Minggu, 09 September 2012

PERBEDAAN ANTARA WALI ALLAH TA'ALA DAN WALI SYETAN



Alloh subhanahu wa Ta'ala berfirman :
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
" ketahuilah sesungguhnya wali-wali Alloh tidak ada rasa takut pada mereka dan tidaklah mereka bersedih, adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa."(QS.Yunus: 62-63).

Dalam gambaran mayoritas orang bahkan umat islam, wali Alloh adalah setiap orang yang bisa mengeluarkan keanehan. Fakta ini menggambarkan betapa jauhnya persepsi saudara kita kaum muslimin dari pemahaman yang benar tentang hakikat wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.Tulisan ini akan membahas singkat hakikat wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dan juga menjelaskan bahwa di samping wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala ada wali syethan.

Definisi Wali dari segi bahasa berasal dari kata ‘al-wilayah’ yang artinya adalah ‘kekuasaan’ dan ‘daerah’ sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Sikkit rahimahullahu. Atau terambil dari kata ‘al-walayah’ yang berarti pertolongan.

Menurut syariat, wali (wilayah, walayah) artinya kedudukan yang tinggi di dalam agama yang tidak akan dicapai kecuali oleh orang-orang yang melaksanakan tuntunan agama baik secara lahir maupun batin.

Dari sini, wilayah (kewalian) memiliki dua sisi pandang:

Pertama, sisi yang terkait dengan hamba yaitu melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan kemudian secara bertahap dia meningkatkan ubudiyahnya kepada Alloh Ta'ala dengan amalan-amalan sunnah.
Kedua, sisi yang terkait dengan Alloh Ta'ala, yaitu Alloh Ta'ala akan mencintai dia, menolongnya, dan mengokohkannya di atas sikap istiqomah. (Madkhol Syarh Ushul I’tiqad, 9/7)

Siapakah Wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala ?


Ibnu Katsir rohimahullohu mengatakan:“Wali-wali-Nya adalah mereka yang beriman dan bertakwa sebagaimana telah dijelaskan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala tentang mereka sehingga setiap orang yang bertakwa adalah waliNya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/422).


Al-Baidhowi rohimahullohu berkata: “Wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala adalah orang-orang yang mewujudkan ketaatan kepada Alloh Ta'ala dan orang-orang yang diberikan segala bentuk karomah.” (Tafsir Al-Baidhowi, hal. 282)


Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahullohu mengatakan :“Wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dengan berbagai amalan yang bisa mendekatkan diri kepadaNya.” (Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam, hal. 262)


Ibnu Abil ‘Izzi rohimahullohu berkata:“Wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala adalah orang yang selalu melaksanakan segala yang dicintai Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dan selalu mendekatkan diri kepadaNya dengan segala perkara yang diridhoiNya.” (Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyyah, hal. 360)


Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahullohu mengatakan:“Wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala adalah orang yang berilmu tentang Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dan dia terus-menerus di atas ketaatan kepadaNya dengan mengikhlaskan peribadatan.” (Fathul Bari, 11/342)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahullohu berkata “Wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala adalah orang yang beriman dan bertakwa.” Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Mereka adalah orang-orang yang beriman dan ber-wala’ (loyal) kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka mencintai apa-apa yang dicintaiNya, membenci apa-apa yang dibenciNya, ridho terhadap apa-apa yang diridhoiNya, murka terhadap apa-apa yang dimurkaiNya, memerintahkan kepada apa-apa yang diperintahkanNya, mencegah apa-apa yang dicegahNya, memberi kepada orang yang Dia cinta untuk diberi, dan tidak memberi kepada siapa yang Dia larang untuk diberi.” (Al-Furqon dalam kitab Majmu’atut Tauhid, hal. 329)

Al-Hafidz Ibnu Ahmad Al-Hakami rohimahullohu mengata“Wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala adalah setiap orang yang beriman kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, bertakwa kepadaNya dan mengikuti Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam.” (A’lamus Sunnah Al-Manshuroh, hal. 192)

Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rohimahullohu berkata :“Wali Alloh adalah orang-orang yang telah dijelaskan dalam perkataanNya

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
" ketahuilah sesungguhnya wali-wali Alloh tidak ada rasa takut pada mereka dan tidaklah mereka bersedih, adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa."(QS.Yunus: 62-63).
” Kemudian beliau menukilkan ucapan Ibnu Taimiyyah rohimahullohu:
“Barang siapa yang beriman dan bertakwa maka dia adalah wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.” (Syarah Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah hal. 626).

Dari beberapa ucapan ulama di atas, sangat jelas bagi kita siapa yang dimaksud dengan wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Semua ucapan ulama tersebut tidak saling bertentangan walaupun ungkapannya berbeda-beda. Semua pendapat mereka bermuara pada perkataan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala:

“ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Alloh itu tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak pula mereka bersedih . adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa.” (QS.Yunus: 62-63) (Al-Furqon dalam kitab Majmu’atut Tauhid hal. 339).

Siapakah Wali Syethan ?


Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rohimahullohu berkata: “Wali setan adalah orang-orang yang menyelisihi Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dan orang-orang yang tidak mematuhi anjuran Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka adalah ahli bid’ah, berdoa kepada selain Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, mengingkari ke Maha Tinggian Alloh Subhanahu Wa Ta’ala di atas ‘ArsyNya, memukul tubuh mereka dengan besi, memakan api dan (perbuatan) lainnya dari amalan-amalan orang Majusi dan syaithon.”(Al-‘Aqidah Al-Islamiyah, hal. 36).


Alloh Subhanahu Wa Ta’ala telah menjelaskan dalam Al Qur’an dalam banyak ayat tentang ciri-ciri dan sifat mereka serta apa yang diperbuat oleh tentara-tentaranya.


Dalil-dalil Adanya Wali Syethan


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahullohu membawakan dalil yang banyak tentang keberadaan wali Syaithon di dalam kitab beliau Al-Furqon Baina Auliya Ar-Rohman wa Auliya Asy-Syaithon, sebagaimana beliau juga membawakan dalil tentang wali Alloh, ciri-ciri mereka, dan karomah yang Alloh Ta'ala berikan kepada mereka.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ ۖ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Alloh dan orang-orang kafir berperang di jalan thoghut, karena itu perangilah wali-wali setan karena sesungguhnya tipu daya syaithon itu lemah.” (QS.An-Nisa: 76).

Dan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berkata :


وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا
“Barangsiapa menjadikan syaithon sebagai wali (pelindung) selain Alloh, maka ia menderita kerugian yang nyata.” (QS.An-Nisa: 119).

Dan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berkata :


إِنَّمَا ذَ‌ٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya mereka tidak lain adalah setan yang menakut-nakuti wali-walinya (kawan-kawannya), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (QS.Ali ‘Imron: 175)

إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaithon-syaithon itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS.Al-A’rof: 27).

Masih banyak lagi nash yang menjelaskan keberadaan wali syaithon di tengah-tengah orang yang beriman.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahullohu berkata:

“Barangsiapa yang mengaku cinta kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dan berwala’ kepadaNya namun dia tidak mengikuti Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam maka dia bukan wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Bahkan barangsiapa yang menyelisihi Rosululloh maka dia adalah musuh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dan wali syaithon.”
Kemudian beliau berkata:
“Walaupun kebanyakan orang menyangka mereka atau selain mereka adalah wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. (Namun) mereka bukanlah wali Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.” (Al-Furqon dalam kitab Majmu’atut Tauhid, hal. 331).wallohu 'alam bis showab.

Sumber : Anshor Tauhid

Sabtu, 08 September 2012

WALI ALLAH


Oleh: Abu Isma’il Muhammad Abduh Tuasikal

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang berjudul Al Furqon Baina Auliya’ir Rohman wa Auliya’us Syaithon hlm. 34 mengatakan: “Wali Allah hanyalah orang yang beriman kepada Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam, beriman dengan apa yang dibawanya, dan mengikuti secara lahir dan batin. Barangsiapa yang mengaku mencintai Allah dan wali-Nya, namun tidak mengikuti beliau maka tidak termasuk wali Allah bahkan jika dia menyelisihinya maka termasuk musuh Allah dan wali setan. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’.” (Ali Imron: 31)

Hasan Al Bashri berkata: “Suatu kaum mengklaim mencintai Allah, lantas Allah turunkan ayat ini sebagai ujian bagi mereka”.

Allah sungguh telah menjelaskan dalam ayat tersebut, barangsiapa yang mengikuti Rasulullah ShollAllahu ‘alaihi wa sallam maka Allah akan mencintainya. Namun siapa yang mengklaim mencintai-Nya tapi tidak mengikuti beliau ShallAllahu ‘alaihi wa sallam maka tidak termasuk wali Allah. Walaupun banyak orang menyangka dirinya atau selainnya sebagai wali Allah, tetapi kenyataannya mereka bukan wali-Nya.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa cakupan definisi wali ini begitu luas, mencakup setiap orang yang memiliki keimanan dan ketaqwaan. Maka wali Allah yang paling utama adalah para nabi. Para nabi yang paling utama adalah para rasul.

Para Rasul yang paling utama adalah ‘ulul azmi. Sedang ‘ulul azmi yang paling utama adalah Nabi kita Muhammad ShallAllahu ‘alaihi wa sallam.

