساجد، واضرِبُوا عليه بالدُّفِّ

“ Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya." ( HR Tirmidzi, Ibnu Majah ) Imam Tirmidzi berkata: Ini merupakan hadits gharib hasan pada bab ini.

Pengertian Ketiga: Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA.

Pertanyaannya, kenapa sebagian masyarakat melakukan pernikahan dalam bentuk ini? Apa yang mendorong mereka untuk tidak mencatatkan pernikahan mereka ke lembaga pencatatan resmi? Ada beberapa alasan yang bisa diungkap di sini, di antaranya adalah:

a. Faktor biaya, yaitu sebagian masyarakat khususnya yang ekonomi mereka menengah ke bawah merasa tidak mampu membayar administrasi pencatatan yang kadang membengkak dua kali lipat dari biaya resmi.

b. Faktor tempat kerja atau sekolah, yaitu aturan tempat kerjanya atau kantornya atau sekolahnya tidak membolehkan menikah selama dia bekerja atau menikah lebih dari satu istri.

c. Faktor sosial, yaitu masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif kepada setiap yang menikah lebih dari satu, maka untuk menghindari stigma negatif tersebut, seseorang tidak mencatatkan pernikahannya kepada lembaga resmi.

d. Faktor-faktor lain yang memaksa seseorang untuk tidak mencatatkan pernikahannya.

Bagaimana hukum nikah siri dalam bentuk ketiga ini?

Pertama: Menurut kaca mata syariat, nikah siri dalam katagori ini, hukumnya sah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi.

Kedua: namun, menurut kaca mata hukum positif di Indonesia dengan merujuk pada RUU Pernikahan di atas, maka nikah siri semacam ini dikenakan sanksi hukum.

Pertanyaannya adalah kenapa negara memberikan sanksi kepada para pelaku nikah siri dalam katagori ketiga ini? Apakah syarat sah pernikahan harus dicatatkan kepada lembaga pencatatan? Bagaimana status lembaga pencatatan pernikahan dalam kaca mata syari’at?

Kalau kita menengok sejarah Islam pada masa lalu, ternyata tidak ditemukan riwayat bahwa pemerintahan Islam memberikan sangsi kepada orang yang menikah dan belum melaporkan kepada negara. Hal itu, mungkin saja belum ada lembaga pemerintahan yang secara khusus menangani pencatatan masalah pernikahan, karena dianggap belum diperlukan. Dan memang pernikahan bukanlah urusan negara tetapi merupakan hak setiap individu, serta merupakan sunah Rasulullah saw.
Namun, beriring dengan perkembangan zaman dan permasalahan masyarakat semakin kompleks, maka diperlukan penertiban-penertiban terhadap hubungan antarindividu di dalam masyarakat. Maka, secara umum negara berhak membuat aturan-aturan yang mengarah kepada maslahat umum, dan negara berhak memberikan sangsi kepada orang-orang yang melanggarnya. Hal itu sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

تصرف الراعي منوط بمصلحة الرعية

“Kebijaksanaan pemimpin harus mengarah kepada maslahat masyarakat.“ (As Suyuti, al Asybah wa An-Nadhair, Bierut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1993, Cet. Pertama, hlm : 121)

Maka, dalam ini, pada dasarnya negara berhak untuk membuat peraturan agar setiap orang yang menikah, segera melaporkan kepada lembaga pencatatan pernikahan. Hal itu dimaksudkan agar setiap pernikahan yang dilangsungkan antara kedua mempelai mempunyai kekuatan hukum, sehingga diharapkan bisa meminimalisir adanya kejahatan, penipuan atau kekerasan di dalam rumah tangga, yang biasanya wanita dan anak-anak menjadi korban utamanya.

Oleh karenanya, jika memang tujuan pencatatan pernikahan adalah untuk melindungi hak-hak kaum wanita dan anak-anak serta untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum, maka mestinya negara tidak mempersulit proses pencatatan pernikahan tersebut, di antaranya adalah mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

a. Memberikan keringanan biaya bagi masyarakat yang tidak mampu, bukan malah meminta bayaran lebih, dengan dalih bekerja di luar jam kantor.

b. Membuka pelayanan pada hari-hari di mana banyak diselenggarakan acara pernikahan.

c. Tidak mempersulit orang-orang yang hendak menikah lebih dari satu, selama mereka bertanggung jawab terhadap anak dan istri mereka.

Tetapi jika ada tujuan-tujuan lain yang tersembunyi dan tidak diungkap, maka tentunya peraturan tersebut harus diwaspadai, khususnya jika terdapat indikasi-indikasi yang mengarah kepada pelarangan orang yang ingin menikah lebih dari satu, padahal dia mampu dan sanggup berbuat adil, jika keadaannya demikian, maka rancangan undang-undang tersebut telah merambah kepada hal-hal yang bukan wewenangnya, dan melarang sesuatu yang halal, serta telah mengumumkan perang terhadap ajaran Islam, dan secara tidak langsung memberikan jalan bagi perzinahan dan prostitusi yang semakin hari semakin marak di negeri Indonesia ini. Wallahu A’lam. Sumber: Hidayatullah.com

HATI YANG BERSIH




Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Akhir-akhir ini saya banyak membaca buku sufi, ternyata saya baru tahu bahwa penyucian hati atau tazkiyatun-nufus merupakan perkara besar dalam Islam. Apalah artinya beramal saleh, jika hati kita masih kotor, penuh dengan sifat-sifat buruk? Semua amalan bisa rusak seketika, bahkan bisa hilang tanpa bekas, jika ternyata masih ada riya’ dalam diri.

Melalui rubrik ini, saya ingin bertanya kepada Ustadz tentang indikasi hati yang bersih, mudah-mudahan dengan jawaban tersebut saya bisa mengoreksi sejauh mana kondisi hati saya saat ini. Terima kasih atas jawaban Ustadz.

UG
Jambi

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, kami ingin meluruskan pernyataan Saudara tentang amal saleh. Menurut kami, amal saleh itu adalah perbuatan baik yang dilakukan oleh orang yang baik karena niat dan motivasi yang baik dan benar. Suatu perbuatan yang tidak dilandasi oleh niat dan landasan akidah yang benar, menurut kami bukan termasuk amal saleh. Dengan pengertian seperti ini, maka amal saleh itu tetap berguna kapan dan di manapun juga. Tidak ada amal saleh yang sia-sia.

Tentang hati, Imam Al-Ghazali membagi menjadi tiga jenis, yaitu: hati yang mati, hati yang sakit, dan hati yang sehat. Hati sakit adalah hatinya orang-orang kafir yang telah menutup diri dari kebenaran. Satu-satunya cara menghidupkan hati yang mati adalah dengan membuka tutup yang selama ini telah menutupi dan melindunginya dari hidayah.

Hati yang sakit adalah hatinya orang-orang mukmin yang terserang satu atau lebih penyakit jiwa, seperti hasad, riya’, ujub, dan takabbur. Penyakit hati itu bisa disembuhkan dengan “Tazkiyatun-nufus”, membersihkan hati. Setiap Muslim wajib mendiagnosa penyakit hatinya, kemudian dengan sungguh-sungguh mengobatinya agar hatinya sehat dan selamat.

Hati yang sehat adalah hatinya orang beriman yang lapang dan terbebas dari segala bentuk penyakit hati. Orang-orang yang hatinya sehat merasakan kelapangan dan kemudahan hidup. Hatinya tenang karena menerima qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terhindar dari rakus dan iri hati. Jauh dari rendah diri dan tinggi hati. Sebaliknya, mereka tampak tawadhu dan optimis. Selalu bahagia, tidak mengeluh. Selalu bersikap positif, tidak curiga, dan buruk sangka, terutama kepada Allah. Senantiasa bersyukur menghadapi nikmat dan bersabar ketika mendapati musibah.

Hati yang sehat adalah hati yang bebas dari noda syirik hingga sekecil kecilnya dan seremeh-remehnya. Berserah diri kepada-Nya dengan segenap keyakinannya. Mengimani ke-Ilahiyan- Nya beserta nama-nama dan sifat-sifat- Nya.

Hati yang sehat adalah hati orang beriman yang beribadah kepada Allah dengan sukarela, rasa cinta, tawakkal, khusyu, khudhu’ (merendah), dan raja’ (penuh harap), sambil mengikhlaskan amalnya semata-mata karena Allah Ta’ala.

Hati yang sehat adalah hati yang menerima perintah dan larangan Allah dengan penuh ketundukan dan keridhaan. Bila disebut nama Allah, maka bergetarlah hatinya. Bila dibaca ayat-ayat Allah, maka bertambahlah imannya.

Hanya orang-orang yang hatinya sehat saja yang nantinya bakal dipanggil Allah masuk ke dalam golongan hamba-hamba- Nya, dan masuk ke dalam surga-Nya:
” Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba- Ku, Masuklah ke dalam surga-Ku.” (Al-Fajr [89]: 27 – 30)

Hanya dengan hati yang sehat saja, kita akan selamat menempuh perjalanan akhirat menuju Allah. Ketika harta, keluarga, dan kolega tidak ada manfaat dan gunanya, maka hati yang sehat saja yang nanti akan berguna. Allah berfirman: ”Yaitu di hari harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah denagn hati yang sehat (Qalbun Salim)” (Asyu’ara [26]: 88 – 89).*

SUARA HIDAYATULLAH, AGUSTUS 2010