Selasa, 31 Mei 2011

PANDANGAN PARA IMAM TENTANG HUKUM/PENDAPATNYA

Para imam banyak menulis kitab untuk menuangkan pendapatnya tentang berbagai hal. Dalam perkembangannya pendapat-pendapat tersebut membentuk berbagai madzhab, diantaranya adalah 4 (empat) madzhab yang terkenal di Indonesia.

Sayang, banyak yang kemudian terjerumus pada sikap fanatik madzhab, seakan-akan pendapat imam adalah sebuah aksioma agama yang tidak bisa diutak-atik. Sementara para imam tidak pernah menyarankan sikap demikian. Justru para imam tersebut memberikan contoh yang sebaliknya, agar umat Islam selalu mengembalikan pendapat pada petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berikut perkataan (qaul) mereka.

Abu Hanifah rahimahullah
Qaul 1: “Apabila aku mengeluarkan suatu pendapat yang bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, maka tinggalkanlah pendapatku itu.”1

Perkataan ini diulas oleh as-Syuhnah dalam kitabnya Syarh al-Hidayah; “Apabila suatu hadits shahih bertentangan dengan madzhab, maka hadits itulah yang mesti diamalkan. Demikian inilah pendapat madzhab Abu Hanifah, jadi para pengikut madzhab tidaklah dikatakan keluar dari garis pengikut Hanafi disebabkan mengamalkan hadits tersebut.”

Qaul 2: “Apabila hadits itu shahih, itulah madzhabku.”2

Malik bin Anas rahimahullah
Qaul 1: “Aku hanyalah manusia biasa yang pendapatku bisa benar dan bisa salah. Karena itu telitilah pendapat yang aku kemukakan. Semua pendapat yang selaras dengan al-Qur'an dan as-Sunnah ambillah, jika tidak selaras tinggalkanlah.”3

Qaul 2: “Semua perkataan manusia sama, bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.”4

Al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah
Qaul 1: “Suatu sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mungkin sampai pada seseorang atau tidak. Jadi kalau aku pernah berpendapat atau merumuskan suatu prinsip ternyata ada hadits yang sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan sebaliknya, maka pendapat yang betul adalah yang Nabi katakan dan aku pun berpendapat dengannya.”5

Qaul 2: “Setiap hadits yang sah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan menjadi pendapatku walaupun sebelumnya kamu tidak pernah mendengarnya dariku.”6

Qaul 3: “Apabila kamu mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka berpeganglah kepada hadits tersebut dan tinggalkan pendapatku (atau tulisanku).”7

Qaul 4: “Pertama, suatu berita yang berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diterima. Kedua, berita atau hadits tersebut wajib diterima jika telah terbukti sah, walaupun para imam belum ada yang mengamalkan atau mengajarkannya. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat seorang imam harus ditinggalkan jika bertentangan dengan hadits Nabi, diganti dengan petunjuk yang berasal dari hadits Nabi. Disamping itu, hadits yang diyakini sah dari Nabi adalah sebuah kepastian yang tidak perlu dikonfirmasikan dengan pendapat seseorang.”8

Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Qaul 1: “Seluruh perkataan bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.”99

Qaul 2: “Pendapat al-Auza'i, Malik, dan Abu Hanifah, semuanya hanyalah pendapat. Aku pandang sama di sisiku, yang mesti jadi rujukan (mutlak) hanyalah sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.”10

Jangan-jangan Kita yang Lancang

Berkata Syaikh al-Albani rahimahullah tentang perkataan para imam tersebut; “Kenyataan tersebut menggambarkan ketinggian ilmu dan ketakwaan para imam tersebut. Melalui perkataan tersebut, mereka menegaskan bahwa dirinya tidaklah menguasai sunnah secara keseluruhan. Kadangkala didapati (pada imam madzhab) beberapa perkara yang menyelisihi sunnah, karena riwayat tentangnya (tentang perkara tersebut) tidak sampai kepadanya. Apabila mengetahui sunnah tersebut, tentu mereka akan memerintahkan kita agar berpegang teguh dengannya dan menjadikannya sebagai madzhab mereka. Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka, semuanya.”11

Tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa seseorang harus berpegang dengan qaul salah seorang imam yang empat secara mutlak. Bahkan mencampuradukkan pendapat satu imam dengan imam yang lain tidak boleh. Pendek kata seorang muslim, menurut kelompok ini, harus setia sampai mati dengan qaul seorang imam.

Sikap macam apakah ini? Tak lebih sebagai sikap ta'ashub yang berlebihan. Bahkan kalau ditimbang dengan qaul para imam tersebut diatas merupakan bentuk kelancangan terhadap nasihat imam yang, katanya, mereka hormati dan muliakan tersebut. Sebenarnya bukan hormat dan memuliakan, justru dalam kenyataannya bersikap sok tahu dan menyalahkan petunjuk para imam. Bukankah para imam berpesan agar tidak mendewakan pendapatnya? Mereka selalu memerintahkan agar mengembalikan segala pendapat kepada petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lantas?!

Catatan kaki:

^ Riwayat Shalih al-Fulani dalam Iqaz al-Himam, hal. 50.
^ Riwayat Ibn ‘Abd al-Barr dari al-Imam Abu Hanifah. Shifatu Shalatin-Nabi, hal. viii.
^ Riwayat Ibn ‘Abd al-Barr dalam Jami' Bayan al-Ilm, jilid. 2, hal. 32.
^ Jami' Bayan al-Ilm, jilid. 2, hal. 91.
^ Riwayat Ibn ‘Asakir di dalam Tarikh Dimashq, 15/1/3. al-Imam Ibn ‘Asakir lahir pada 499 H/1106 M di Dahalyik. Seorang ahli sejarah dan ahli hadits yang terkemuka di kalangan madzhab asy-Syafi‘i pada abad ke 5 H. Nama aslinya Abu al-Qasim ‘Ali bin al-Hassan, wafat pada 571 H/1176 M.
^ Riwayat Ibn Abi Hatim di dalam al-Adab, hal. 93-94.
^ Riwayat al-Khatib al-Baghdadi di dalam al-Ihtijaj bi asy-Syafi‘i, jilid. 8, hal. 2 dan al-Nawawi dalam al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, jilid. 1, hal. 63. Al-Imam an-Nawawi adalah seorang imam mujtahid yang masyhur bagi madzhab asy-Syafi‘i. Nama aslinya Abu Zakaria Yahya bin Syaraf lahir di Syiria pada 631 H/1233 M. Diantara karangan Beliau ialah kitab fiqh madzhab asy-Syafi‘i berjudul al-Majmu' Syarh al- Muhadzdzab dan Syarh Shahih Muslim. Wafat pada 676 H/1277 M.
^ Ar-Risalah, al-Imam asy-Syafi'i. 423/3.
^ Abu Dawud dalam Masa'il al-Imam Ahmad, hal. 276. Al-Imam Abu Dawud ialah Sulaiman bin al-Asy'ath as-Sijistan, lahir pada 202H/818M, sempat berguru kepada Ahmad bin Hanbal bersama al-Bukhari dan Muslim. Kitabnya yang terkenal ialah Sunan Abu Dawud, terdiri dari 4800 buah hadits. Selain itu Beliau juga mengarang belasan kitab lain sebelum meninggal dunia pada 275 H/889 M di Basrah, Irak.
^ Jami' Bayan al-Ilm, jilid. 2, hal. 149.
^ Shifatu Shalatin-Nabi, hal. viii.

barokallohu fikum....

TAWASSUL

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menghamba mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya.Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS. 39:3)

"Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu mendengar, dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka itu berpaling membelakang. (QS. 30:52)".

Tawassul yang disyariatkan :

1. Tawassul kepada Allàh dengn nama-nama dan sifat-sifatnya.
Dasarnya adalah firman Allàh , 'Hanya milik Allàh asma' al-husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma' al-husna itu.' (Qs.al A'raf:180)

2. Memuji Allàh dan membaca sholawat kepada Nabi di permulaan doa.
Dasarnya adalah hadits dari Fadhalah bin Ubaid, dari Nabi, beliau mendengar seseorang memohon dalam doanya, maka beliau bersabda:
'Orang ini tergesa-gesa.' Lalu memanggilnya dan mengatakan kepadanya:
'Jika salah seorang dari kalian berdoa, maka awalilah dengan memuji kepada Allàh serta bersholawatlah kepada Nabi selanjutnya berdoalah sesukanya.'

3. Bertawassul dengan doa orang-orang sholih dengan harapan doa mereka dikabulkan oleh Allàh. Caranya memohon seorang muslim yg MASIH HIDUP agar mendoakan untuknya.
Dasarnya adalah ucapan anak-anak Ya'qub kepada ayahnya :
'Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah.' (Qs.Yusuf:97).

Demikian pula kisah seorang badui yang datang kepada Nabi agar memohon kepada Allàh supaya menurunkan hujan, lalu Rasulullàh berdoa kepada Allàh.

Demikian pula Umar dan para sahabatnya meminta kepada al-Abbas agar memintakan hujan untuk mereka, yakni berdoa kepada Allàh agar menurunkan hujan kepada mereka.

(sumber Tahdzib Tashil al Aqidah al Islamiyyah hal 185-187 )