Maka sangat salah suatu pemahaman yang berkembang di masyarakat kita saat ini, bahwa wali itu hanya monopoli orang-orang tertentu, semisal ulama, kyai, apalagi hanya terbatas pada orang yang memiliki ilmu yang aneh-aneh dan sampai pada orang yang meninggalkan kewajiban syari’at yang dibebankan padanya. Wallahu a’lam.

(Disarikan dari Majalah Al Furqon Ed.1/Th.III dengan sedikit tambahan)

***

Artikel www.muslim.or.id

Selasa, 04 September 2012

HADIST-HADIST PALSU TENTANG KEUTAMAAN MENZIARAHI KUBURAN NABI SALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM


Oleh: Ustadz Abdullah Taslim. MA


عن عبد الله بن عمر، عن النبي قال: ((مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ وَفَاتِي كَانَ كَمَنْ زَارَنِي فِي حَيَاتِي))

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Barangsiapa yang berhaji lalu menziarahi kuburanku setelah aku wafat maka dia seperti orang yang mengunjungiku sewaktu aku masih hidup”.

Hadits ini dikeluarkan oleh imam ath-Thabarani[1], Ibnu ‘Adi[2], ad-Daraquthni[3], al-Baihaqi[4] dan al-Fakihani[5] dengan sanad mereka dari Hafsh bin Sulaiman Ibnu Abi Dawud, dari al-Laits bin Abi sulaim, dari Mujahid, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits ini adalah hadits palsu, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Hafsh bin Sulaiman Ibnu Abi Dawud al-Asadi, imam Ahmad, Abu Hatim, al-Bukhari, Muslim dan an-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia ditinggalkan riwayat haditsnya (karena sangat lemah)”[6]. Imam Yahya bin Ma’in berkata: “Dia adalah seorang pendusta”. Bahkan Ibnu Khirasy berkata: “Dia adalah pendusta, ditinggalkan (riwayat haditsnya) dan pemalsu hadits”[7].

Dalam sanadnya juga ada perawi yang bernama al-Laits bin Abi Sulaim, Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentangnya: “Dia adalah orang yang angat jujur, tetapi hafalannya tercampur dan tidak bisa dibedakan (yang benar dan salah) sehingga (riwayat) haditsnya ditinggalkan”[8].

Hadits ini juga diriwayatkan dari jalur lain, akan tetapi dalam sanadnya juga terdapat perawi yang dihukumi sebagai pendusta oleh para ulama ahli hadits[9].

Hadits ini diisyaratkan kelemahannya yang sangat fatal oleh imam Ibnu ‘Adi[10] dan Ibnu ‘Abdil Hadi[11].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Hadits ini kedustaannya sangat jelas dan (maknanya) bertentangan dengan (ajaran) agama Islam”[12].

Juga dihukumi sebagai hadits palsu oleh Syaikh al-Albani rahimahullah[13].

Ada hadits lain yang semakna dengan hadits di atas:

عن ابن عمر قال: قال رسول الله: ((مَنْ حَجَّ الْبَيْتِ فَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي)).

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang berhaji ke baitullah lalu tidak menziarahi (kuburanku) maka sungguh dia telah bersikap kasar terhadapku”.

Hadits ini dikeluarkan oleh imam Ibnu ‘Adi, Ibnu Hibban dan Ibnul Jauzi dengan sanad mereka dari Ibnu ‘Umar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits ini juga hadits yang palsu, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama an-Nu’man bin Syibl al-Bahili al-Bashri, imam Musa bin Harun berkata tentangnya: “Dia adalah seorang yang tertuduh (berdusta dalam meriwayatkan hadits)”[14]. Imam Ibnu Hibban berkata: “Dia meriwayatkan dari perawi-perawi terpercaya malapetaka besar (hadits-hadits dusta dan palsu) dan dari perawi-perawi yang kuat hafalannya hadits-hadits yang terbalik”[15].

Hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh imam Ibnu Hibban[16], Ibnul Jauzi[17], adz-Dzahabi[18], asy-Syaukani[19] dan Syaikh al-Albani[20].

Demikian pula hadits-hadits lain tentang keutamaan/anjuran menziarahi kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya adalah hadits yang sangat lemah atau palsu, maka sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi dan landasan dalam beramal[21].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya hadits-hadits (tentang keutamaan) menziarahi kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semuanya (sangat) lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dalam agama Islam, oleh karena itu, hadits-hadits tersebut tidak satupun diriwayatkan oleh (para imam) pemilik kitab-kitab (hadits) shahih dan sunan, yang meriwayatkannya adalah (para imam) yang meriwayatkan hadits-hadits yang (sangat) lemah (dalam kitab-kitab mereka), seperti ad-Daraquthni, al-Bazzar dan lain-lain”[22].

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya banyak hadits-hadits lain (selain hadits di atas) tentang (keutamaan/anjuran) menziarahi kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya dibawakan oleh as-Subki dalam kitabnya “asy-Syifaa’”, tapi seluruhnya adalah hadits yang sangat parah kelemahannya, bahkan sebagiannya lebih parah dari yang lainnya…Imam Ibnu ‘Abdil Hadi telah menjelaskan kelemahan semua hadits-hadits tersebut dalam kitab beliau “ash-Shaarimul manki” dengan penjelasan yang detail dan teliti yang tidak terdapat dalam kitab-kitab lain”[23].


وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 5 Jumadal akhir 1432 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni


==================================================

[1] Dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 13497) dan “al-Mu’jamul ausath” (no. 3376).

[2] Dalam “al-Kamil fi dhu’afaa-ir rijaal” (2/382).

[3] Dalam “Sunan ad-Daraquthni” (2/278).

[4] Dalam “As-Sunanul kubra” (no. 10054) dan “Syu’abul iimaan” (no. 4154).

[5] Dalam “Akhbaaru Makkah” (no. 901).

[6] Semuanya dinukil oleh Ibnu Hajar dalam “Tahdziibut tahdziib” (2/345).

[7] Ibid.

[8] Kitab “Taqriibut tahdziib” (Hal. 464).

[9] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (1/121-122).

[10] Dalam “al-Kamil fi dhu’afaa-ir rijaal” (2/382).

[11] Dalam kitab “ash-Shaarimul manki” (hal. 63).

[12] Kitab “Majmuu’ul fataawa” (1/234).

[13] Dalam kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (1/120, no. 47).

[14] Dinukil oleh imam adz-Dzahabi dalam “Miizaanul I’tidaal” (4/265).

[15] Kitab “al-Majruuhiin” (3/73).

[16] Dalam kitab “al-Majruuhiin” (3/73).

[17] Dalam kitab “al-Maudhuu’aat” (2/217).

[18] Dalam kitab “Miizaanul I’tidaal” (4/265).

[19] Dalam kitab “al-Fawa-idul majmuu’ah” (hal. 118).

[20] Dalam kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (1/119, no. 45).

[21] Lihat kitab “Syifa-ush shuduur” (hal. 168) tulisan Zainuddin Mar’i al-Karmi dan “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (1/123).

[22] Kitab “Majmuu’ul fataawa” (1/234).

[23] Kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (1/123)..

Sabtu, 01 September 2012

ADAB ISLAMI ZIARAH KUBUR

Oleh: Rifzal Darma

Agar berbuah pahala, maka ziarah kubur harus sesuai dengan tuntunan syari’at yang mulia ini. Berikut ini adab-adab Islami ziarah kubur :


Pertama: Hendaknya mengingat tujuan utama berziarahIngatlah selalu hikmah disyari’atkannya ziarah kubur, yakni untuk mengambil pelajaran dan mengingat kematian.


Imam Ash Shan’ani rahimahullah berkata : “Semua hadits di atas menunjukkan akan disyari’atkannya ziarah kubur dan menjelaskan hikmah dari ziarah kubur, yakni untuk mengambil pelajaran seperti di dalam hadits Ibnu Mas’ud (yang artinya ) : “ Karena di dalam ziarah terdapat pelajaran dan peringatan terhadap akhirat dan membuat zuhud terhadap dunia”. Jika tujuan ini tidak tercapai, maka ziarah tersebut bukanlah ziarah yang diinginkan secara syari’at” [1]


Kedua: Tidak boleh melakukan safar untuk berziarah


Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى


“Janganlah melakukan perjalanan jauh (dalam rangka ibadah, ed) kecuali ke tiga masjid : Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsha” [2]


Ketiga: Mengucapkan salam ketika masuk kompleks pekuburan


“Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu , dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan mereka (para shahabat) jika mereka keluar menuju pekuburan agar mengucapkan :


اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْل الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُاللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ


“ Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian, kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian” [3]


Keempat: Tidak memakai sandal ketika memasuki pekuburan


Dari shahabat Basyir bin Khashashiyah radhiyallahu ‘anhu : “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berjalan, tiba-tiba beliau melihat seseorang sedang berjalan di antara kuburan dengan memakai sandal. Lalu Rasulullah bersabda,


يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ، وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ» فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَرَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا


“Wahai pemakai sandal, celakalah engkau! Lepaskan sandalmu!” Lalu orang tersebut melihat (orang yang meneriakinya). Tatkala ia mengenali (kalau orang itu adalah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia melepas kedua sandalnya dan melemparnya” [4]


Kelima: Tidak duduk di atas kuburan dan menginjaknya


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ، فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ


“Sungguh jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, itu lebih baik daripada duduk di atas kubur” [5]


Keenam: Mendo’akan mayit jika dia seorang muslim


Adapun jika mayit adalah orang kafir, maka tidak boleh mendo’akannya.


