Minggu, 14 November 2010

PERBEDAAN PENDAPAT DALAM ISLAM

Terjadinya ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan para ulama terhadap persoalan agama sudah lama terjadi. Perbedaan itu muncul setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam wafat. Ketika Rasul masih hidup, semua persoalan yang muncul pada umat Islam langsung diputuskan melalui wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun setelah beliau wafat, para sahabat melakukan ijtihad sendiri berdasar al-Qur’an dan Sunnah.

Namun perlu diketahui bahwa perbedaan itu terjadi dalam masalah furu’iyyah (cabang), bukan i’tiqadiyah atau aqidah. Biasanya, ikhtilaf tersebut didasari oleh argumen yang sama-sama kuat menurut ilmu yang mereka miliki.

Menyadari perbedaan di kalangan ulama adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan, para ulama ushul merumuskan sebuah kaidah yang berbunyi, “kebenaran dalam perkara cabang itu banyak.”

Ini menunjukkan bahwa kebenaran dalam perkara yang bersifat furuiyah tidak mampu diseragamkan menjadi satu oleh ribuan ulama. Maka, sikap terbaik adalah mencontoh mereka dalam menyikapi perbedaan tersebut.

Berikut ini adab yang harus dimiliki oleh setiap Muslim dalam menyikapi ikhtilaf, antara lain:
1. Setiap orang harus membersihkan diri dari ta’asub (fanatik) mazhab secara berlebihan, karena mazhab bukanlah penyebab pemecah belah umat.

2. Tidak boleh minder dengan adanya perbedaan mazhab, karena perbedaan dalam pemahaman dan istinbat merupakan perkara yang lumrah dan tabi’iy bagi akal manusia.

3. Tidak boleh memaksa orang lain menerima pandangan kita dalam masalah khilafiyyah.

4. Tidak mencela dan menentang amalan-amalan khilafiyyah yang tidak sesuai dengan pandangan mazhab yang kita anut. Imam al-Shatibi menulis, ”Sesungguhnya perbedaan pendapat yang terjadi pada jaman sahabat hingga saat ini berlaku dalam masalah-masalah ijtihadiyyah. Pertama kali berlangsung sejak jaman Khulafa’ al-Rasyidin dan sahabat-sahabat yang lain, lalu terus sampai jaman para tabi’in. Namun mereka tidak saling mencela di antara satu sama lain. (al-I’tisom 2/191)

5. Harus memiliki adab terhadap ulama yang berbeda pandangan dengan kita, dengan tidak menuduh mereka telah melakukan bid’ah dhalalah atas amalan-amalan yang bersifat khilafiyyah.

Adalah Imam Ahmad Rahimahullahu berpendapat keharusan berwudhu karena keluar darah dari hidung dan karena berbekam. Maka Imam Ahmad ditanya, “Bagaimana jika seorang imam shalat lalu keluar darinya darah dan tidak berwudhu, apakah Anda bermakmum di belakangnya?”

Beliau menjawab, “Bagaimana mungkin saya tidak mau shalat di belakang Al-Imam Malik dan Sa’id bin Musayyib?!” Al-Imam Malik dan Sa’id Rahimahullah berpendapat tidak wajibnya berwudhu karena keluar darah.

6. Jangan menuduh orang yang mengamalkan amalan yang bersifat khilafiyyah sebagai sesat, sebab mereka juga punya hujjah dan alasan yang perlu kita hormati.

7. Bagi para mubaligh atau dai harus bersikap bijak dalam menangani masalah khilafiyyah. Sangat ironis jika seorang dai membangkitkan perkara khilafiyyah.

8. Bagi mubaligh, sebaiknya memfokuskan isi ceramahnya pada persoalan pokok, untuk membentengi mereka dari ajaran sesat.

Demikianlah beberapa adab dalam menyikapi ikhtilaf. Permasalahan ijtihadiyyah jangan sampai menjadi sebab perpecahan kaum Muslimin. Sebab, ini akan menjadikan umat Islam lemah dan menjadi permainan musuh-musuh Islam.

* Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah-OKTOBER 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar