Kamis, 16 Desember 2010

SYIRIK AKBAR (BESAR)

Penulis: Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Soal 1: Apa dosa yang paling besar di sisi Allah? Jawab: Dosa yang paling besar adalah syirik kepada Allah, dengan dalil firman Allah: "Wahai anakku janganlah kamu mempersekutukan (syirik) kepada Allah, sesungguhnya syirik itu merupakan kezaliman yang paling besar." (Luqman:13). Dan ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya: "Dosa apa yang paling besar? Beliau bersabda: Kamu menjadikan tandingan bagi Allah, sedang Dialah yang menciptakanmu. (HR.Bukhari-Muslim)

Soal 2: Apakah Syirik Akbar itu? Jawab: Syirik besar (Akbar) adalah beribadah kepada selain Allah, seperti berdoa kepada selain Allah, meminta berkah kepada orang yang mati atau hidup tapi tidak berada di tempat orang yang meminta, seperti firman Allah: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. “(an-Nisa':36) Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Termasuk dosa besar yang paling besar adalah berbuat syirik kepada Allah." (HR. Bukhari)

Soal 3: Apakah syirik itu bercokol pada umat sekarang ini?. Jawab: Benar, dengan dalil firman Allah: "Dan kebanyakan dari mereka tidak beriman kepada Allah, kecuali mereka dalam keadaan berbuat syirik." (Yusuf:106) Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Tidak akan terjadi hari kiamat, sehingga segolongan besar dari ummatku cenderung pada orang-orang musyrik dan ikut beribadah pada berhala. (HR.Tirmidzi)

Soal 4: Apa hukum berdoa kepada orang yang mati atau ghaib? Jawab: Berdoa kepada orang yang mati dan ghaib itu syirik akbar, sebagaimana firman Allah: "Dan janganlah kamu berdoa kepada selain Allah, apa yang tidak memberimu manfaat dan memberimu madharat; sebab jika kamu melakukan (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim." (Yunus: 106). Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Barangsiapa yang mati sedang dia menyeru/berdoa kepada selain Allah sebagai tandingan, niscaya masuk neraka." (HR.Bukhari)

Soal 5: Apakah doa itu ibadah?. Jawab: Ya, doa itu ibadah, sebagaimana firman Allah: "Berdoalah kepada-Ku akan Kupenuhi permintaanmu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina." (Ghafir:60) Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Doa itu ibadah." (HR.Ahmad dan Tirmidzi, beliau berkata: hasan shahih)

Soal 6: Apakah orang mati itu bisa mendengarkan doa?. Jawab: Tidak bisa mendengar, dengan dalil firman Allah: "Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar." (an-Naml:80). "Dan kamu sekali-kali tidak sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar." (faathir:22)

CONTOH-CONTOH LAIN PERBUATAN-PERBUATAN SYIRIK YANG BANYAK TERSEBAR DI MASYARAKAT (kitab Mukhalafat fit Tauhid, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ar-Rayyis) 1- Mempersembahkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta'ala, seperti berdoa (memohon) kepada orang-orang shaleh yang telah mati, meminta pengampunan dosa, menghilangkan kesulitan (hidup), atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan, seperti keturunan dan kesembuhan penyakit, kepada orang-orang shaleh tersebut. Juga seperti mendekatkan diri kepada mereka dengan sembelihan qurban, bernazar, thawaf, shalat dan sujud. Ini semua adalah perbuatan syirik, karena Allâh Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)". [al-An’âm/6:162-163]

2- Mendatangi para dukun, tukang sihir, peramal (paranormal) dan sebagainya, serta membenarkan ucapan mereka. Ini termasuk perbuatan kufur (mendustakan) agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya: "Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" HR. Ahmad (2/429) dan al-Hâkim (1/49). Lihat ash-Shahîhah no. 3387. Hal ini dikarenakan para dukun, peramal, dan tukang sihir tersebut mengaku-ngaku mengetahui urusan ghaib, padahal ini merupakan kekhususan bagi Allâh Subhanahu wa Ta'ala.

"Katakanlah: "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan". [an-Naml/27:65]

3- Berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri yang melarang hal ini dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Janganlah kalian berlebihan dan melampaui batas dalam memujiku seperti orang-orang Nashrani berlebihan dan melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku adalah hamba (Allâh), maka katakanlah: hamba Allâh dan rasul-Nya". HR. al-Bukhâri no. 3261. Di antara Bentuk Pengagungan Yang Berlebihan Dan Melampaui Batas Kepada Rasulullâh Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah sebagai berikut:

- Meyakini bahwa beliau mengetahui perkara yang ghaib dan bahwa dunia diciptakan karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

- Memohon pengampunan dosa dan masuk surga kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena semua perkara ini adalah khusus milik Allâh Subhanahu wa Ta'ala dan tidak ada seorang makhluk pun yang ikut serta memilikinya.

- Melakukan safar (perjalanan jauh) dengan tujuan menziarahi kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri yang melarang perbuatan ini dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Tidak boleh melakukan perjalanan (dengan tujuan ibadah) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha". HR. al-Bukhâri no. 1132 dan Muslim no. 1397.
Semua hadits yang menyebutkan keutamaan melakukan perjalanan untuk mengunjungi kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hadits yang lemah dan tidak benar penisbatannya kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang ditegaskan oleh sejumlah imam ahli hadits.

4- Berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan kuburan orang-orang shaleh yang terwujudkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: - Memasukkan kuburan ke dalam masjid dan meyakini adanya keberkahan dengan masuknya kuburan tersebut. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Allâh melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani, (karena) mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)" HR. al-Bukhâri no. 1265 dan Muslim no. 529

- Membangun (meninggikan) kuburan dan mengapur (mengecat) nya. Dalam hadits yang shahih, Jabir bin 'Abdillah Radhiyallahu 'anhu berkata: "Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atasnya, dan membangun di atasnya". HR. Muslim (no. 970). Perbuatan-perbuatan ini dilarang karena merupakan sarana yang membawa kepada perbuatan syirik (menyekutukan Allâh Subhanahu wa Ta'ala dengan orang-orang shaleh tersebut).

5- Termasuk perbuatan yang merusak tauhid dan aqidah seorang Muslim adalah menggantungkan jimat -baik berupa benang, manik-manik atau benda lainnya- pada leher, tangan, atau tempat-tempat lainnya, dengan meyakini jimat tersebut sebagai penangkal bahaya dan pengundang kebaikan. Perbuatan ini dilarang keras oleh Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau yang artinya: "Barangsiapa yang menggantungkan jimat, sungguh dia telah berbuat syirik". HR. Ahmad (4/156). Lihat ash-Shahîhah no. 492

6- Demikian juga perbuatan tahayyur, yaitu menjadikan sesuatu sebagai sebab kesialan atau keberhasilan suatu urusan, padahal Allâh Subhanahu wa Ta'ala tidak menjadikannya sebagai sebab yang berpengaruh. Perbuatan ini juga dilarang keras oleh Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau yang artinya: ”Menganggap sial sesuatu adalah kesyirikan". HR. Abu Dâwud no. 3910, at-Tirmidzi no. 1614 dan Ibnu Mâjah no. 3538. Lihat ash-Shahîhah no. 429 7- Demikian juga perbuatan bersumpah dengan nama selain Allâh Azza wa Jalla. Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya: "Barangsiapa bersumpah dengan (nama) selain Allâh, sungguh dia telah berbuat syirik". HR. Abu Dâwud (no. 3251) dan at-Tirmidzi (no. 1535). Lihat ash-Shahîhah no. 2042

NASEHAT DAN PENUTUP Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan doa perlindungan dari segala bentuk syirik kepada Sahabat yang mulia, Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi :

"Ya Allâh, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari)" Hadits shahih riwayat al-Bukhâri, al-Adabul Mufrad no. 716 dan Abu Ya’la no. 60.

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. An Nisa 48

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. Al An’am 82

Demi masa Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. Al Ashr 1-3

SEMOGA BERMANFAAT.

ILMU ADALAH PEMIMPIN AMALAN


"Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma'ruf wan Nahyu 'anil Mungkar, hal. 15)

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.

Mu'adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالع...َمَلُ تَابِعُهُ

"Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma'ruf wan Nahyu 'anil Mungkar, hal. 15)

Bukti Bahwa Ilmu Lebih Didahulukan daripada Amalan

Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, "Al 'Ilmu Qoblal Qouli Wal 'Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)". Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta'ala,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

"Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu" (QS. Muhammad [47]: 19).

Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)

Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)

Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (Fathul Bari, 1/108)

Keutamaan Luar Biasa Ilmu Syar’i

Setelah kita mengetahui hal di atas, hendaklah setiap orang lebih memusatkan perhatiannya untuk berilmu terlebih dahulu daripada beramal. Semoga dengan mengetahui faedah atau keutamaan ilmu syar’i berikut akan membuat kita lebih termotivasi dalam hal ini.

Pertama, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu di akhirat dan di dunia

Di akhirat, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat berbanding lurus dengan amal dan dakwah yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang yang berilmu dari hamba-hamba yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia lakukan. Allah Ta’ala berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al Mujadalah: 11)

Kedua, seorang yang berilmu adalah cahaya yang banyak dimanfaatkan manusia untuk urusan agama dan dunia meraka.

Dalilnya, satu hadits yang sangat terkenal bagi kita, kisah seorang laki-laki dari Bani Israil yang membunuh 99 nyawa. Kemudian dia ingin bertaubat dan dia bertanya siapakah di antara penduduk bumi yang paling berilmu, maka ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia bertanya kepada si ahli ibadah, apakah ada taubat untuknya. Ahli ibadah menganggap bahwa dosanya sudah sangat besar sehingga dia mengatakan bahwa tidak ada pintu taubat bagi si pembunuh 99 nyawa. Maka dibunuhlah ahli ibadah sehigga genap 100 orang yang telah dibunuh oleh laki-laki dari Bani Israil tersebut. Akhirnya dia masih ingin bertaubat lagi, kemudian dia bertanya siapakah orang yang paling berilmu, lalu ditunjukkan kepada seorang ulama. Dia bertanya kepada ulama tersebut, “Apakah masih ada pintu taubat untukku”. Maka ulama tersebut mengatakan bahwa masih ada pintu taubat untuknya dan tidak ada satupun yang menghalangi dirinya untuk bertaubat. Kemudian ulama tersebut menunjukkan kepadanya agar berpindah ke sebuah negeri yang penduduknya merupakan orang shalih, karena kampungnya merupakan kampung yang dia tinggal sekarang adalah kampung yang penuh kerusakan. Oleh karena itu, dia pun keluar meninggalkan kampung halamannya. Di tengah jalan sebelum sampai ke negeri yang dituju, dia sudah dijemput kematian. (HR. Bukhari dan Muslim). Kisah ini merupakan kisah yang sangat masyhur. Lihatlah perbedaan ahli ibadah dan ahli ilmu.

Ketiga, Ilmu adalah Warisan Para Nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.”

(HR Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Keempat, Orang yang Berilmu yang Akan Mendapatkan Seluruh Kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada dirinya.”

(Majmu’ Al Fatawa, 28/80)

Ilmu yang Wajib Dipelajari Lebih Dahulu

Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia adalah ilmu yang menuntut untuk diamalkan saat itu, adapun ketika amalan tersebut belum tertuntut untuk diamalkan maka belum wajib untuk dipelajari. Jadi ilmu mengenai tauhid, mengenai 2 kalimat syahadat, mengenai keimanan adalah ilmu yang wajib dipelajari ketika seseorang menjadi muslim, karena ilmu ini adalah dasar yang harus diketahui.

Kemudian ilmu mengenai shalat, hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti bersuci dan lainnya, merupakan ilmu berikutnya yang harus dipelajari. Kemudian ilmu tentang hal-hal yang halal dan haram, ilmu tentang mualamalah dan seterusnya.

Contohnya seseorang yang saat ini belum mampu berhaji, maka ilmu tentang haji belum wajib untuk ia pelajari saat ini. Akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji, ia wajib mengetahui ilmu tentang haji dan segala sesuatu yang berkaitan dengan haji. Adapun ilmu tentang tauhid, tentang keimanan, adalah hal pertama yang harus dipelajari karena setiap amalan yang ia lakukan tentunya berkaitan dengan niat. Kalau niatnya dalam melakukan ibadah karena Allah maka itulah amalan yang benar. Adapun kalau niatnya karena selain Allah maka itu adalah amalan syirik. Ini semua jika dilatarbelakangi dengan aqidah dan tauhid yang benar.

Penutup

Marilah kita awali setiap keyakinan dan amalan dengan ilmu agar luruslah niat kita dan tidak terjerumus dalam ibadah yang tidak ada tuntunan (alias bid’ah). Ingatlah bahwa suatu amalan yang dibangun tanpa dasar ilmu malah akan mendatangkan kerusakan dan bukan kebaikan. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan,

من عبد الله بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح

"Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan." (Al Amru bil Ma'ruf wan Nahyu 'anil Mungkar, hal. 15). Di samping itu pula, setiap ilmu hendaklah diamalkan agar tidak serupa dengan orang Yahudi.

Sufyan bin ‘Uyainah –rahimahullah- mengatakan,

مَنْ فَسَدَ مِنْ عُلَمَائِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ الْيَهُودِ وَمَنْ فَسَدَ مِنْ عِبَادِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ النَّصَارَى

Orang berilmu yang rusak (karena tidak mengamalkan apa yang dia ilmui) memiliki keserupaan dengan orang Yahudi. Sedangkan ahli ibadah yang rusak (karena beribadah tanpa dasar ilmu) memiliki keserupaan dengan orang Nashrani.” (Majmu’ Al Fatawa, 16/567)

Semoga Allah senantiasa memberi kita bertaufik agar setiap amalan kita menjadi benar karena telah diawali dengan ilmu terdahulu. Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat, amal yang sholeh yang diterima, dan rizki yang thoyib.

Alhamdulilllahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.