Ketujuh: Boleh mengangkat tangan ketika mendo’akan mayit tetapi tidak boleh menghadap kuburnya ketika mendo’akannya (yang dituntunkan adalah menghadap kiblat)


Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau mengutus Barirah untuk membuntuti Nabi yang pergi ke Baqi’ Al Gharqad. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di dekat Baqi’, lalu mengangkat tangan beliau untuk mendo’akan mereka.[6]


Dan ketika berdo’a, hendaknya tidak menghadap kubur karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan. Sedangkan do’a adalah intisari sholat.


Kedelapan: Tidak mengucapkan alhujr


Telah lewat keterangan dari Imam An Nawawi rahimahullah bahwa al hujr adalah ucapan yang bathil. Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan : “Tidaklah samar lagi bahwa apa yang orang-orang awam lakukan ketika berziarah semisal berdo’a pada mayit, beristighotsah kepadanya, dan meminta sesuatu kepada Allah dengan perantaranya, adalah termasuk al hujr yang paling berat dan ucapan bathil yang paling besar. Maka wajib bagi para ulama untuk menjelaskan kepada mereka tentang hukum Allah dalam hal itu. Dan memahamkan mereka tentang ziarah yang disyari’atkan dan tujuan syar’i dari ziarah tersebut” [7]


Kesembilan: Diperbolehkan menangis tetapi tidak boleh meratapi mayit


Menangis yang wajar diperbolehkan sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika menziarahi kubur ibu beliau sehingga membuat orang-orang di sekitar beliau ikut menangis. Tetapi jika sampai tingkat meratapi mayit, menangis dengan histeris, menampar pipi, merobek kerah, maka hal ini diharamkan.


Wallahu a'lam..

Sabtu, 25 Agustus 2012

KRITERIA PEMIMPIN IDEAL DALAM AL QUR'AN

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan telah Kami wahyukan kepada mereka untuk senantiasa mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu mengabdi.(QS. Al-Anbiya’: 73)

Ayat ini berbicara pada tataran ideal tentang sosok pemimpin yang akan memberikan dampak kebaikan dalam kehidupan rakyat secara keseluruhan, seperti yang ada pada diri para nabi manusia pilihan Allah. Karena secara korelatif, ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat ini dalam konteks menggambarkan para nabi yang memberikan contoh keteladanan dalam membimbing umat ke jalan yang mensejahterakan umat lahir dan bathin. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ayat ini merupakan landasan prinsip dalam mencari figur pemimpin ideal yang akan memberi kebaikan dan keberkahan bagi bangsa dimanapun dan kapanpun.

Ayat yang berbicara tentang kriteria pemimpin yang ideal yang senada dengan ayat di atas adalah surah As-Sajdah: 24: “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. Kesabaran yang dimaksud dalam ayat ini yang menjadi pembeda dengan ayat Al-Abiya’ adalah kesabaran dalam menegakkan kebenaran dengan tetap komitmen menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah. Tentu bagi seorang pejabat tinggi, tetap komitmen dengan kebenaran membutuhkan mujahadah dan kesabaran yang jauh lebih besar karena akan berdepan dengan pihak yang justru menginginkan tersebarnya kebathilan dan kemaksiatan di tengah-tengah umat.

Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, ciri utama yang disebutkan di awal kedua ayat yang berbicara tentang kepemimpinan ideal adalah bahwa para pemimpin itu senantiasa mengajak rakyatnya kepada jalan Allah dan kemudian secara aplikatif mereka memberikan keteladanan dengan terlebih dahulu mencontohkan pengabdian dalam kehidupan sehari-hari yang dicerminkan dengan menegakkan shalat dan menunaikan zakat, sehingga mereka termasuk kelompok ‘abid’ yang senantiasa tunduk dan patuh mengabdi kepada Allah swt dengan merealisasikan ajaran-ajaranNya yang mensejahterakan.

‘Wakanu Lana Abidin bukan Wakanu Abidin’ merupakan penegasan bahwa perbuatan baik yang mereka perbuat lahir dari rasa iman kepada Allah dan jauh dari kepentingan politis maupun semata-mata malu dengan jabatannya. Maka kata ‘lana (hanya kepada Kami)’ adalah batasan bahwa hanya kepada dan karena Allah mereka berbuat kebaikan selama masa kepemimpinannya.

Asy-Syaukani dalam Tafsir Fathul Qadir menambahkan bahwa kriteria pemimpin yang memang harus ada adalah keteladanan dalam kebaikan secara universal sehingga secara eksplisit Allah menegaskan tentang mereka: Telah Kami wahyukan kepada mereka untuk senantiasa mengerjakan beragam kebajikan. Fi’lal khairat yang senantiasa mendapat bimbingan Allah adalah beramal dengan seluruh syariat Allah secara integral dan paripurna dalam seluruh segmen kehidupan.

Yang sangat menarik untuk dicermati secara redaksional adalah pilihan kata ‘aimmah’ dalam kedua ayat di atas. Kepemimpinan umumnya menggunakan terminologi khalifah atau Amir. Tentu pilihan kata tersebut bukan semata-mata untuk memenuhi aspek keindahan bahasa Al-Qur’an sebagai bagian dari kemu’jizatan al-qur’an, tetapi lebih dari itu merupakan sebuah isyarat tentang sosok pemimpin yang sesungguhnya diharapkan, yaitu sosok pemimpin dalam sebuah negara atau masyarakat idealnya adalah juga layak menjadi pemimpin dalam kehidupan beragama bagi mereka. Mereka bukan hanya tampil di depan dalam urusan dunia, tetapi juga tampil di barisan terdepan dalam urusan agama. Inilah yang sering diistilahkan dengan agamawan yang negarawan atau negarawan yang agamawan.

Dan memang sejarah kesuksesan kepemimpinan terdahulu yang berdampak pada kebaikan dan kesejahteraan masyarakatnya seperti kepemimpinan di era Rasulullah dan para sahabatnya adalah bahwa pemimpin negara di masa itu juga pada masa yang sama adalah pemimpin shalat. Tidak pernah terjadi, bahwa pemimpin Negara saat itu hanya memiliki kualifikasi kepemimpinan dalam memenej negara, tetapi juga dalam memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama umat. Karena urusan duniawi dan ukhrawi sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang sinergis dalam totalitas ajaran Islam. Perhatian pemimpin yang parsial pada salah satu aspek tertentu menunjukkan minimnya atau ketidak mampuannya menjadi ‘imam’ seperti yang diisyaratkan oleh kedua ayat kunci di atas.

Disini, mencari sosok pemimpin ideal memang bukan pekerjaan mudah atau instan, tetapi merupakan kerja serius dan kontinyu dalam bingkai pembinaan yang berjalan baik, sehingga stok kepemimpinan tidak pernah langka atau tidak tersedia. Maka aspek kepemimpinan sangat terkait erat dengan aspek pembinaan (kaderisasi) yang harus dikerjakan secar serius dan kontinyu. Pemimpin yang lahir dari sebuah proses pembinaan yang baik, tentu jauh lebih baik daripada pemimpin yang lahir secara instan karena popularitas, kedekatan maupun faktor keturunan dan lain sebagainya.

Dalam pepetah Arab disebutkan:

ما الرجال الا صناديق مقفلة * ما مفاتحها الا تجارب

Tidaklah pemimpin-pemimpin itu melainkan ibarat kotak-kotak yang tertutup rapat

Tidak lain kuncinya adalah pengalaman (aktifitas kehidupan sehari-hari).

Pepatah ini merupakan sebuah rumusan dalam mencari figur pemimpin. Track record merupakan kunci membuka keperibadian seorang pemimpin; bagaimana shalatnya, amalnya, kiprahnya, kinerjanya dan kehidupan sehari-harinya bersama keluarga, masyarakat dan sebagainya yang sangat layak untuk dijadikan parameter untuk mengukur kelayakan seseorang untuk menjadi pemimpin dalam semua levelnya, apalagi pemimpin dalam skala nasional.. Sehingga seorang Umar bin Khatab begitu sangat selektif dalam memilih atau mengangkat pejabat yang akan membantunya dalam mensukseskan kepemimpinanya secara kolektif. Beliau hanya akan mengangkat pejabat yang dikenal kebaikannya secara umum. Bahkan Umar pernah marah kepada sahabat yang mengangkat pejabat dari orang yang tidak dikenalnya. Umar bertanya memastikan pengenalannya terhadap seseorang yang diangkatnya: “Sudahkah kamu pergi bersamanya? Sudahkah kamu bersilaturahmi ke rumahnya? Sudahkah kamu berbisnis dengannya? Dan sederetan pertanyaan lain yang membuka sosok pejabat yang akan dilantiknya tersebut”.

Demikian, dalam Islam, melahirkan kepemimpinan merupakan amal puncak yang harus diberi perhatian besar karena fungsi kepemimpinan dalam Islam berdasarkan ‘Siyasah Syar’iyyah’ adalah Hirasatud Din (memelihara dan mempertahankan ajaran agama) dan Siyasatud Dunya (merancang strategi untuk kebaikan duniawi). Maka membangun kebaikan sebuah masyarakat atau bangsa harus diawali dengan menciptakan para pemimpin dalam seluruh levelnya yang shalih yang akan menyebarkan kebaikan di tengah-tengah masyarakat mereka.

Abul Hasan Al-Mawardi dalam buku politiknya ‘Al-Ahkam As-Sulthaniyah’ menegaskan bahwa mengangkat dan menegakkan kepemimpinan merupakan kewajiban agama yang bersifat kifa’i yang menuntut keterlibatan semua pihak untuk merealisasikan kepemimpian yang benar sesuai dengan panduan Islam dan memberi kemaslahatan serta kesejahteraan bagi seluruh komponen umat. Kewajiban menegakkan kepemimpinan sama dengan kewajiban jihad dan menuntut ilmu. Jika sudah ada yang memegang tampuk kepemimpinan dari mereka yang layak untuk itu maka gugurlah kewajiban atas semua umat. Namun jika belum ada, maka kewajiban tetap berlaku atas semua imam sampai terbentuknya kepemimpinan. Beliau menukil sebuah hadits dari Abu Hurairah tentang kemungkinan terjadinya kepemimpinan pasca Rasulullah dan sikap yang harus ditunjukkan oleh umat terhadap model kepemimpinan tersebut:

وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { سَيَلِيكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ فَيَلِيكُمْ الْبَرُّ بِبِرِّهِ ، وَيَلِيكُمْ الْفَاجِرُ بِفُجُورِهِ ، فَاسْمَعُوا لَهُمْ وَأَطِيعُوا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ ، فَإِنْ أَحْسَنُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ ، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Akan datang sepeninggalku beberapa pemimpin untuk kalian. Ada seorang yang baik yang memimpin kalian dengan kebaikan, namun ada juga pemimpin yang buruk yang memimpin dengan kemaksiatan. Maka hendaklah kalian tetap mendengar dan taat pada setiap yang menepati kebenaran. Karena jika mereka baik, maka kebaikan itu untuk kalian dan untuk mereka. Namun jika mereka buruk, maka keburukan itu hanya untuk mereka”.

Tentu, kita masih menanggung beban kewajiban kifa’i / kolektif untuk melahirkan sosok pemimpin yang berfungsi untuk merealisasikan hirasut din dan siyasatud dunya, sehingga kehadiran pemimpin yang agamawan sekaligus negarawan merupakan kata kunci yang disodorkan oleh Allah dalam kedua ayat di atas untuk membawa masyarakat dan bangsa mencapai ’Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur’. Namun tetap yakin bahwa harapan kepemimpinan itu masih ada dan akan terus ada dengan izin Allah… Amin. (Dakwatuna.com)

Rabu, 22 Agustus 2012

TATA CARA PUASA ENAM HARI BULAN SYAWWAL


Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.

Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan masyru’ (disyari'atkan). Pendapat yang menyatakan bid’ah atau haditsnya lemah, merupakan pendapat bathil [1]. Imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad menyatakan istihbab pelaksanaannya [2].

Adapun Imam Malik, beliau rahimahullah menilainya makruh. Agar, orang tidak memandangnya wajib. Lantaran kedekatan jaraknya dengan Ramadhan. Namun, alasan ini sangat lemah, bertentangan dengan Sunnah shahihah.

Alasan yang diketengahan ini tidak tepat, jika dihadapkan pada pengkajian dan penelitian dalil, yang akan menyimpulkan pendapat tersebut lemah. Alasan terbaik untuk mendudukkan yang menjadi penyebab sehingga beliau berpendapat demikian, yaitu apa yang dikatakan oleh Abu ‘Amr Ibnu ‘Abdil Barr, seorang ulama yang tergolong muhaqqiq (peneliti) dalam madzhab Malikiyah dan pensyarah kitab Muwatha.

Abu ‘Amr Ibnu ‘Abdil Barr berkata,"Sesungguhnya hadits ini belum sampai kepada Malik. Andai telah sampai, niscaya beliau akan berpendapat dengannya.” Beliau mengatakan dalam Iqna’, disunnahkan berpuasa enam hari di bulan Syawal, meskipun dilaksanakan dengan terpisah-pisah. Keutamaan tidak akan tetap diraih bila berpuasa di selain bulan Syawal.

Seseorang yang berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah berpuasa Ramadhan, seolah-olah ia berpuasa setahun penuh. Penjelasannya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Bulan Ramadhan laksana sepuluh bulan. Sementara enam hari bagai dua bulan. Maka hitungannya menjadi setahun penuh. Sehingga dapat diraih pahala ibadah setahun penuh tanpa kesulitan, sebagai kemurahan dari Allah dan kenikmatan bagi para hambaNya.

Dari Tsauban Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan, satu bulan seperti sepuluh bulan dan berpuasa enam hari setelah hari Idul Fitri, maka itu merupakan kesempurnaan puasa setahun penuh".[3]

BILAMANA PELAKSANAANNYA?
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, di dalam Majmu' Fatawa wal Maqalat Mutanawwi'ah (15\391) menyatakan, puasa enam hari di bulan Syawal memiliki dasar dari Rasulullah. Pelaksanaannya, boleh dengan berurutan ataupun terpisah-pisah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan pelaksanaannya secara mutlak, dan tidak menyebutkan caranya dilakukan dengan berurutan atau terpisah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam" :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun" [4].

Beliau rahimahullah juga berpendapat, seluruh bulan Syawwal merupakan waktu untuk puasa enam hari. Terdapat riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda : Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkannya enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun [5].

Hari pelaksanaannya tidak tertentu dalam bulan Syawwal. Seorang mu`min boleh memilih kapan saja mau melakukannya, (baik) di awal bulan, pertengahan bulan atau di akhir bulan. Jika mau, (boleh) melakukannya secara terpisah atau beriringan. Jadi, perkara ini fleksibel, alhamdulillah. Jika menyegerakan dan melakukannya secara berurutan di awal bulan, maka itu afdhal. Sebab menunjukkan bersegera melakukan kebaikan [6].

Para ulama menganjurkan (istihbab) pelaksanaan puasa enam hari dikerjakan setelah langsung hari 'Idhul Fitri. Tujuannya, sebagai cerminan menyegerakan dalam melaksanakan kebaikan. Ini untuk menunjukkan bukti kecintaan kepada Allah, sebagai bukti tidak ada kebosanan beribadah (berpuasa) pada dirinya, untuk menghindari faktor-faktor yang bisa menghalanginya berpuasa, jika ditunda-tunda.

Syaikh ‘Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd menjelaskan : "Dalam hadits ini (yaitu hadits tentang puasa enam hari pada bulan Syawwal), tidak ada nash yang menyebutkan pelaksanaannya secara berurutan ataupun terpisah-pisah. Begitu pula, tidak ada nash yang menyatakan pelaksanaannya langsung setelah hari raya 'Idul Fithri. Berdasarkan hal ini, siapa saja yang melakukan puasa tersebut setelah hari Raya 'Idul Fithri secara langsung atau sebelum akhir Syawal, baik melaksanakan dengan beriringan atau terpisah-pisah, maka diharapkan ia mendapatkan apa yang dijanjikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, itu semua menunjukkan ia telah berpuasa enam hari pada bulan Syawwal setelah puasa bulan Ramadhan. Apalagi, terdapat kata sambung berbentuk tsumma, yang menunjukkan arti tarakhi (bisa dengan ditunda)”.[7]

Demikian penjelasan singkat mengenai cara berpuasa enam hari pada bulan Syawwal setelah puasa bulan Ramadhan. Mudah-mudahan dapat memotivasi diri kita, untuk selalu mencintai sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang tidak lain akan mendekatkan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam bish-shawab.

BAGAIMANA JIKA MASIH MENANGGUNG PUASA RAMADHAN?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah, apakah boleh mendahulukan puasa sunnah (termasuk puasa enam hari di bulan Syawwal) sebelum melakukan puasa qadha Ramadhan.

Imam Abu Hanifah, Imam asy Syafi’i dan Imam Ahmad, berpendapat bolehnya melakukan itu. Mereka mengqiyaskannya dengan shalat thathawu’ sebelum pelaksanaan shalat fardhu.

Adapun pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad, diharamkannya mengerjakan puasa sunnah dan tidak sah, selama masih mempunyai tanggungan puasa wajib.

Syaikh Bin Baz rahimahullah menetapkan, berdasarkan aturan syari'at (masyru’) mendahulukan puasa qadha Ramadhan terlebih dahulu, ketimbang puasa enam hari dan puasa sunnah lainnya. Hal ini merujuk sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian diiringi dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun".

Barangsiapa mengutamakan puasa enam hari daripada berpuasa qadha, berarti belum mengiringkannya dengan puasa Ramadhan. Ia hanya mengiringkannya dengan sebagian puasa di bulan Ramadhan. Mengqadha puasa hukumnya wajib. Sedangkan puasa enam hari hukumnya sunnah. Perkara yang wajib lebih utama untuk diperhatikan terlebih dahulu [8].

Pendapat ini pun beliau tegaskan, saat ada seorang wanita yang mengalami nifas pada bulan Ramadhan dan mempunyai tekad yang kuat untuk berpuasa pada bulan Syawwal. Beliau tetap berpendapat, menurut aturan syari'at, hendaknya Anda memulai dengan puasa qadha terlebih dahulu. Sebab, dalam hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan puasa enam hari (Syawwal) usai melakukan puasa Ramadhan. Jadi perkara wajib lebih diutamakan daripada perkara sunnah [9].

Sementara itu Abu Malik, penulis kitab Shahih Fiqhis Sunnah berpendapat, masih memungkinkan bolehnya melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal, meskipun masih memiliki tanggungan puasa Ramadhan. Dasar argumentasi yang digunakan, yaitu kandungan hadits Tsauban di atas yang bersifat mutlak [10].
Wallahu a’lam.

https://www.facebook.com/aang.muttaqin
________
Footnote
[1]. Majmu’ Fatawa, Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz, 15/389.
[2]. Taudhihul Ahkam, 3/533.
[3]. Hadits shahih, riwayat Ahmad, 5/280; an Nasaa-i, 2860; dan Ibnu Majah, 1715. Lihat pula Shahih Fiqhis Sunnah, 2/134.
[4]. HR Muslim, dalam ash Shiyam, bab Istihbabish-Shaumi Sittati Ayyam min Syawwal, 1164.
[5]. Ibid.
[6]. Majmu' Fatawa wal Maqalat Mutanawwi'ah, 15\390.
[7]. Fiqhul Islam, 3/232
[8]. Ibid.
[9]. Ibid.
[10]. Shahih Fiqhis Sunnah, 2/134.

HALAL BIHALAL DALAM PANDANGAN ISLAM


Oleh: Sukpandiar Idris Advokat As-salafy

Sejarah halal bihalal

Sejarah asal mula halal bihalal ada beberapa versi. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, bahwa tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.

Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama.Berbagai sumber antara lain. Tambihun On line

Jika kita membaca sejarahnya jelas halal bi halal itu , ya bid'ah , ya syirik:

1. Adanya budaya sungkem,

2. Campur baur dengan pemeluk Agama lain,

3. Campur baur Lelakai dan wanita yang bukan mahrom,

4. Pengkhususan pertemuan di waktu tertentu, biasanya ba'da idul fitri,

5. Ritualnya pun berbeda satu dengan yang lain,

6. Menandingi syariat Allah dan RosulNya.

Halal Bi Halal Sekarang

Lebih parah lagi tempatnya di hotel mewah, adanya musik , dan bentuk pesta pora lainnya.

QS. An-Nisa': 65

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [QS. An Nisa’: 65].

Dalam ayat ini Allah telah meniadakan iman, sebagaimana dikatakan syaikh Muhammad bin Ibrahim bahwa orang yang tidak menjadikan Rasulullah sebagai pihak yang memutuskan perkara yang mereka perselisihkan tidaklah beriman, dengan mendasarkan hal ini pada pengulangan adatu nafyi dan dengan sumpah. [Tahkimul Qawanin hal. 5].

Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya I/521, "Allah Ta'ala bersumpah dengan Dzat-Nya yang Mulia dan Suci bahwasanya seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasul sebagai hakim dalam seluruh urusan. Apa yang diputuskan Rasul itulah kebenaran yang wajib dikuti secara lahir dan batin."

Imam Ibnu Qayim juga berkata mengenai ayat ini: "Allah bersumpah dengan Dzat-Nya atas tidak adanya iman pada diri hamba-hamba-Nya sehingga mereka menjadikan Rasul sebagai hakim/pemutus segala persoalan di antara mereka, baik masalah besar maupun perkara yang remeh. Allah tidak menyatakan berhukum kepada Rasulullah ini cukup sebagai tanda adanya iman, namun lebih dari itu Allah menyatakan tidak adanya iman sehingga dalam dada mereka tidak ada lagi perasaan berat dengan keputusan hukum beliau. Allah tetap tidak menyatakan hal ini cukup untuk menandakan adanya iman, sehingga mereka menerimanya dengan sepenuh penerimaan dan ketundukan.” [A’lamul Muwaqi’in I/86].

Sebelumnya AHSI juga sudah mengutipkan perkataan Imam ath-Thabariy rohimahullah ta'ala berkata :“Yang dimaksud dengan kata “Fala” dalam ayat ini adalah ungkapan yang berfungsi sebagai bantahan atas pengakuan mereka bahwa mereka beriman dengan apa yang diturunkan kepadamu (Rasulullah), namun di waktu yang sama mereka juga berhukum kepada thaghut dan mereka menolak apabila diperintahkan untuk mengikutimu. “La Yu’minuna” maksudnya mereka tidak percaya kepada-Ku (Allah) dan kamu (Rasul-Nya). “Hatta Yuhakkimūka fī Ma Syajara Baynahum” maksudnya hingga mereka menjadikanmu (Rasul-Nya) sebagai hakim atas berbagai urusan yang membelit mereka....” (Tafsīr ath-Thabariy 8/518)

Dari Ibunda kaum mukminin, Ummu Abdillah Aisyah –semoga Allah meridhainya- beliau berkata: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam perkara kami ini yang tidak ada (perintahnya dari kami) maka tertolak (H.R alBukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim: Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka tertolak.

PENJELASAN :

Hadits ini adalah patokan lahiriah untuk menentukan sah atau tidaknya suatu amalan. Jika suatu amalan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, maka tertolak. Meski pelakunya mengamalkan dengan ikhlas hanya karena Allah.

PANDANGAN ULAMA MADZHAB TENTANG KUBURAN

Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu berkata :“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 970, Abu Daawud no. 3225, At-Tirmidziy no. 1052, An-Nasaa’iy no. 2027-2028 dan dalam Al-Kubraa 2/463 no. 2166, ‘Abdurrazzaaq 3/504 no. 6488, Ahmad 3/295, ‘Abd bin Humaid 2/161 no. 1073, Ibnu Maajah no. 1562, Ibnu Hibbaan no. 3163-3165, Al-Haakim 1/370, Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj ‘alaa Shahiih Muslim no. 2173-2174, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/410 & 4/4, Ath-Thayaalisiy 3/341 no. 1905, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 3/191 no. 2057 dan dalam Al-Ausath 6/121 no. 5983 & 8/207 8413, Abu Bakr Asy-Syaafi’iy dalam Al-Fawaaaid no. 860, Abu Bakr Al-‘Anbariy dalam Hadiits-nya no. 68, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/515-516 no. 2945-2946, dan yang lainnya.

Asal dari larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan keharaman sebagaimana telah dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh. Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu – nenek moyang para habaaib – adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat :

Dari Abul-Hayyaaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya].

Larangan membangun kubur ini kemudian diteruskan oleh para ulama madzhab.

Madzhab Syaafi’iyyah, maka Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut” [Al-Umm, 1/316 – via Syamilah].

An-Nawawiy rahimahullah ketika mengomentari riwayat ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu di atas berkata : “Pada hadits tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan kubur tidak terlalu ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah madzhab Asy-Syaafi’iy dan orang-orang yang sepakat dengan beliau” [Syarh An-Nawawiy ‘alaa Shahih Muslim, 3/36].

Di tempat lain ia berkata : “Nash-nash dari Asy-Syaafi’iy dan para shahabatnya telah sepakat tentang dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman hadits-haditsnya” [Al-Majmuu’, 5/316].

Adapun madzhab Hanafiyyah, berikut perkataan Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah :

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Haniifah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami seorang syaikh kami yang memarfu’kan riwayat sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau melarang untuk membangun dan mengapur/menyemen kubur. Muhammad (bin Al-Hasan) berkata : Dengannya kami berpendapat, dan ia juga merupakan pendapat Abu Haniifah” [Al-Aatsaar no. 257].

Juga Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah yang berkata : “Adapun membangun di atas kubur, maka aku tidak melihat ada ulama yang memilih pendapat membolehkannya. Dan dari Abu Haniifah : Dibenci membangun bangunan di atas kubur, baik berupa rumah, kubah, atau yang lainnya” [Raddul-Mukhtaar, 6/380 – via Syamilah].

Madzhab Maalikiyyah, maka Maalik bin Anas rahimahullah berkata : “Aku membenci mengapur/menyemen kubur dan bangunan yang ada di atasnya” [Al-Mudawwanah, 1/189].

Juga Al-Qurthubiy rahimahullah yang berkata : “Membangun masjid-masjid di atas kubur, shalat di atasnya, membangun bangunan di atasnya, dan yang lainnya termasuk larangan dari sunnah, tidak diperbolehkan” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 10-379].

Madzhab Hanaabilah, maka Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata : “Dan dibenci bangunan yang ada di atas kubur, mengkapurnya, dan menulis tulisan di atasnya, berdasarkan riwayat Muslim dalam Shahiih-nya : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya’. At-Tirmidziy menambahkan : ‘Dan menulis di atasnya’, dan ia berkata : ‘Hadits hasan shahih’. Karena itu semua merupakan perhiasan dunia yang tidak diperlukan oleh si mayit” [Al-Mughniy, 2/382].

Juga Al-Bahuutiy Al-Hanbaliy rahimahullah yang berkata : “Dan diharamkan menjadikan masjid di atas kubur, dan membangunnya berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah melaknat orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid-masjid’. Muttafaqun ‘alaih” [Kasysyaaful-Qinaa’, 3/774].

Juga Al-Mardawiy rahimahullah yang berkata : “Adapun bangunan di atas kubur, hukumnya makruh berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah), sama saja, apakah bangunan itu menempel tanah ataukah tidak. Pendapat itulah yang dipegang kebanyakan shahabat Ahmad. Dalam kitab Al-Furuu’ dinyatakan : Ahmad dan shahabat-shahabatnya memutlakkan (kemakruhan)-nya” [Al-Inshaaf, 2/549].

Madzhab Dhaahiriyyah, maka Ibnu Hazm rahimahullah berkata : “Permasalahan : Dan tidak dihalalkan kubur untuk dibangun, dikapur/disemen, dan ditambahi sesuatu pada tanahnya. Dan semuanya itu (bangunan, semenan, dan tanah tambahan) mesti dirobohkan” [Al-Muhallaa, 5/133].

Selasa, 21 Agustus 2012

PANDANGAN AHLUSSUNAH/SALAFY TENTANG KETAATAN PADA PEMERINTAH


Taat kepada pemimpin negara dan lainnya dari unsur kepemerintahan adalah wajib, asal tidak dalam bermaksiat kepada Allah تعالى. Hal ini berdasarkan firman Allah تعالى;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, dan taatlah kalian kepada Rasul, dan juga kepada ulil amri dari kalian.” (An-Nisa’: 59)

Juga berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم dalam hadits Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما yang diriwaytak oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim;

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ؛ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Mendegar dan taat itu wajib atas setiap muslim baik dalam perkara yang disukainya atau tidak disukainya, selama tidak diperintah melakukan maksiat. Jika diperintahkan melakukan maksiat maka tidak boleh mendengar tidak boleh taat.”

(Kita tetap wajib taat kepada pemerintah) Sama saja pemerintah itu baik; yaitu yang menunaikan perintah Allah تعالى dan meninggalkan larangan-Nya, atau pemerintah itu jahat; yaitu pelaku kejahatan dan kezhaliman. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam hadits ‘Auf bin Malik رضي الله عنه yang diriwayatkan oleh Imam Muslim;

أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ، وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Ingatlah, siapa yang dipimpin oleh suatu pemerintah, lalu dia melihat pemerintah tersebut melakukan suatu tindak kemaksiatan kepada Allah تعالى, maka hendaknya dia membenci tindak maksiatnya kepada Allah تعالى tersebut, dan jangan sampai dia keluar dari prinsip ketaatan kepada pemerintah.”

Sikap menentang dan memberontak kepada pemerintah adalah perbuatan yang diharamkan dalam syari’at islam. Hal ini berdasarkan isi hadits ‘Ubadah bin Shamit رضي الله عنه yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim;

بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Kami berbai’at kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم untuk mendengar dan taat, di saat kami suka, di saat kami tidak suka, di saat kesulitan, dan di saat kemudahan, dan untuk mendahulukan beliau atas diri-diri kami. Dan kami berbai’at untuk tidak menentang aturan dari pemerintah, kecuali kalian melihat pada diri pemerintah kekafiran yang nyata, dan kalian memiliki landasan dari Allah تعالى akan hal itu.”

Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda dalam hadits Ummu Salamah رضي الله عنها yang diriwayatkan oleh Imam Muslim;

إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا نُقَاتِلُهُمْ، قَالَ: لَا مَا صَلَّوْا لَا مَا صَلَّوْا

“Sesungguhnya akan ada bagi kalian pemerintah yang kalian lihat melakukan yang ma’ruf dan kalian lihat melakukan kemungkaran. Siapa yang membenci (kemungkarannya) maka dia telah terbebas (dari ancaman Allah تعالى), dan siapa yang mengingkari (kemungkarannya) maka dia telah selamat (dari ancaman Allah تعالى), dan siapa yang rela dan mengikuti (kemungkarannya maka dialah yang akan dimurkai Allah تعالى).” Para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah kami memerangi mereka?” Rasulullah bersabda: “Tidak!! Selama mereka masih menunaikan shalat. Tidak!! Selama mereka masih menunaikan shalat.”

Menginkari dan membenci di sini maksudnya dilakukan dengan kalbunya, bukan dengan tindakan yang anarkis dan menghujatnya sehingga runtuhlah kewibawaan pemerintah semisalnya. Dan maksud “Selama mereka masih menunaikan shalat” artinya sebagaimana dalam hadits sebelumnya: selama tidak terbukti adanya kekafiran yang nyata yang ada landasannya dari Allah تعالى.

Hadits terkahir ini mengisyaratkan juga, bahwa meninggalkan shalat adalah suatu bentuk kekafiran yang nyata, karena Nabi صلى الله عليه وسلم tidak membolehkan untuk menentang pemerintah kecuali adanya kekufuran yang nyata, dan beliau menjadikan hal yang menghalangi untuk memrangi pemerintah adalah penunaian shalat, maka hal ini menunjukkan bahwa meninggalkan penunaian shalat ini menjadi sebab bolehnya memerangi pemerintah.

Namun perlu diingat, secara garis besar memang demikian, kekafiran yang nyata yang dilakukan itu menjadi sebab bolehnya kaum muslimin untuk memerangi pemerintah. Namun apakah serta merta kaum muslimin keluar melakukakn perang begitu saja? Ternyata tidak, umat islam itu umat yang tengah-tengah, tidak lembek tidak pula serampangan. Para ulama masih tetap menjelaskan banyak kaidah dan aturan serta batasan terkait permasalahan yang sangat riskan ini. Tujuan ajaran islam adalah menciptakan kabaikan, ketenteraman, dan keamanan di muka bumi.

Keyakinan islam, keyakinan salafy atau ahlus sunnah pengikut Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah sebagaimana dijelaskan di atas. Dan selain itu ahlus sunnah berkeyakinan untuk tidak menentang pemerintah yang zhalim bukan karena tidak mungkin akan mendapatkan pemerintah yang lebih baik, namun mereka tidak menentang pemerintah karena bimbingan Rasul di atas, dan juga mereka tidak menentang pemrintah demi menjaga kelestarian kebaikan umat dan mencegah dari kerusakan yang besar. Karena sikap penentangan, pemberontakan dan penggulingan itu telah terbukti dalam sejarah umat islam kerusakannya lebih besar dari pada kebaikannya, kondisi sebelum penggulingan lebih baik dari pada setelah penggulingan. Baaik dalam hal keamanan, ekonomi, akhlaq – adab dan lainnya. Silahkan mencoba untuk kilas balik sejarah yang ada.

Oleh karenanya ulama salaf (generasi pendahulu) sepakat untuk tidak melakukan penentangan, pemberontakan, dan penggulingan terhadap pemerintah muslim meski mereka zhalim. Dan kebanyakan orang-orang yang melakukan penentangan, pemberontakan, dan penggulingan terhadap pemerintah muslim tidak mendapatkan pertolongan Allah تعالى. Entah ketika dalam usaha penggulingan entah setelah terjadi penggulingan. Kalaupun berhasil menggulingkan, tidaklah mereka mendapatkan pertolongan Allah تعالى setelah penggulingan itu. Justru yang ada adalah kerusakan dan kesengsaraan yang lebih parah dari sebelumnya.

Sehingga seperti perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله: “Tidaklah mereka menolong islam, tidak pula mereka memangkas kemungkaran.

Karena sebab yang paling banyak yang ada dalam usaha penggulingan adalah usaha seseorang untuk bisa duduk dalam kursi tersebut, lalu melakukan sesuatu yang tidak jauh beda dari yang dilakukan oleh orang yang dia gulingkan. Demikan penjelasan para ulama islam.

Kalau seandainya terbukti bahwa pemerintah telah melakukan kekafiran yang nyata, sehingga boleh untuk digulingkan. Namun ingat, para ulama tetap memberikan rambu dan batasan terkait hal itu. Dengan tujuan penjagaan kebaikan umat. Bagi yang ingin menggulingkan pemerintah yang kafir (ingat kafir bukan zhalim) harus memenuhi tiga syarat:

  1. Kekafirannya itu nyata terbukti berlandaskan dengan syari’at Allah تعالى dengan pemahaman yang haq, yaitu pemahaman salaf shalih bukan pemahaman khawarij teroris. Jadi tidak masuk dalam hal ini kalau kekafiran tersebut timbul karena adanya penta’wilan.
  2. Orang yang akan melakukan penggulingan memiliki kemampuan nyata untuk hal itu. Ingat kemampuan yang nyata wujudnya, baik berupa persenjataan ataupun dana. Jadi tidak cukup hanya dengan perkataan: “Kita akan didukung oleh ini oleh itu. Senjata akan dikirim oleh ini oleh itu.” Karena pemberontakan dan penggulingan itu artinya pertumpahan darah. Maka harus bisa membendung kerusakan yang lebih parah.
  3. Adanya ganti yang lebih baik dari yang sebelumnya. Artinya lebih shalih, lebih mengerti syari’at islam (hukum islam atapun politik islam), lebih adil. Dari kebanyakan aspek lebih baik dari yang sebelumnya secara tinjauan syari’at. Sehingga tidak akan terjadi mengganti sesuatu yang rusak dengan sesuatu yang sama rusaknya, atau lebih parah rusaknya. Atau mengganti yang zhalim dengan yang sama zhalimnya atau lebih parah kezhalimannya. Maka ini bentuk kerusakannya sama atau malah lebih parah.

Bagi ahlus sunnah, ketiga syarat ini sangat amat berat diwujudkan.

Pertama: Tidak mudah untuk mengkafirkan seseorang dengan dalil dan bukti.

Kedua: Ahlus sunnah sangat menjaga darah umat tidak rela darah satu muslimpun tertumpahkan. Dan juga dari mana akan mendapatkan senjata dan dana? Ahlus sunnah sibuk dengan ilmu, fatwa dan dakwah.

