Sabtu, 25 Agustus 2012

KRITERIA PEMIMPIN IDEAL DALAM AL QUR'AN

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan telah Kami wahyukan kepada mereka untuk senantiasa mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu mengabdi.(QS. Al-Anbiya’: 73)

Ayat ini berbicara pada tataran ideal tentang sosok pemimpin yang akan memberikan dampak kebaikan dalam kehidupan rakyat secara keseluruhan, seperti yang ada pada diri para nabi manusia pilihan Allah. Karena secara korelatif, ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat ini dalam konteks menggambarkan para nabi yang memberikan contoh keteladanan dalam membimbing umat ke jalan yang mensejahterakan umat lahir dan bathin. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ayat ini merupakan landasan prinsip dalam mencari figur pemimpin ideal yang akan memberi kebaikan dan keberkahan bagi bangsa dimanapun dan kapanpun.

Ayat yang berbicara tentang kriteria pemimpin yang ideal yang senada dengan ayat di atas adalah surah As-Sajdah: 24: “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. Kesabaran yang dimaksud dalam ayat ini yang menjadi pembeda dengan ayat Al-Abiya’ adalah kesabaran dalam menegakkan kebenaran dengan tetap komitmen menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah. Tentu bagi seorang pejabat tinggi, tetap komitmen dengan kebenaran membutuhkan mujahadah dan kesabaran yang jauh lebih besar karena akan berdepan dengan pihak yang justru menginginkan tersebarnya kebathilan dan kemaksiatan di tengah-tengah umat.

Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, ciri utama yang disebutkan di awal kedua ayat yang berbicara tentang kepemimpinan ideal adalah bahwa para pemimpin itu senantiasa mengajak rakyatnya kepada jalan Allah dan kemudian secara aplikatif mereka memberikan keteladanan dengan terlebih dahulu mencontohkan pengabdian dalam kehidupan sehari-hari yang dicerminkan dengan menegakkan shalat dan menunaikan zakat, sehingga mereka termasuk kelompok ‘abid’ yang senantiasa tunduk dan patuh mengabdi kepada Allah swt dengan merealisasikan ajaran-ajaranNya yang mensejahterakan.

‘Wakanu Lana Abidin bukan Wakanu Abidin’ merupakan penegasan bahwa perbuatan baik yang mereka perbuat lahir dari rasa iman kepada Allah dan jauh dari kepentingan politis maupun semata-mata malu dengan jabatannya. Maka kata ‘lana (hanya kepada Kami)’ adalah batasan bahwa hanya kepada dan karena Allah mereka berbuat kebaikan selama masa kepemimpinannya.

Asy-Syaukani dalam Tafsir Fathul Qadir menambahkan bahwa kriteria pemimpin yang memang harus ada adalah keteladanan dalam kebaikan secara universal sehingga secara eksplisit Allah menegaskan tentang mereka: Telah Kami wahyukan kepada mereka untuk senantiasa mengerjakan beragam kebajikan. Fi’lal khairat yang senantiasa mendapat bimbingan Allah adalah beramal dengan seluruh syariat Allah secara integral dan paripurna dalam seluruh segmen kehidupan.

Yang sangat menarik untuk dicermati secara redaksional adalah pilihan kata ‘aimmah’ dalam kedua ayat di atas. Kepemimpinan umumnya menggunakan terminologi khalifah atau Amir. Tentu pilihan kata tersebut bukan semata-mata untuk memenuhi aspek keindahan bahasa Al-Qur’an sebagai bagian dari kemu’jizatan al-qur’an, tetapi lebih dari itu merupakan sebuah isyarat tentang sosok pemimpin yang sesungguhnya diharapkan, yaitu sosok pemimpin dalam sebuah negara atau masyarakat idealnya adalah juga layak menjadi pemimpin dalam kehidupan beragama bagi mereka. Mereka bukan hanya tampil di depan dalam urusan dunia, tetapi juga tampil di barisan terdepan dalam urusan agama. Inilah yang sering diistilahkan dengan agamawan yang negarawan atau negarawan yang agamawan.

Dan memang sejarah kesuksesan kepemimpinan terdahulu yang berdampak pada kebaikan dan kesejahteraan masyarakatnya seperti kepemimpinan di era Rasulullah dan para sahabatnya adalah bahwa pemimpin negara di masa itu juga pada masa yang sama adalah pemimpin shalat. Tidak pernah terjadi, bahwa pemimpin Negara saat itu hanya memiliki kualifikasi kepemimpinan dalam memenej negara, tetapi juga dalam memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama umat. Karena urusan duniawi dan ukhrawi sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang sinergis dalam totalitas ajaran Islam. Perhatian pemimpin yang parsial pada salah satu aspek tertentu menunjukkan minimnya atau ketidak mampuannya menjadi ‘imam’ seperti yang diisyaratkan oleh kedua ayat kunci di atas.

Disini, mencari sosok pemimpin ideal memang bukan pekerjaan mudah atau instan, tetapi merupakan kerja serius dan kontinyu dalam bingkai pembinaan yang berjalan baik, sehingga stok kepemimpinan tidak pernah langka atau tidak tersedia. Maka aspek kepemimpinan sangat terkait erat dengan aspek pembinaan (kaderisasi) yang harus dikerjakan secar serius dan kontinyu. Pemimpin yang lahir dari sebuah proses pembinaan yang baik, tentu jauh lebih baik daripada pemimpin yang lahir secara instan karena popularitas, kedekatan maupun faktor keturunan dan lain sebagainya.

Dalam pepetah Arab disebutkan:

ما الرجال الا صناديق مقفلة * ما مفاتحها الا تجارب

Tidaklah pemimpin-pemimpin itu melainkan ibarat kotak-kotak yang tertutup rapat

Tidak lain kuncinya adalah pengalaman (aktifitas kehidupan sehari-hari).

Pepatah ini merupakan sebuah rumusan dalam mencari figur pemimpin. Track record merupakan kunci membuka keperibadian seorang pemimpin; bagaimana shalatnya, amalnya, kiprahnya, kinerjanya dan kehidupan sehari-harinya bersama keluarga, masyarakat dan sebagainya yang sangat layak untuk dijadikan parameter untuk mengukur kelayakan seseorang untuk menjadi pemimpin dalam semua levelnya, apalagi pemimpin dalam skala nasional.. Sehingga seorang Umar bin Khatab begitu sangat selektif dalam memilih atau mengangkat pejabat yang akan membantunya dalam mensukseskan kepemimpinanya secara kolektif. Beliau hanya akan mengangkat pejabat yang dikenal kebaikannya secara umum. Bahkan Umar pernah marah kepada sahabat yang mengangkat pejabat dari orang yang tidak dikenalnya. Umar bertanya memastikan pengenalannya terhadap seseorang yang diangkatnya: “Sudahkah kamu pergi bersamanya? Sudahkah kamu bersilaturahmi ke rumahnya? Sudahkah kamu berbisnis dengannya? Dan sederetan pertanyaan lain yang membuka sosok pejabat yang akan dilantiknya tersebut”.

Demikian, dalam Islam, melahirkan kepemimpinan merupakan amal puncak yang harus diberi perhatian besar karena fungsi kepemimpinan dalam Islam berdasarkan ‘Siyasah Syar’iyyah’ adalah Hirasatud Din (memelihara dan mempertahankan ajaran agama) dan Siyasatud Dunya (merancang strategi untuk kebaikan duniawi). Maka membangun kebaikan sebuah masyarakat atau bangsa harus diawali dengan menciptakan para pemimpin dalam seluruh levelnya yang shalih yang akan menyebarkan kebaikan di tengah-tengah masyarakat mereka.