Ketiga: Tidak ada satu ulama pun dari ahlus sunnah yang siap mengemban amanah pimpinan negara. Mereka lebih cinta menjadi pemberi arahan kepada umat, dan juga kepada pemerintah dengan nasehat. Jika diterima alhmadulillah, jika tidak diterima maka amanah dari Allah تعالى sudah tersampaikan. Sehingga terlepas dari tanggung jawab di hadapan Allah تعالى nantinya.

Sebagai penutup.

Ahlus sunnah itu bersikap tengah-tengah, diantara dua kelompok yang sama-sama berat sebelah:

Kelompok Pertama: Kelompok yang sangat getol mencari kesalahan pemerintah, mengangkatnya ke permukaan untuk menjatuhkan wibawa pemerintah di hadapan rakyatnya, mengecap pemerintah zhalim, bahkan sebagian mereka menghukumi pemerintah itu kafir pemerintah thaghut. Sehingga membabi buta menghalalkan penggulingan pemerintah yang sah. Orang semacam ini adalah semisal orang-orang yang berpemikiran khawarij teroris, atau orang yang memiliki tendensi duniawi mengejar kursi kepemerintahan, atau orang yang belum tahu bagaimana syari’at ini memberikan bimbingan terkait ketaatan pada pemerintah.

Kelompok Kedua: Kelompok yang serba ikut dengan kemauan pemerintah tanpa memilah mana yang ma’ruf sesuai syari’at islam dan mana yang mungkar atau maksiat dalam kaca mata syari’at islam. Karena merasa kepentingan duniawinya itu akan terjaga dengan dalam sikapnya yang demikian terhadap pemerintah. Sehingga kelompok pertama akan mengatakan kelompok kedua ini adalah kelompok yang lembek atau semisalnya yang lebih para dari itu.

Adapun ahlus sunnah atau Salafy maka tidak seperti kelompok pertama, tidak pula seperti kelompok kedua. Maka mereka tidak mencari-cari kesalahan pemerintah, tidak pula menjatuhkan wibawanya, tidak pula mengkafirkan karena kezhaliman yang dilakukannya. Dan ahlus sunnah tidak pula serba ikut dengan semua kemauan. Ahlus sunnah akan taat kepada pemerintah ketika diperintah melakukan suatu perbuatan yang dibenarkan secara syari’at islam. Dan mereka tidak bisa taat ketika diperintah melakukan suatu perbuatan yang dihukumi syari’at islam sebagai kemaksiatan, kemungkaran dan keharaman.

Demikian hadits berikut ini memberikan bimbingan;

Dalam hadist ‘Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabd:

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ

“Tiada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah تعالى.”

Dalam riwayat Imam Bukhary dari hadits ‘Ali رضي الله عنه ada kisah:

بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يُطِيعُوهُ فَغَضِبَ عَلَيْهِمْ وَقَالَ أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُطِيعُونِي قَالُوا بَلَى قَالَ قَدْ عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ لَمَا جَمَعْتُمْ حَطَبًا وَأَوْقَدْتُمْ نَارًا ثُمَّ دَخَلْتُمْ فِيهَا فَجَمَعُوا حَطَبًا فَأَوْقَدُوا نَارًا فَلَمَّا هَمُّوا بِالدُّخُولِ فَقَامَ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ قَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّمَا تَبِعْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِرَارًا مِنْ النَّارِ أَفَنَدْخُلُهَا فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ خَمَدَتْ النَّارُ وَسَكَنَ غَضَبُهُ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَوْ دَخَلُوهَا مَا خَرَجُوا مِنْهَا أَبَدًا إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengutus sebuah pasukan, dan menjadikan salah seorang Anshar pemimpin bagi mereka. Beliau memerintahkan pasukan agar taat kepada pemimpin itu. (Suatu ketika) pemimpin pasukan tersebut marah kepada pasukannya, sembari berkata: “Tidakkah Nabi صلى الله عليه وسلم telah memerintahkan agar kalian taat kepadaku?” Mereka berkata: “Benar.” Dia berkata: “Sungguh aku telah bertekad agar kalian mengumpulkan kayu bakar lalu kalian nyalakan api padanya, kemudian kalian masuk ke dalam api itu.” Maka merekapun mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan apai padanya. Ketika mereka hendak masuk ke dalam api itu, sebagian mereka berdiri dan melihat kepada sebagian yang lain. Sebagian pasukan berkata: “Sesungguhnya kita mengikuti Nabi صلى الله عليه وسلم demi lari menghindari dari api (Neraka), apakah kita akan masuk kepadanya?” Ketika mereka dalam kondisi demikian padamlah api dan redalah kemarahan sang pemimpin. Lalu hal itu diceritakan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau bersabda: “Kalau seandainya mereka masuk pada api tersebut maka mereka tidak akan keluar darinya selamanya. Sesungguhnya ketaatan itu hanya pada perkara yang ma’ruf.”

Inilah prinsip aqidah salafy ahlus sunnah terkait ketaatan pada pemerintah. Adapun kalau diketemukan pada individu yang mengaku salafy kemudian ternyata jauh dari ketaatan pada pemerintah, maka celaan bukan pada aqidah ahlus sunnah tapi celaan hanya tertuju pada orang tersebut saja. Boleh orang mengaku salafy, tapi dia akan dituntut pembuktiannya dengan mengamalkan apa yang dituntunkan Allah تعالى dan Rasul-Nya صلى الله عليه ةسلم sesuai yang dituntunkan dengan pemahaman yang benar. Entah itu bertentangan dengan kemauan hawa nafsunya ataupun tidak.

Dinukil dari: Syarh Lum’ah Al-I’tiqad karya Asy-Syaikh Muhammad bin Al-‘Utsiamin (bagian akhir kitab)

Ditulis oleh: thalibmakbar

(Darul Hadits Ma’bar, Yaman)

HUKUM BERKUNJUNG KE KERABAT DI HARI RAYA


oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy

Bolehkah Mengkhususkan Mengunjungi Kerabat Saat Hari Raya?


Berikut ini kami tuliskan beberapa jawaban para ulama mengenai permasalahan ini:

Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badrالسائل : هنا عدة أسئلة عن زيارة الأقارب أحياء أو أمواتا يوم العيد Pertanyaan: Syaikh, ada beberapa pertanyaan yang datang terkait tentang hukum berkunjung ke rumah para kerabat, baik yang masih hidup atau pun sudah meninggal ketika hari Idul Fitri.Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr hafizhahullah menjawab:الشيخ : أما زيارة القبور في يوم العيد أو في يوم الجمعة أو تخصيص يوم معين فلا يجوز ذلك ، وأما زيارة الأقارب يوم العيد والذهاب إليهم و .. يعني الدعاء لهم فإن ذلك لا بأس به . أما تخصيص المقابر بالزيارة يوم العيد أو يوم الجمعة أو يوما معينا من الأيام بالذات ليس للإنسان أن يفعل ذلكZiarah kubur ketika hari ‘Id atau hari Jum’at atau mengkhususkan hari tertentu tidaklah diperbolehkan. Sedangkan mengunjungi para kerabat di hari ‘Id atau menempuh perjalanan untuk mengunjungi mereka atau.. mendoakan mereka, ini semua tidak mengapa. Adapun mengkhususkan kunjungan ke pemakaman-pemakaman di hari Ied atau hari Jum’at atau hari tertentu, tidak ada ulama yang melakukan hal ini.[Transkrip dari rekaman suara yang bisa di-unduh di http://www.islamup.com/download.php?id=55581]

Fatwa Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali

السؤال:وهذا من الجزائر يقول: ماحكم تخصيص زيارة الأقارب والأصدقاء في يوم العيد؟Pertanyaan: Ada pertanyaan dari Aljazair, penanya berkata: Apakah hukum mengkhususkan hari Ied untuk mengunjungi para kerabat dan teman-teman baik?Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah menjawab:الجواب:هذا عمل طيب؛والأقارب أولى من يجب وصلهم لأنهم ذوي قرابة فهم أولى من غيرهم تبدأ بهم ثم بعد ذلك بغيرهم وهذا هو المطلوب أن يبدأ الإنسان بذوي قرابته لأنهم آكدوا حقا عليه من غيرهم فحينئذ يبرهم ثم بعد ذلك إن وجد وقتا زار إخوانه وإن حصل ذلك فرحنا Ini perbuatan yang baik. Para kerabat adalah orang-orang yang paling wajib untuk dijalin tali silaturahimnya. Karena mereka adalah orang-orang yang memilikiqurabah (hubungan keluarga), sehingga mereka lebih layak dari yang lain untuk dijalin erat silaturahminya. Mulailah dari mereka, baru yang lain, inilah yang semestinya. Sebab lain, mereka juga memiliki hak yang lebih besar dari diri anda, dibandingkan yang lain. Maka, berbuat-baiklah kepada mereka, lalu jika ada waktu, kunjungilah mereka. Kalau memang bisa demikian, itu akan membuat kita gembira.ولو لم وإن لم يحصل فليس هو بالسنة في ذلك وإنما يكتفي الناس ولله الحمد بالتقائهم في المصلى وبالتقائهم أيضا في المساجد في الصلوات الخمس هذا يحصل ولله الحمد كافي لا يشترط أن تذهب إلى البيتAndaikan tidak bisa, tidak mengapa, perbuatan ini bukanlah hal yang disunnahkan. Cukup bagi anda menemui orang-orang ketika di lapangan tempat shalat ‘Id, wa lillahil hamd. Atau menemui mereka di masjid-masjid ketika shalat lima waktu, ini sudah cukup, wa lillahil hamd. Tidak disyaratkan harus mengunjungi rumah mereka.لكن أصبح من العادات وهنا العادات ليست منافية للشرع ولم يزعموا أنها عبادة وذلك لأنه يوم فرح وسرور فلا بأس بذلك كله والله أعلم وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسانPerbuatan ini memang sudah menjadi tradisi, namun ini adalah tradisi yang tidak dinafikan oleh syari’at dan orang-orang yang melakukannya pun tidak menganggap ini sebagai ibadah. Perbuatan ini sebatas karena hari ‘Id adalah hari bergembira dan bersenang-senang. Maka perbuatan-perbuatan demikian itu semua tidak mengapa, wallahu’alam. Wa shallallahu wa sallama wa baarik ‘ala ‘abdihi wa rasulihi nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa ash-habihi wa atba’ihi bi ihsaanin.[Transkrip dari rekaman suara yang bisa di dengarkan di http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=122458]