Abul Hasan Al-Mawardi dalam buku politiknya ‘Al-Ahkam As-Sulthaniyah’ menegaskan bahwa mengangkat dan menegakkan kepemimpinan merupakan kewajiban agama yang bersifat kifa’i yang menuntut keterlibatan semua pihak untuk merealisasikan kepemimpian yang benar sesuai dengan panduan Islam dan memberi kemaslahatan serta kesejahteraan bagi seluruh komponen umat. Kewajiban menegakkan kepemimpinan sama dengan kewajiban jihad dan menuntut ilmu. Jika sudah ada yang memegang tampuk kepemimpinan dari mereka yang layak untuk itu maka gugurlah kewajiban atas semua umat. Namun jika belum ada, maka kewajiban tetap berlaku atas semua imam sampai terbentuknya kepemimpinan. Beliau menukil sebuah hadits dari Abu Hurairah tentang kemungkinan terjadinya kepemimpinan pasca Rasulullah dan sikap yang harus ditunjukkan oleh umat terhadap model kepemimpinan tersebut:

وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { سَيَلِيكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ فَيَلِيكُمْ الْبَرُّ بِبِرِّهِ ، وَيَلِيكُمْ الْفَاجِرُ بِفُجُورِهِ ، فَاسْمَعُوا لَهُمْ وَأَطِيعُوا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ ، فَإِنْ أَحْسَنُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ ، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Akan datang sepeninggalku beberapa pemimpin untuk kalian. Ada seorang yang baik yang memimpin kalian dengan kebaikan, namun ada juga pemimpin yang buruk yang memimpin dengan kemaksiatan. Maka hendaklah kalian tetap mendengar dan taat pada setiap yang menepati kebenaran. Karena jika mereka baik, maka kebaikan itu untuk kalian dan untuk mereka. Namun jika mereka buruk, maka keburukan itu hanya untuk mereka”.

Tentu, kita masih menanggung beban kewajiban kifa’i / kolektif untuk melahirkan sosok pemimpin yang berfungsi untuk merealisasikan hirasut din dan siyasatud dunya, sehingga kehadiran pemimpin yang agamawan sekaligus negarawan merupakan kata kunci yang disodorkan oleh Allah dalam kedua ayat di atas untuk membawa masyarakat dan bangsa mencapai ’Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur’. Namun tetap yakin bahwa harapan kepemimpinan itu masih ada dan akan terus ada dengan izin Allah… Amin. (Dakwatuna.com)

Rabu, 22 Agustus 2012

TATA CARA PUASA ENAM HARI BULAN SYAWWAL


Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.

Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan masyru’ (disyari'atkan). Pendapat yang menyatakan bid’ah atau haditsnya lemah, merupakan pendapat bathil [1]. Imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad menyatakan istihbab pelaksanaannya [2].

Adapun Imam Malik, beliau rahimahullah menilainya makruh. Agar, orang tidak memandangnya wajib. Lantaran kedekatan jaraknya dengan Ramadhan. Namun, alasan ini sangat lemah, bertentangan dengan Sunnah shahihah.

Alasan yang diketengahan ini tidak tepat, jika dihadapkan pada pengkajian dan penelitian dalil, yang akan menyimpulkan pendapat tersebut lemah. Alasan terbaik untuk mendudukkan yang menjadi penyebab sehingga beliau berpendapat demikian, yaitu apa yang dikatakan oleh Abu ‘Amr Ibnu ‘Abdil Barr, seorang ulama yang tergolong muhaqqiq (peneliti) dalam madzhab Malikiyah dan pensyarah kitab Muwatha.

Abu ‘Amr Ibnu ‘Abdil Barr berkata,"Sesungguhnya hadits ini belum sampai kepada Malik. Andai telah sampai, niscaya beliau akan berpendapat dengannya.” Beliau mengatakan dalam Iqna’, disunnahkan berpuasa enam hari di bulan Syawal, meskipun dilaksanakan dengan terpisah-pisah. Keutamaan tidak akan tetap diraih bila berpuasa di selain bulan Syawal.

Seseorang yang berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah berpuasa Ramadhan, seolah-olah ia berpuasa setahun penuh. Penjelasannya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Bulan Ramadhan laksana sepuluh bulan. Sementara enam hari bagai dua bulan. Maka hitungannya menjadi setahun penuh. Sehingga dapat diraih pahala ibadah setahun penuh tanpa kesulitan, sebagai kemurahan dari Allah dan kenikmatan bagi para hambaNya.

Dari Tsauban Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan, satu bulan seperti sepuluh bulan dan berpuasa enam hari setelah hari Idul Fitri, maka itu merupakan kesempurnaan puasa setahun penuh".[3]

BILAMANA PELAKSANAANNYA?
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, di dalam Majmu' Fatawa wal Maqalat Mutanawwi'ah (15\391) menyatakan, puasa enam hari di bulan Syawal memiliki dasar dari Rasulullah. Pelaksanaannya, boleh dengan berurutan ataupun terpisah-pisah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan pelaksanaannya secara mutlak, dan tidak menyebutkan caranya dilakukan dengan berurutan atau terpisah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam" :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun" [4].

Beliau rahimahullah juga berpendapat, seluruh bulan Syawwal merupakan waktu untuk puasa enam hari. Terdapat riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda : Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkannya enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun [5].

Hari pelaksanaannya tidak tertentu dalam bulan Syawwal. Seorang mu`min boleh memilih kapan saja mau melakukannya, (baik) di awal bulan, pertengahan bulan atau di akhir bulan. Jika mau, (boleh) melakukannya secara terpisah atau beriringan. Jadi, perkara ini fleksibel, alhamdulillah. Jika menyegerakan dan melakukannya secara berurutan di awal bulan, maka itu afdhal. Sebab menunjukkan bersegera melakukan kebaikan [6].

Para ulama menganjurkan (istihbab) pelaksanaan puasa enam hari dikerjakan setelah langsung hari 'Idhul Fitri. Tujuannya, sebagai cerminan menyegerakan dalam melaksanakan kebaikan. Ini untuk menunjukkan bukti kecintaan kepada Allah, sebagai bukti tidak ada kebosanan beribadah (berpuasa) pada dirinya, untuk menghindari faktor-faktor yang bisa menghalanginya berpuasa, jika ditunda-tunda.

Syaikh ‘Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd menjelaskan : "Dalam hadits ini (yaitu hadits tentang puasa enam hari pada bulan Syawwal), tidak ada nash yang menyebutkan pelaksanaannya secara berurutan ataupun terpisah-pisah. Begitu pula, tidak ada nash yang menyatakan pelaksanaannya langsung setelah hari raya 'Idul Fithri. Berdasarkan hal ini, siapa saja yang melakukan puasa tersebut setelah hari Raya 'Idul Fithri secara langsung atau sebelum akhir Syawal, baik melaksanakan dengan beriringan atau terpisah-pisah, maka diharapkan ia mendapatkan apa yang dijanjikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, itu semua menunjukkan ia telah berpuasa enam hari pada bulan Syawwal setelah puasa bulan Ramadhan. Apalagi, terdapat kata sambung berbentuk tsumma, yang menunjukkan arti tarakhi (bisa dengan ditunda)”.[7]

Demikian penjelasan singkat mengenai cara berpuasa enam hari pada bulan Syawwal setelah puasa bulan Ramadhan. Mudah-mudahan dapat memotivasi diri kita, untuk selalu mencintai sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang tidak lain akan mendekatkan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam bish-shawab.

BAGAIMANA JIKA MASIH MENANGGUNG PUASA RAMADHAN?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah, apakah boleh mendahulukan puasa sunnah (termasuk puasa enam hari di bulan Syawwal) sebelum melakukan puasa qadha Ramadhan.

Imam Abu Hanifah, Imam asy Syafi’i dan Imam Ahmad, berpendapat bolehnya melakukan itu. Mereka mengqiyaskannya dengan shalat thathawu’ sebelum pelaksanaan shalat fardhu.

Adapun pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad, diharamkannya mengerjakan puasa sunnah dan tidak sah, selama masih mempunyai tanggungan puasa wajib.

Syaikh Bin Baz rahimahullah menetapkan, berdasarkan aturan syari'at (masyru’) mendahulukan puasa qadha Ramadhan terlebih dahulu, ketimbang puasa enam hari dan puasa sunnah lainnya. Hal ini merujuk sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian diiringi dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun".

Barangsiapa mengutamakan puasa enam hari daripada berpuasa qadha, berarti belum mengiringkannya dengan puasa Ramadhan. Ia hanya mengiringkannya dengan sebagian puasa di bulan Ramadhan. Mengqadha puasa hukumnya wajib. Sedangkan puasa enam hari hukumnya sunnah. Perkara yang wajib lebih utama untuk diperhatikan terlebih dahulu [8].

Pendapat ini pun beliau tegaskan, saat ada seorang wanita yang mengalami nifas pada bulan Ramadhan dan mempunyai tekad yang kuat untuk berpuasa pada bulan Syawwal. Beliau tetap berpendapat, menurut aturan syari'at, hendaknya Anda memulai dengan puasa qadha terlebih dahulu. Sebab, dalam hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan puasa enam hari (Syawwal) usai melakukan puasa Ramadhan. Jadi perkara wajib lebih diutamakan daripada perkara sunnah [9].

Sementara itu Abu Malik, penulis kitab Shahih Fiqhis Sunnah berpendapat, masih memungkinkan bolehnya melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal, meskipun masih memiliki tanggungan puasa Ramadhan. Dasar argumentasi yang digunakan, yaitu kandungan hadits Tsauban di atas yang bersifat mutlak [10].
Wallahu a’lam.

https://www.facebook.com/aang.muttaqin
________
Footnote
[1]. Majmu’ Fatawa, Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz, 15/389.
[2]. Taudhihul Ahkam, 3/533.
[3]. Hadits shahih, riwayat Ahmad, 5/280; an Nasaa-i, 2860; dan Ibnu Majah, 1715. Lihat pula Shahih Fiqhis Sunnah, 2/134.
[4]. HR Muslim, dalam ash Shiyam, bab Istihbabish-Shaumi Sittati Ayyam min Syawwal, 1164.
[5]. Ibid.
[6]. Majmu' Fatawa wal Maqalat Mutanawwi'ah, 15\390.
[7]. Fiqhul Islam, 3/232
[8]. Ibid.
[9]. Ibid.
[10]. Shahih Fiqhis Sunnah, 2/134.

HALAL BIHALAL DALAM PANDANGAN ISLAM


Oleh: Sukpandiar Idris Advokat As-salafy

Sejarah halal bihalal

Sejarah asal mula halal bihalal ada beberapa versi. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, bahwa tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.

Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama.Berbagai sumber antara lain. Tambihun On line

Jika kita membaca sejarahnya jelas halal bi halal itu , ya bid'ah , ya syirik:

1. Adanya budaya sungkem,

2. Campur baur dengan pemeluk Agama lain,

3. Campur baur Lelakai dan wanita yang bukan mahrom,

4. Pengkhususan pertemuan di waktu tertentu, biasanya ba'da idul fitri,

5. Ritualnya pun berbeda satu dengan yang lain,

6. Menandingi syariat Allah dan RosulNya.

Halal Bi Halal Sekarang

Lebih parah lagi tempatnya di hotel mewah, adanya musik , dan bentuk pesta pora lainnya.

QS. An-Nisa': 65

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [QS. An Nisa’: 65].

Dalam ayat ini Allah telah meniadakan iman, sebagaimana dikatakan syaikh Muhammad bin Ibrahim bahwa orang yang tidak menjadikan Rasulullah sebagai pihak yang memutuskan perkara yang mereka perselisihkan tidaklah beriman, dengan mendasarkan hal ini pada pengulangan adatu nafyi dan dengan sumpah. [Tahkimul Qawanin hal. 5].

Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya I/521, "Allah Ta'ala bersumpah dengan Dzat-Nya yang Mulia dan Suci bahwasanya seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasul sebagai hakim dalam seluruh urusan. Apa yang diputuskan Rasul itulah kebenaran yang wajib dikuti secara lahir dan batin."

Imam Ibnu Qayim juga berkata mengenai ayat ini: "Allah bersumpah dengan Dzat-Nya atas tidak adanya iman pada diri hamba-hamba-Nya sehingga mereka menjadikan Rasul sebagai hakim/pemutus segala persoalan di antara mereka, baik masalah besar maupun perkara yang remeh. Allah tidak menyatakan berhukum kepada Rasulullah ini cukup sebagai tanda adanya iman, namun lebih dari itu Allah menyatakan tidak adanya iman sehingga dalam dada mereka tidak ada lagi perasaan berat dengan keputusan hukum beliau. Allah tetap tidak menyatakan hal ini cukup untuk menandakan adanya iman, sehingga mereka menerimanya dengan sepenuh penerimaan dan ketundukan.” [A’lamul Muwaqi’in I/86].

Sebelumnya AHSI juga sudah mengutipkan perkataan Imam ath-Thabariy rohimahullah ta'ala berkata :“Yang dimaksud dengan kata “Fala” dalam ayat ini adalah ungkapan yang berfungsi sebagai bantahan atas pengakuan mereka bahwa mereka beriman dengan apa yang diturunkan kepadamu (Rasulullah), namun di waktu yang sama mereka juga berhukum kepada thaghut dan mereka menolak apabila diperintahkan untuk mengikutimu. “La Yu’minuna” maksudnya mereka tidak percaya kepada-Ku (Allah) dan kamu (Rasul-Nya). “Hatta Yuhakkimūka fī Ma Syajara Baynahum” maksudnya hingga mereka menjadikanmu (Rasul-Nya) sebagai hakim atas berbagai urusan yang membelit mereka....” (Tafsīr ath-Thabariy 8/518)

Dari Ibunda kaum mukminin, Ummu Abdillah Aisyah –semoga Allah meridhainya- beliau berkata: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam perkara kami ini yang tidak ada (perintahnya dari kami) maka tertolak (H.R alBukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim: Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka tertolak.

PENJELASAN :

Hadits ini adalah patokan lahiriah untuk menentukan sah atau tidaknya suatu amalan. Jika suatu amalan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, maka tertolak. Meski pelakunya mengamalkan dengan ikhlas hanya karena Allah.

PANDANGAN ULAMA MADZHAB TENTANG KUBURAN

Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu berkata :“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 970, Abu Daawud no. 3225, At-Tirmidziy no. 1052, An-Nasaa’iy no. 2027-2028 dan dalam Al-Kubraa 2/463 no. 2166, ‘Abdurrazzaaq 3/504 no. 6488, Ahmad 3/295, ‘Abd bin Humaid 2/161 no. 1073, Ibnu Maajah no. 1562, Ibnu Hibbaan no. 3163-3165, Al-Haakim 1/370, Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj ‘alaa Shahiih Muslim no. 2173-2174, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/410 & 4/4, Ath-Thayaalisiy 3/341 no. 1905, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 3/191 no. 2057 dan dalam Al-Ausath 6/121 no. 5983 & 8/207 8413, Abu Bakr Asy-Syaafi’iy dalam Al-Fawaaaid no. 860, Abu Bakr Al-‘Anbariy dalam Hadiits-nya no. 68, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/515-516 no. 2945-2946, dan yang lainnya.

Asal dari larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan keharaman sebagaimana telah dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh. Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu – nenek moyang para habaaib – adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat :

Dari Abul-Hayyaaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya].

Larangan membangun kubur ini kemudian diteruskan oleh para ulama madzhab.

Madzhab Syaafi’iyyah, maka Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut” [Al-Umm, 1/316 – via Syamilah].

An-Nawawiy rahimahullah ketika mengomentari riwayat ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu di atas berkata : “Pada hadits tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan kubur tidak terlalu ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah madzhab Asy-Syaafi’iy dan orang-orang yang sepakat dengan beliau” [Syarh An-Nawawiy ‘alaa Shahih Muslim, 3/36].

Di tempat lain ia berkata : “Nash-nash dari Asy-Syaafi’iy dan para shahabatnya telah sepakat tentang dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman hadits-haditsnya” [Al-Majmuu’, 5/316].

Adapun madzhab Hanafiyyah, berikut perkataan Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah :

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Haniifah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami seorang syaikh kami yang memarfu’kan riwayat sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau melarang untuk membangun dan mengapur/menyemen kubur. Muhammad (bin Al-Hasan) berkata : Dengannya kami berpendapat, dan ia juga merupakan pendapat Abu Haniifah” [Al-Aatsaar no. 257].

Juga Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah yang berkata : “Adapun membangun di atas kubur, maka aku tidak melihat ada ulama yang memilih pendapat membolehkannya. Dan dari Abu Haniifah : Dibenci membangun bangunan di atas kubur, baik berupa rumah, kubah, atau yang lainnya” [Raddul-Mukhtaar, 6/380 – via Syamilah].

Madzhab Maalikiyyah, maka Maalik bin Anas rahimahullah berkata : “Aku membenci mengapur/menyemen kubur dan bangunan yang ada di atasnya” [Al-Mudawwanah, 1/189].

Juga Al-Qurthubiy rahimahullah yang berkata : “Membangun masjid-masjid di atas kubur, shalat di atasnya, membangun bangunan di atasnya, dan yang lainnya termasuk larangan dari sunnah, tidak diperbolehkan” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 10-379].

Madzhab Hanaabilah, maka Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata : “Dan dibenci bangunan yang ada di atas kubur, mengkapurnya, dan menulis tulisan di atasnya, berdasarkan riwayat Muslim dalam Shahiih-nya : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya’. At-Tirmidziy menambahkan : ‘Dan menulis di atasnya’, dan ia berkata : ‘Hadits hasan shahih’. Karena itu semua merupakan perhiasan dunia yang tidak diperlukan oleh si mayit” [Al-Mughniy, 2/382].

Juga Al-Bahuutiy Al-Hanbaliy rahimahullah yang berkata : “Dan diharamkan menjadikan masjid di atas kubur, dan membangunnya berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah melaknat orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid-masjid’. Muttafaqun ‘alaih” [Kasysyaaful-Qinaa’, 3/774].

Juga Al-Mardawiy rahimahullah yang berkata : “Adapun bangunan di atas kubur, hukumnya makruh berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah), sama saja, apakah bangunan itu menempel tanah ataukah tidak. Pendapat itulah yang dipegang kebanyakan shahabat Ahmad. Dalam kitab Al-Furuu’ dinyatakan : Ahmad dan shahabat-shahabatnya memutlakkan (kemakruhan)-nya” [Al-Inshaaf, 2/549].

Madzhab Dhaahiriyyah, maka Ibnu Hazm rahimahullah berkata : “Permasalahan : Dan tidak dihalalkan kubur untuk dibangun, dikapur/disemen, dan ditambahi sesuatu pada tanahnya. Dan semuanya itu (bangunan, semenan, dan tanah tambahan) mesti dirobohkan” [Al-Muhallaa, 5/133].

Selasa, 21 Agustus 2012

PANDANGAN AHLUSSUNAH/SALAFY TENTANG KETAATAN PADA PEMERINTAH


Taat kepada pemimpin negara dan lainnya dari unsur kepemerintahan adalah wajib, asal tidak dalam bermaksiat kepada Allah تعالى. Hal ini berdasarkan firman Allah تعالى;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, dan taatlah kalian kepada Rasul, dan juga kepada ulil amri dari kalian.” (An-Nisa’: 59)

Juga berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم dalam hadits Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما yang diriwaytak oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim;

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ؛ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Mendegar dan taat itu wajib atas setiap muslim baik dalam perkara yang disukainya atau tidak disukainya, selama tidak diperintah melakukan maksiat. Jika diperintahkan melakukan maksiat maka tidak boleh mendengar tidak boleh taat.”

(Kita tetap wajib taat kepada pemerintah) Sama saja pemerintah itu baik; yaitu yang menunaikan perintah Allah تعالى dan meninggalkan larangan-Nya, atau pemerintah itu jahat; yaitu pelaku kejahatan dan kezhaliman. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam hadits ‘Auf bin Malik رضي الله عنه yang diriwayatkan oleh Imam Muslim;

أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ، وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Ingatlah, siapa yang dipimpin oleh suatu pemerintah, lalu dia melihat pemerintah tersebut melakukan suatu tindak kemaksiatan kepada Allah تعالى, maka hendaknya dia membenci tindak maksiatnya kepada Allah تعالى tersebut, dan jangan sampai dia keluar dari prinsip ketaatan kepada pemerintah.”

Sikap menentang dan memberontak kepada pemerintah adalah perbuatan yang diharamkan dalam syari’at islam. Hal ini berdasarkan isi hadits ‘Ubadah bin Shamit رضي الله عنه yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim;

بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Kami berbai’at kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم untuk mendengar dan taat, di saat kami suka, di saat kami tidak suka, di saat kesulitan, dan di saat kemudahan, dan untuk mendahulukan beliau atas diri-diri kami. Dan kami berbai’at untuk tidak menentang aturan dari pemerintah, kecuali kalian melihat pada diri pemerintah kekafiran yang nyata, dan kalian memiliki landasan dari Allah تعالى akan hal itu.”

Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda dalam hadits Ummu Salamah رضي الله عنها yang diriwayatkan oleh Imam Muslim;

إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا نُقَاتِلُهُمْ، قَالَ: لَا مَا صَلَّوْا لَا مَا صَلَّوْا

“Sesungguhnya akan ada bagi kalian pemerintah yang kalian lihat melakukan yang ma’ruf dan kalian lihat melakukan kemungkaran. Siapa yang membenci (kemungkarannya) maka dia telah terbebas (dari ancaman Allah تعالى), dan siapa yang mengingkari (kemungkarannya) maka dia telah selamat (dari ancaman Allah تعالى), dan siapa yang rela dan mengikuti (kemungkarannya maka dialah yang akan dimurkai Allah تعالى).” Para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah kami memerangi mereka?” Rasulullah bersabda: “Tidak!! Selama mereka masih menunaikan shalat. Tidak!! Selama mereka masih menunaikan shalat.”

Menginkari dan membenci di sini maksudnya dilakukan dengan kalbunya, bukan dengan tindakan yang anarkis dan menghujatnya sehingga runtuhlah kewibawaan pemerintah semisalnya. Dan maksud “Selama mereka masih menunaikan shalat” artinya sebagaimana dalam hadits sebelumnya: selama tidak terbukti adanya kekafiran yang nyata yang ada landasannya dari Allah تعالى.

Hadits terkahir ini mengisyaratkan juga, bahwa meninggalkan shalat adalah suatu bentuk kekafiran yang nyata, karena Nabi صلى الله عليه وسلم tidak membolehkan untuk menentang pemerintah kecuali adanya kekufuran yang nyata, dan beliau menjadikan hal yang menghalangi untuk memrangi pemerintah adalah penunaian shalat, maka hal ini menunjukkan bahwa meninggalkan penunaian shalat ini menjadi sebab bolehnya memerangi pemerintah.

Namun perlu diingat, secara garis besar memang demikian, kekafiran yang nyata yang dilakukan itu menjadi sebab bolehnya kaum muslimin untuk memerangi pemerintah. Namun apakah serta merta kaum muslimin keluar melakukakn perang begitu saja? Ternyata tidak, umat islam itu umat yang tengah-tengah, tidak lembek tidak pula serampangan. Para ulama masih tetap menjelaskan banyak kaidah dan aturan serta batasan terkait permasalahan yang sangat riskan ini. Tujuan ajaran islam adalah menciptakan kabaikan, ketenteraman, dan keamanan di muka bumi.

Keyakinan islam, keyakinan salafy atau ahlus sunnah pengikut Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah sebagaimana dijelaskan di atas. Dan selain itu ahlus sunnah berkeyakinan untuk tidak menentang pemerintah yang zhalim bukan karena tidak mungkin akan mendapatkan pemerintah yang lebih baik, namun mereka tidak menentang pemerintah karena bimbingan Rasul di atas, dan juga mereka tidak menentang pemrintah demi menjaga kelestarian kebaikan umat dan mencegah dari kerusakan yang besar. Karena sikap penentangan, pemberontakan dan penggulingan itu telah terbukti dalam sejarah umat islam kerusakannya lebih besar dari pada kebaikannya, kondisi sebelum penggulingan lebih baik dari pada setelah penggulingan. Baaik dalam hal keamanan, ekonomi, akhlaq – adab dan lainnya. Silahkan mencoba untuk kilas balik sejarah yang ada.

Oleh karenanya ulama salaf (generasi pendahulu) sepakat untuk tidak melakukan penentangan, pemberontakan, dan penggulingan terhadap pemerintah muslim meski mereka zhalim. Dan kebanyakan orang-orang yang melakukan penentangan, pemberontakan, dan penggulingan terhadap pemerintah muslim tidak mendapatkan pertolongan Allah تعالى. Entah ketika dalam usaha penggulingan entah setelah terjadi penggulingan. Kalaupun berhasil menggulingkan, tidaklah mereka mendapatkan pertolongan Allah تعالى setelah penggulingan itu. Justru yang ada adalah kerusakan dan kesengsaraan yang lebih parah dari sebelumnya.

Sehingga seperti perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله: “Tidaklah mereka menolong islam, tidak pula mereka memangkas kemungkaran.

Karena sebab yang paling banyak yang ada dalam usaha penggulingan adalah usaha seseorang untuk bisa duduk dalam kursi tersebut, lalu melakukan sesuatu yang tidak jauh beda dari yang dilakukan oleh orang yang dia gulingkan. Demikan penjelasan para ulama islam.

Kalau seandainya terbukti bahwa pemerintah telah melakukan kekafiran yang nyata, sehingga boleh untuk digulingkan. Namun ingat, para ulama tetap memberikan rambu dan batasan terkait hal itu. Dengan tujuan penjagaan kebaikan umat. Bagi yang ingin menggulingkan pemerintah yang kafir (ingat kafir bukan zhalim) harus memenuhi tiga syarat:

  1. Kekafirannya itu nyata terbukti berlandaskan dengan syari’at Allah تعالى dengan pemahaman yang haq, yaitu pemahaman salaf shalih bukan pemahaman khawarij teroris. Jadi tidak masuk dalam hal ini kalau kekafiran tersebut timbul karena adanya penta’wilan.
  2. Orang yang akan melakukan penggulingan memiliki kemampuan nyata untuk hal itu. Ingat kemampuan yang nyata wujudnya, baik berupa persenjataan ataupun dana. Jadi tidak cukup hanya dengan perkataan: “Kita akan didukung oleh ini oleh itu. Senjata akan dikirim oleh ini oleh itu.” Karena pemberontakan dan penggulingan itu artinya pertumpahan darah. Maka harus bisa membendung kerusakan yang lebih parah.
  3. Adanya ganti yang lebih baik dari yang sebelumnya. Artinya lebih shalih, lebih mengerti syari’at islam (hukum islam atapun politik islam), lebih adil. Dari kebanyakan aspek lebih baik dari yang sebelumnya secara tinjauan syari’at. Sehingga tidak akan terjadi mengganti sesuatu yang rusak dengan sesuatu yang sama rusaknya, atau lebih parah rusaknya. Atau mengganti yang zhalim dengan yang sama zhalimnya atau lebih parah kezhalimannya. Maka ini bentuk kerusakannya sama atau malah lebih parah.

Bagi ahlus sunnah, ketiga syarat ini sangat amat berat diwujudkan.

Pertama: Tidak mudah untuk mengkafirkan seseorang dengan dalil dan bukti.

Kedua: Ahlus sunnah sangat menjaga darah umat tidak rela darah satu muslimpun tertumpahkan. Dan juga dari mana akan mendapatkan senjata dan dana? Ahlus sunnah sibuk dengan ilmu, fatwa dan dakwah.

Ketiga: Tidak ada satu ulama pun dari ahlus sunnah yang siap mengemban amanah pimpinan negara. Mereka lebih cinta menjadi pemberi arahan kepada umat, dan juga kepada pemerintah dengan nasehat. Jika diterima alhmadulillah, jika tidak diterima maka amanah dari Allah تعالى sudah tersampaikan. Sehingga terlepas dari tanggung jawab di hadapan Allah تعالى nantinya.

Sebagai penutup.

Ahlus sunnah itu bersikap tengah-tengah, diantara dua kelompok yang sama-sama berat sebelah:

Kelompok Pertama: Kelompok yang sangat getol mencari kesalahan pemerintah, mengangkatnya ke permukaan untuk menjatuhkan wibawa pemerintah di hadapan rakyatnya, mengecap pemerintah zhalim, bahkan sebagian mereka menghukumi pemerintah itu kafir pemerintah thaghut. Sehingga membabi buta menghalalkan penggulingan pemerintah yang sah. Orang semacam ini adalah semisal orang-orang yang berpemikiran khawarij teroris, atau orang yang memiliki tendensi duniawi mengejar kursi kepemerintahan, atau orang yang belum tahu bagaimana syari’at ini memberikan bimbingan terkait ketaatan pada pemerintah.

Kelompok Kedua: Kelompok yang serba ikut dengan kemauan pemerintah tanpa memilah mana yang ma’ruf sesuai syari’at islam dan mana yang mungkar atau maksiat dalam kaca mata syari’at islam. Karena merasa kepentingan duniawinya itu akan terjaga dengan dalam sikapnya yang demikian terhadap pemerintah. Sehingga kelompok pertama akan mengatakan kelompok kedua ini adalah kelompok yang lembek atau semisalnya yang lebih para dari itu.