Fatwa Syaikh Abdullah Al Faqihهل من السنة زيارة الأقارب والأصدقاء وذلك لغرض المعايدة، وهل يعتبر ذلك تخصيصاً، لأننا سمعنا أن أحد العلماء يقول زيارة الأحياء في العيد كزيارة الأموات؟Pertanyaan: Apakah mengunjungi saudara dan teman-teman baik dalam rangka merayakan hari ‘Id termasuk perbuatan yang disunnahkan? Apakah ini termasuk pengkhususan hari tertentu yang terlarang? Karena kami dengar ada salah seorang ulama yang mengatakan bahwa mengunjungi orang yang masih hidup sama hukumnya sebagai mana mengunjungi orang mati (ziarah kubur).Syaikh Abdullah Al Faqih hafizhahullah menjawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:فزيارة الأقارب والأصدقاء والجيران في العيد مشروعة، جاء في الموسوعة الفقهية الكويتية:

Alhamdulillah Was Shalatu Was Salamu ‘ala Rasulillah Wa ‘ala Alihi Wa Shahbihi, Amma ba’du:Saling berkunjung antar kerabat, tetangga dan teman dekat pada hari ‘Id adalah perbuatan yang masyru’ (memiliki landasan dalil dalam syari’at). Sebagaimana tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah:التزاور مشروع في الإسلام، وقد ورد ما يدل على مشروعية الزيارة في العيد، فقد روي عن عائشة رضي الله عنها قالت: دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم وعندي جاريتان تغنيان بغناء بعاث، فاضطجع على الفراش وحول وجهه ودخل أبو بكر….. إلى آخر الحديث.، وموضع الشاهد فيه، وزاد في رواية هشام: يا أبا بكر إن لكل قوم عيداً وهذا عيدناً.، قال في الفتح: قوله وجاء أبو بكر: وفي رواية هشام بن عروة “دخل علي أبو بكر” وكأنه جاء زائراً لها بعد أن دخل النبي صلى الله عليه وسلم بيته.^^ انتهى.“Saling berkunjung (antar kerabat, tetangga dan teman dekat pada hari ‘Id) adalah perbuatan yang masyru’ dalam Islam. Terdapat riwayat yang menunjukkanmasyru’-nya hal tersebut, yaitu hadits yang diriwayatkan dari ‘AisyahRadhiallahu’anha, beliau berkata: ‘Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke rumah, ketika itu aku sedang bersama dua anak wanita yang bernyanyi dengan senandung bu’ats. Lalu beliau bersandar di tempat tidur dan wajahnya menoleh (pada dua anak wanita yang bernyanyi tadi). Kemudian datanglah Abu Bakar…‘ sampai akhir hadits. Sisi pendalilan dari hadits ini, terdapat tambahan riwayat dari Hisyam, bahwa Nabi bersabda: ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki Id sendiri, dan hari ini adalah Id kita‘. Dalam Fathul Baari di jelaskan mengenai tambahan riwayat yang berbunyi ‘Kemudian datanglah Abu Bakar‘: ‘Seolah-olah Abu Bakar datang untuk berkunjung kepada ‘Aisyah (anaknya), beberapa saat setelah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masuk’”. [sampai di sini nukilan dari Mausu'ah Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah]

ولا شك أن التزاور في العيد مما يقوي الصلة، ويزيل الشحناء ويقطع التدابر، ولذلك فهو عمل مسنون كان عليه السلف من الصحابة ومن بعدهم، وهو عمل المسلمين إلى يومنا هذا، ولا نعلم أن أحداً من العلماء شبه زيارة الأحياء بزيارة الأموات، ولم نفهم المراد من قولك (وهل يعتبر ذلك خصيصاً) وفي ما مضى كفاية.والله أعلم.Tidak ragu lagi bahwa saling berkunjung di hari Id, yang menyebabkan terjalinnya silaturahmi, berakhirnya sengketa, berakhirnya saling benci, maka ini adalah perkara yang dianjurkan dan dilakukan oleh para salaf dari kalangan sahabat dan yang setelah mereka. Ini pun merupakan kebiasaan kaum muslimin sampai hari ini. Saya tidak mengetahui ada seorang ulama yang menyamakan perbuatan ini dengan mengunjungi orang mati (ziarah kubur). Dan saya tidak paham maksud perkataan anda ‘Apakah ini termasuk pengkhususan hari tertentu yang terlarang‘. Namun saya kira, penjelasan tadi sudah mencukupi. Wallahu’alam.Sumber: http://www.islamweb.net/ahajj/index.php?page=ShowFatwa&lang=A&Id=43305&Option=FatwaId—Akhir kata, saling berkunjung ke rumah kerabat di hari Idul Fitri adalah hal yang dibolehkan, dengan alasan berikut:

  1. Kegiatan tersebut adalah kegiatan non-ibadah. Sedangkan kegiatan non-ibadah hukum asalnya adalah mubah.
  2. Salah satu makna عِيد (‘Id) secara bahasa adalah hari yang biasanya orang-orang saling berkumpul dan saling bertemu.والعِيدُ كلُّ يوم فيه جَمْعٌ، واشتقاقه من عاد يَعُود كأَنهم عادوا إِليه؛ وقيل: اشتقاقه من العادة لأَنهم اعتادوه” ‘Id juga berarti hari yang biasanya orang-orang saling berkumpul. ‘Id berasal dari kata عاد يَعُود (mengulang) karena mereka secara rutin melakukannya (kumpul-kumpul). Sebagian ahli bahasa berpendapat, asal katanya dari العادة (kebiasaan) karena mereka biasa melakukan hal tersebut” (Lisaanul ‘Arab)
  3. Syariat menetapkan bahwa ‘Idul Fitri dan Idul Adha adalah hari bergembira ria. Sebagaimana diceritakan oleh Anas bin Malik Radhiallahu’anhu:قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال ما هذان اليومان قالوا كنا نلعب فيهما في الجاهلية فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الأضحى ويوم الفطر“Di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam baru hijrah ke Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya yang biasanya di hari itu mereka bersenang-senang. Rasulullah bertanya: ‘Perayaan apakah yang dirayakan dalam dua hari ini?’. Warga madinah menjawab: ‘Pada dua hari raya ini, dahulu di masa Jahiliyyah kami biasa merayakannya dengan bersenang-senang’. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Sungguh Allah telah mengganti hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan ‘Idul Fithri’ ” (HR. Abu Daud, 1134, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud, 1134)Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman:للصائم فرحتان : فرحة عند فطره ، وفرحة عند لقاء ربه“Orang yang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan. Kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu Rabb-Nya kelak” (Muttafaqun ‘alaih)Dan cara bergembira di hari itu tidak ditentukan oleh syariat sehingga kembali kepada ‘urf (kebiasaan) setempat. Mengunjungi kerabat adalah bentuk bersenang-senang dan bergembira karena tentunya bertemu dengan keluarga dan kerabat menimbulkan rasa sayang dan kegembiraan.
  4. Perbuatan ini memiliki dasar dari syari’at dan diamalkan oleh salaf, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah
  5. Memang sebagian ulama menganggap hal ini termasuk bid’ah, sebagaimana pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albanirahimahullah (silakan baca di: http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=20509). Menurut beliau, mengkhususkan hari untuk saling berkunjung kepada sesama orang yang hidup hukumnya sama seperti mengkhususkan hari untuk berkunjung ke orang mati (ziarah kubur). Sedangkan mengkhususkan hari untuk ziarah kubur adalah bid’ah. Namun pendapat ini nampaknya kurang tepat jika kita menimbang alasan-alasan di atas. Yang jelas, permasalahan ini termasuk ranah ijtihadiyyah yang semestinya kita bisa toleran terhadap pendapat yang ada dari para ulama. Wallahu’alam.

Penyusun: Yulian PurnamaArtikel www.muslim.or.id

Kesimpulan AHSI

Jika berkunjung ke kerabat saat 'Id sebagai suatu kebiasaan dan menganggapnya muamalah, bukan ibadah, maka boleh, akan tetapi menganggapnya suatu 'ibadah, maka ia butuh dalil lagi . wallallahu 'alam

Sukpandiar idris advokat assalafy.blogspot.com