Adapun ahlus sunnah atau Salafy maka tidak seperti kelompok pertama, tidak pula seperti kelompok kedua. Maka mereka tidak mencari-cari kesalahan pemerintah, tidak pula menjatuhkan wibawanya, tidak pula mengkafirkan karena kezhaliman yang dilakukannya. Dan ahlus sunnah tidak pula serba ikut dengan semua kemauan. Ahlus sunnah akan taat kepada pemerintah ketika diperintah melakukan suatu perbuatan yang dibenarkan secara syari’at islam. Dan mereka tidak bisa taat ketika diperintah melakukan suatu perbuatan yang dihukumi syari’at islam sebagai kemaksiatan, kemungkaran dan keharaman.

Demikian hadits berikut ini memberikan bimbingan;

Dalam hadist ‘Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabd:

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ

“Tiada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah تعالى.”

Dalam riwayat Imam Bukhary dari hadits ‘Ali رضي الله عنه ada kisah:

بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يُطِيعُوهُ فَغَضِبَ عَلَيْهِمْ وَقَالَ أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُطِيعُونِي قَالُوا بَلَى قَالَ قَدْ عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ لَمَا جَمَعْتُمْ حَطَبًا وَأَوْقَدْتُمْ نَارًا ثُمَّ دَخَلْتُمْ فِيهَا فَجَمَعُوا حَطَبًا فَأَوْقَدُوا نَارًا فَلَمَّا هَمُّوا بِالدُّخُولِ فَقَامَ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ قَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّمَا تَبِعْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِرَارًا مِنْ النَّارِ أَفَنَدْخُلُهَا فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ خَمَدَتْ النَّارُ وَسَكَنَ غَضَبُهُ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَوْ دَخَلُوهَا مَا خَرَجُوا مِنْهَا أَبَدًا إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengutus sebuah pasukan, dan menjadikan salah seorang Anshar pemimpin bagi mereka. Beliau memerintahkan pasukan agar taat kepada pemimpin itu. (Suatu ketika) pemimpin pasukan tersebut marah kepada pasukannya, sembari berkata: “Tidakkah Nabi صلى الله عليه وسلم telah memerintahkan agar kalian taat kepadaku?” Mereka berkata: “Benar.” Dia berkata: “Sungguh aku telah bertekad agar kalian mengumpulkan kayu bakar lalu kalian nyalakan api padanya, kemudian kalian masuk ke dalam api itu.” Maka merekapun mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan apai padanya. Ketika mereka hendak masuk ke dalam api itu, sebagian mereka berdiri dan melihat kepada sebagian yang lain. Sebagian pasukan berkata: “Sesungguhnya kita mengikuti Nabi صلى الله عليه وسلم demi lari menghindari dari api (Neraka), apakah kita akan masuk kepadanya?” Ketika mereka dalam kondisi demikian padamlah api dan redalah kemarahan sang pemimpin. Lalu hal itu diceritakan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau bersabda: “Kalau seandainya mereka masuk pada api tersebut maka mereka tidak akan keluar darinya selamanya. Sesungguhnya ketaatan itu hanya pada perkara yang ma’ruf.”

Inilah prinsip aqidah salafy ahlus sunnah terkait ketaatan pada pemerintah. Adapun kalau diketemukan pada individu yang mengaku salafy kemudian ternyata jauh dari ketaatan pada pemerintah, maka celaan bukan pada aqidah ahlus sunnah tapi celaan hanya tertuju pada orang tersebut saja. Boleh orang mengaku salafy, tapi dia akan dituntut pembuktiannya dengan mengamalkan apa yang dituntunkan Allah تعالى dan Rasul-Nya صلى الله عليه ةسلم sesuai yang dituntunkan dengan pemahaman yang benar. Entah itu bertentangan dengan kemauan hawa nafsunya ataupun tidak.

Dinukil dari: Syarh Lum’ah Al-I’tiqad karya Asy-Syaikh Muhammad bin Al-‘Utsiamin (bagian akhir kitab)

Ditulis oleh: thalibmakbar

(Darul Hadits Ma’bar, Yaman)

HUKUM BERKUNJUNG KE KERABAT DI HARI RAYA


oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy

Bolehkah Mengkhususkan Mengunjungi Kerabat Saat Hari Raya?


Berikut ini kami tuliskan beberapa jawaban para ulama mengenai permasalahan ini:

Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badrالسائل : هنا عدة أسئلة عن زيارة الأقارب أحياء أو أمواتا يوم العيد Pertanyaan: Syaikh, ada beberapa pertanyaan yang datang terkait tentang hukum berkunjung ke rumah para kerabat, baik yang masih hidup atau pun sudah meninggal ketika hari Idul Fitri.Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr hafizhahullah menjawab:الشيخ : أما زيارة القبور في يوم العيد أو في يوم الجمعة أو تخصيص يوم معين فلا يجوز ذلك ، وأما زيارة الأقارب يوم العيد والذهاب إليهم و .. يعني الدعاء لهم فإن ذلك لا بأس به . أما تخصيص المقابر بالزيارة يوم العيد أو يوم الجمعة أو يوما معينا من الأيام بالذات ليس للإنسان أن يفعل ذلكZiarah kubur ketika hari ‘Id atau hari Jum’at atau mengkhususkan hari tertentu tidaklah diperbolehkan. Sedangkan mengunjungi para kerabat di hari ‘Id atau menempuh perjalanan untuk mengunjungi mereka atau.. mendoakan mereka, ini semua tidak mengapa. Adapun mengkhususkan kunjungan ke pemakaman-pemakaman di hari Ied atau hari Jum’at atau hari tertentu, tidak ada ulama yang melakukan hal ini.[Transkrip dari rekaman suara yang bisa di-unduh di http://www.islamup.com/download.php?id=55581]

Fatwa Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali

السؤال:وهذا من الجزائر يقول: ماحكم تخصيص زيارة الأقارب والأصدقاء في يوم العيد؟Pertanyaan: Ada pertanyaan dari Aljazair, penanya berkata: Apakah hukum mengkhususkan hari Ied untuk mengunjungi para kerabat dan teman-teman baik?Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah menjawab:الجواب:هذا عمل طيب؛والأقارب أولى من يجب وصلهم لأنهم ذوي قرابة فهم أولى من غيرهم تبدأ بهم ثم بعد ذلك بغيرهم وهذا هو المطلوب أن يبدأ الإنسان بذوي قرابته لأنهم آكدوا حقا عليه من غيرهم فحينئذ يبرهم ثم بعد ذلك إن وجد وقتا زار إخوانه وإن حصل ذلك فرحنا Ini perbuatan yang baik. Para kerabat adalah orang-orang yang paling wajib untuk dijalin tali silaturahimnya. Karena mereka adalah orang-orang yang memilikiqurabah (hubungan keluarga), sehingga mereka lebih layak dari yang lain untuk dijalin erat silaturahminya. Mulailah dari mereka, baru yang lain, inilah yang semestinya. Sebab lain, mereka juga memiliki hak yang lebih besar dari diri anda, dibandingkan yang lain. Maka, berbuat-baiklah kepada mereka, lalu jika ada waktu, kunjungilah mereka. Kalau memang bisa demikian, itu akan membuat kita gembira.ولو لم وإن لم يحصل فليس هو بالسنة في ذلك وإنما يكتفي الناس ولله الحمد بالتقائهم في المصلى وبالتقائهم أيضا في المساجد في الصلوات الخمس هذا يحصل ولله الحمد كافي لا يشترط أن تذهب إلى البيتAndaikan tidak bisa, tidak mengapa, perbuatan ini bukanlah hal yang disunnahkan. Cukup bagi anda menemui orang-orang ketika di lapangan tempat shalat ‘Id, wa lillahil hamd. Atau menemui mereka di masjid-masjid ketika shalat lima waktu, ini sudah cukup, wa lillahil hamd. Tidak disyaratkan harus mengunjungi rumah mereka.لكن أصبح من العادات وهنا العادات ليست منافية للشرع ولم يزعموا أنها عبادة وذلك لأنه يوم فرح وسرور فلا بأس بذلك كله والله أعلم وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسانPerbuatan ini memang sudah menjadi tradisi, namun ini adalah tradisi yang tidak dinafikan oleh syari’at dan orang-orang yang melakukannya pun tidak menganggap ini sebagai ibadah. Perbuatan ini sebatas karena hari ‘Id adalah hari bergembira dan bersenang-senang. Maka perbuatan-perbuatan demikian itu semua tidak mengapa, wallahu’alam. Wa shallallahu wa sallama wa baarik ‘ala ‘abdihi wa rasulihi nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa ash-habihi wa atba’ihi bi ihsaanin.[Transkrip dari rekaman suara yang bisa di dengarkan di http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=122458]

Fatwa Syaikh Abdullah Al Faqihهل من السنة زيارة الأقارب والأصدقاء وذلك لغرض المعايدة، وهل يعتبر ذلك تخصيصاً، لأننا سمعنا أن أحد العلماء يقول زيارة الأحياء في العيد كزيارة الأموات؟Pertanyaan: Apakah mengunjungi saudara dan teman-teman baik dalam rangka merayakan hari ‘Id termasuk perbuatan yang disunnahkan? Apakah ini termasuk pengkhususan hari tertentu yang terlarang? Karena kami dengar ada salah seorang ulama yang mengatakan bahwa mengunjungi orang yang masih hidup sama hukumnya sebagai mana mengunjungi orang mati (ziarah kubur).Syaikh Abdullah Al Faqih hafizhahullah menjawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:فزيارة الأقارب والأصدقاء والجيران في العيد مشروعة، جاء في الموسوعة الفقهية الكويتية:

Alhamdulillah Was Shalatu Was Salamu ‘ala Rasulillah Wa ‘ala Alihi Wa Shahbihi, Amma ba’du:Saling berkunjung antar kerabat, tetangga dan teman dekat pada hari ‘Id adalah perbuatan yang masyru’ (memiliki landasan dalil dalam syari’at). Sebagaimana tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah:التزاور مشروع في الإسلام، وقد ورد ما يدل على مشروعية الزيارة في العيد، فقد روي عن عائشة رضي الله عنها قالت: دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم وعندي جاريتان تغنيان بغناء بعاث، فاضطجع على الفراش وحول وجهه ودخل أبو بكر….. إلى آخر الحديث.، وموضع الشاهد فيه، وزاد في رواية هشام: يا أبا بكر إن لكل قوم عيداً وهذا عيدناً.، قال في الفتح: قوله وجاء أبو بكر: وفي رواية هشام بن عروة “دخل علي أبو بكر” وكأنه جاء زائراً لها بعد أن دخل النبي صلى الله عليه وسلم بيته.^^ انتهى.“Saling berkunjung (antar kerabat, tetangga dan teman dekat pada hari ‘Id) adalah perbuatan yang masyru’ dalam Islam. Terdapat riwayat yang menunjukkanmasyru’-nya hal tersebut, yaitu hadits yang diriwayatkan dari ‘AisyahRadhiallahu’anha, beliau berkata: ‘Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke rumah, ketika itu aku sedang bersama dua anak wanita yang bernyanyi dengan senandung bu’ats. Lalu beliau bersandar di tempat tidur dan wajahnya menoleh (pada dua anak wanita yang bernyanyi tadi). Kemudian datanglah Abu Bakar…‘ sampai akhir hadits. Sisi pendalilan dari hadits ini, terdapat tambahan riwayat dari Hisyam, bahwa Nabi bersabda: ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki Id sendiri, dan hari ini adalah Id kita‘. Dalam Fathul Baari di jelaskan mengenai tambahan riwayat yang berbunyi ‘Kemudian datanglah Abu Bakar‘: ‘Seolah-olah Abu Bakar datang untuk berkunjung kepada ‘Aisyah (anaknya), beberapa saat setelah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masuk’”. [sampai di sini nukilan dari Mausu'ah Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah]

ولا شك أن التزاور في العيد مما يقوي الصلة، ويزيل الشحناء ويقطع التدابر، ولذلك فهو عمل مسنون كان عليه السلف من الصحابة ومن بعدهم، وهو عمل المسلمين إلى يومنا هذا، ولا نعلم أن أحداً من العلماء شبه زيارة الأحياء بزيارة الأموات، ولم نفهم المراد من قولك (وهل يعتبر ذلك خصيصاً) وفي ما مضى كفاية.والله أعلم.Tidak ragu lagi bahwa saling berkunjung di hari Id, yang menyebabkan terjalinnya silaturahmi, berakhirnya sengketa, berakhirnya saling benci, maka ini adalah perkara yang dianjurkan dan dilakukan oleh para salaf dari kalangan sahabat dan yang setelah mereka. Ini pun merupakan kebiasaan kaum muslimin sampai hari ini. Saya tidak mengetahui ada seorang ulama yang menyamakan perbuatan ini dengan mengunjungi orang mati (ziarah kubur). Dan saya tidak paham maksud perkataan anda ‘Apakah ini termasuk pengkhususan hari tertentu yang terlarang‘. Namun saya kira, penjelasan tadi sudah mencukupi. Wallahu’alam.Sumber: http://www.islamweb.net/ahajj/index.php?page=ShowFatwa&lang=A&Id=43305&Option=FatwaId—Akhir kata, saling berkunjung ke rumah kerabat di hari Idul Fitri adalah hal yang dibolehkan, dengan alasan berikut:

  1. Kegiatan tersebut adalah kegiatan non-ibadah. Sedangkan kegiatan non-ibadah hukum asalnya adalah mubah.
  2. Salah satu makna عِيد (‘Id) secara bahasa adalah hari yang biasanya orang-orang saling berkumpul dan saling bertemu.والعِيدُ كلُّ يوم فيه جَمْعٌ، واشتقاقه من عاد يَعُود كأَنهم عادوا إِليه؛ وقيل: اشتقاقه من العادة لأَنهم اعتادوه” ‘Id juga berarti hari yang biasanya orang-orang saling berkumpul. ‘Id berasal dari kata عاد يَعُود (mengulang) karena mereka secara rutin melakukannya (kumpul-kumpul). Sebagian ahli bahasa berpendapat, asal katanya dari العادة (kebiasaan) karena mereka biasa melakukan hal tersebut” (Lisaanul ‘Arab)
  3. Syariat menetapkan bahwa ‘Idul Fitri dan Idul Adha adalah hari bergembira ria. Sebagaimana diceritakan oleh Anas bin Malik Radhiallahu’anhu:قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال ما هذان اليومان قالوا كنا نلعب فيهما في الجاهلية فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الأضحى ويوم الفطر“Di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam baru hijrah ke Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya yang biasanya di hari itu mereka bersenang-senang. Rasulullah bertanya: ‘Perayaan apakah yang dirayakan dalam dua hari ini?’. Warga madinah menjawab: ‘Pada dua hari raya ini, dahulu di masa Jahiliyyah kami biasa merayakannya dengan bersenang-senang’. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Sungguh Allah telah mengganti hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan ‘Idul Fithri’ ” (HR. Abu Daud, 1134, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud, 1134)Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman:للصائم فرحتان : فرحة عند فطره ، وفرحة عند لقاء ربه“Orang yang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan. Kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu Rabb-Nya kelak” (Muttafaqun ‘alaih)Dan cara bergembira di hari itu tidak ditentukan oleh syariat sehingga kembali kepada ‘urf (kebiasaan) setempat. Mengunjungi kerabat adalah bentuk bersenang-senang dan bergembira karena tentunya bertemu dengan keluarga dan kerabat menimbulkan rasa sayang dan kegembiraan.
  4. Perbuatan ini memiliki dasar dari syari’at dan diamalkan oleh salaf, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah
  5. Memang sebagian ulama menganggap hal ini termasuk bid’ah, sebagaimana pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albanirahimahullah (silakan baca di: http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=20509). Menurut beliau, mengkhususkan hari untuk saling berkunjung kepada sesama orang yang hidup hukumnya sama seperti mengkhususkan hari untuk berkunjung ke orang mati (ziarah kubur). Sedangkan mengkhususkan hari untuk ziarah kubur adalah bid’ah. Namun pendapat ini nampaknya kurang tepat jika kita menimbang alasan-alasan di atas. Yang jelas, permasalahan ini termasuk ranah ijtihadiyyah yang semestinya kita bisa toleran terhadap pendapat yang ada dari para ulama. Wallahu’alam.

Penyusun: Yulian PurnamaArtikel www.muslim.or.id

Kesimpulan AHSI

Jika berkunjung ke kerabat saat 'Id sebagai suatu kebiasaan dan menganggapnya muamalah, bukan ibadah, maka boleh, akan tetapi menganggapnya suatu 'ibadah, maka ia butuh dalil lagi . wallallahu 'alam

Sukpandiar idris advokat assalafy.blogspot.com

KEUTAMAAN SHAUM 6 HARI DI BULAN SYAWAL


Abu Ayyub Al-Anshari ra meriwayatkan, Nabi Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : "Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun . (HR. Muslim).
Imam Ahmad dan An-Nasa'i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Puasa Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun penuh." ( Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam "Shahih" mereka.)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu'anhu, Nabi Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa berpuasa Ramadham lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun. " (HR. Al-Bazzar) (Al Mundziri berkata: "Salah satu sanad yang beliau miliki adalah shahih.")

Dalam pengertiannya bahwa setiap hasanah (kebaikan) diganjar sepuluh kali lipatnya, sebagaimana telah disinggung dalam hadits Tsauban di muka. Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat, di antaranya :
1. Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.

2. Puasa Syawal dan Sya'ban bagaikan shalat sunnah rawatib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi Sallallahu 'Alaihi wa Sallam di berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidak sempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.

3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah Ta'ala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan: "Pahala'amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya." Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.

4. Puasa Ramadhan sebagaimana disebutkan di muka dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lain. Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari Raya 'ldul Fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa. Oleh karena itu termasuk sebagian ungkapan rasa syukur seorang hamba atas pertolongan dan ampunan yang telah dianugerahkan kepadanya adalah dengan berpuasa setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah menggantinya dengan perbuatan maksiat maka ia termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali. Allah Ta'ala berfirman: "Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali "(An-Nahl: 92)

5. Dan di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup. Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fi sabilillah lantas kembali lagi.Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan sebab mereka merasa berat, jenuh dan lama berpuasa Ramadhan.

Barangsiapa merasa demikian maka sulit baginya untuk bersegera kembali melaksanakan puasa, padahal orang yang bersegera kembali melaksanakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah puasa, ia tidak merasa bosam dan berat apalagi benci.

Seorang Ulama salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya pada bulan Ramadhan tetapi jika Ramadhan berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar: "Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah secara benar kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang shalih adalah yang beribadah dengan sungguh-sunggguh di sepanjang tahun."

Oleh karena itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat proses pembebasan dirinya dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal, dengan demikian ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal. Ketahuilah, amal perbuatan seorang mukmin itu tidak ada batasnya hingga maut menjemputnya.
Allah Ta'ala berfirman : "Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) " (Al-Hijr: 99)

Dan perlu diingat pula bahwa shalat-shalat dan puasa sunnah serta sedekah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala pada bulan Ramadhan adalah disyari'atkan sepanjang tahun, karena hal itu mengandung berbagai macam manfaat, di antaranya; ia sebagai pelengkap dari kekurangan yang terdapat pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba-Nya, sebab terkabulnya doa, demikian pula sebagai sebab dihapusnya dosa dan dilipatgandakannya pahala kebaikan dan ditinggikannya kedudukan. wallohu alam

Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan, shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu ke haribaan Nabi, segenap keluarga dan sahabatnya.

keluarga muslim

Selasa, 07 Agustus 2012

APAKAH ANDA TIDAK TAKUT BERBUAT BID'AH

Bismillah...

Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah Ta’ala menyatakan bahwa ajaran Islam sudah sempurna, tidak butuh penambahan. Membuat amalan-amalan ibadah baru sama saja dengan memberikan ‘catatan kaki’ pada firman Allah Ta’ala:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3)

Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah Ta’ala mengancam orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya dan sunnah Nabi-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Allah itu takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur: 63)

Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah memerintahkan hamba-Nya untuk mengikuti tuntunan Rasul-Nya. Allah Ta’ala pun mengancam orang yang menyelisihi tuntunan Rasul-Nya dengan siksaan yang keras. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang datang dari Rasulullah, maka ambilah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (QS. Al Hasyr: 7)

Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah mengancam neraka bagi hamba-Nya yang mengambil cara beragama bukan dari Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An Nisa: 115)

Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah mencela orang yang membuat-buat syari’at baru yang dalam agama dan menyebut orang-orang yang mengajarkan syari’at baru, lalu ditaati, sebagai sesembahan selain Allah. Sebagaimana perbuatan orang-orang musyrik. Allah Ta’ala berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan ajaran agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih” (QS. Asy Syura: 21)

Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah telah mencap sesat orang-orang yang ketika tuntunan Islam sudah ada, mereka malah mempunyai pilihan lain. Bisa jadi pilihan lain ini datang dari ustadz-nya, kiai-nya, syaikh-nya, dari akalnya, atau dari yang lain. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, mereka memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. Al Ahzab: 36)

Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah mengabarkan ada sebagian hamba-Nya yang berbuat kesesatan namun mereka merasa itu amalan kebaikan. Dan demikianlah bid’ah, tidak ada satupun pelaku bid’ah kecuali ia merasa amalan bid’ahnya itu adalah kebaikan. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al Kahfi: 103-104)

Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak” (Muttafaq ‘alaihi)

Sahabat Nabi, Abdullah bin Umar Radhiallahu’anhu berkata:
كُلَّ بٍدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَة
“Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik” (Shahih, sebagaimana penilaian Al Albani dalam takhrij kitab Ishlaahul Masajid hal 13 milik Syaikh Jamaluddin Al Qashimi)

Dari artikel Apakah Anda Tidak Takut Berbuat Bid’ah? — Muslim.Or.Id