Selasa, 01 November 2011

BIOGRAFI SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB. (Bag. 7)


Demikianlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dalam dakwah dan jihadnya telah memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah sendiri, di waktu baginda mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu dahulu. Yang demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh Syeikh Muhammad selama lebih kurang 48

tahun tanpa berhenti, yaitu dari tahun 1158 hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206 H. Adalah suatu kebahagiaan yang tidak terucapkan bagi beliau, yang mana beliau dapat menyaksikan sendiri akan kejayaan dakwahnya di tanah Najd dan daerah sekelilingnya, sehingga masyarakat Islam pada ketika itu telah kembali kepada ajaran agama yang sebenarbenarnya, sesuai dengan tuntunan Kitab Allah dan Sunnah RasulNya.

Dengan demikian, maka maqam-maqam yang didirikan dengan kubah yang lebih mewah dari kubah masjid-masjid, sudah tidak kelihatan lagi di seluruh negeri Najd, dan orang ramai mula berduyun-duyun pergi memenuhi masjid untuk bersembahyang dan mempelajari ilmu agama. Amar ma’ruf ditegakkan, keamanan dan ketenteraman masyarakat menjadi stabil dan merata di kota mahupun di desa. Syeikh kemudian mengirim guru-guru agama dan mursyid-mursyid ke seluruh pelusuk desa untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat setempat terutama yang berhubungan dengan aqidah dan syari’ah.

Setelah beliau meninggal dunia, perjuangan tersebut diteruskan pula oleh anak-anak dan cucucucunya, begitu juga oleh murid-murid dan pendukung-pendukung dakwahnya. Yang dipelopori oleh anak-anak Syeikh sendiri, seperti Syeikh Imam `Abdullah bin Muhammad, Syeikh Husin bin Muhammad, Syeikh Ibrahim bin Muhammad, Syeikh Ali bin Muhammad. Dan dari cucu-cucunya antara lain ialah Syeikh `Abdurrahman bin Hasan, Syeikh Ali bin Husin, Syeikh Sulaiman bin `Abdullah bin Muhammad dan lain-lain. Dari kalangan murid-murid beliau yang paling menonjol ialah Syeikh Hamad bin Nasir bin Mu’ammar dan ramai lagi jamaah lainnya dari para ulama Dar’iyah.

Masjid-masjid telah penuh dengan penuntut-penuntut ilmu yang belajar tentang pelbagai macam ilmu Islam, terutama tafsir, hadith, tarikh Islam, ilmu qawa’id dan lain-lain lagi. Meskipun kecenderungan dan minat mansyarakat demikian tinggi untuk menuntut ilmu agama, namun mereka pun tidak ketinggalan dalam hal ilmu-ilmu keduniaan seperti ilmu ekonomi, pertanian, perdagangan, pertukangan dan lain-lain lagi yang mana semuanya itu diajarkan di masjid dan dipraktikkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Setelah kejayaan Syeikh Muhammad bersama keluarga Amir Ibnu Saud menguasai daerah Najd, maka sasaran dakwahnya kini ditujukan ke negeri Mekah dan negeri Madinah (Haramain) dan daerah Selatan Jazirah Arab. Mula-mula Syeikh menawarkan kepada mereka dakwahnya melalui surat menyurat terhadap para ulamanya, namun mereka tidak mau menerimanya.

Mereka tetap bertahan pada ajaran-ajaran nenek moyang yang mengkeramatkan kuburan dan mendirikan masjid di atasnya, lalu berduyun-duyun datang ke tempat itu meminta syafaat, meminta berkat, dan meminta agar dikabulkan hajat pada ahli kubur atau dengan mempersekutukan si penghuni kubur itu dengan Allah. Sebelas tahun setelah meninggalnya kedua tokoh mujahid ini, yaitu Syeikh dan Amir Ibnu Saud, kemudian tampillah Imam Saud bin `Abdul `Aziz untuk meneruskan perjuangan pendahulunya. Imam Saud adalah cucu kepada Amir Muhammad bin Saud, rekan seperjuangan Syeikh semasa beliau masih hidup.

Berangkatlah Imam Saud bin `Abdul `Aziz menuju tanah Haram Mekah dan Madinah (Haramain) yang dikenal juga dengan nama tanah Hijaz. Mula-mula beliau bersama pasukannya berjaya menduduki Tha’if. Penaklukan Tha’if tidak begitu banyak mengalami kesukaran karena sebelumnya Imam Saud bin `Abdul `Aziz telah mengirimkan Amir Uthman bin `Abdurrahman al-Mudhayifi dengan membawa pasukannya dalam jumlah yang besar untuk mengepung Tha’if. Pasukan ini terdiri dari orang-orang Najd dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu Ibnu `Abdul `Aziz tidak mengalami banyak kerugian dalam penaklukan negeri Tha’if, sehingga dalam waktu singkat negeri Tha’if menyerah dan jatuh ketangan Salafy (pengikut Syaikh Muhammad).

Di Tha’if, pasukan muwahidin membongkar beberapa maqam yang di atasnya didirikan masjid, di antara maqam yang dibongkar adalah maqam Ibnu Abbas r.a. Masyarakat setempat menjadikan maqam ini sebagai tempat ibadah, dan meminta syafaat serta berkat daripadanya. Dari Tha’if pasukan Imam Saud bergerak menuju Hijaz dan mengepung kota Mekah. Manakala Gubernur Mekah mengetahui sebab pengepungan tersebut (waktu itu Mekah di bawah pimpinan Syarif Husin), maka hanya ada dua pilihan baginya, menyerah kepada pasukan Imam Saud atau melarikan diri ke negeri lain. Ia memilih pilihan kedua, yaitu melarikan diri ke Jeddah. Kemudian, pasukan Saud segera masuk ke kota Mekah untuk kemudian menguasainya tanpa perlawanan sedikit pun.

Tepat pada waktu fajar, Muharram 1218 H, kota suci Mekah sudah berada di bawah kekuasaan muwahidin sepenuhnya. Seperti biasa, pasukan muwahidin sentiasa mengutamakan sasarannya untuk menghancurkan patung-patung yang dibuat dalam bentuk kubah di perkuburan yang dianggap keramat, yang semuanya itu boleh mengundang kemusyrikan bagi kaum Muslimin.Maka semua lambang-lambang kemusyrikan yang didirikan di atas kuburan yang berbentuk kubah-kubah masjid di seluruh Hijaz, semuanya diratakan, termasuk kubah yang didirikan di atas kubur Khadijah r.a, isteri pertama Nabi kita Muhammad.

Bersamaan dengan itu mereka melantik sejumlah guru, da’i, mursyid serta hakim untuk ditugaskan di daerah Hijaz. Selang dua tahun setelah penaklukan Mekah, pasukan Imam Saud bergerak menuju Madinah. Seperti halnya di Mekah, Madinah pun dalam waktu yang singkat saja telah dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Muwahhidin di bawah panglima Putera Saud bin Abdul Aziz, peristiwa ini berlaku pada tahun 1220 H. Dengan demikian, daerah Haramain (Mekah - Madinah) telah jatuh ke tangan muwahidin. Dan sejak itulah status sosial dan ekonomi masyarakat Hijaz secara berangsur-angsur dapat dipulihkan kembali, sehingga semua lapisan masyarakat merasa aman, tenteram dan tertib, yang selama ini sangat mereka inginkan.

Walaupun sebagai sebuah daerah yang ditaklukan, keluarga Saud tidaklah memperlakukan rakyat dengan sesuka hati. Keluarga Saud sangat baik terhadap rakyat terutama pada kalangan fakir miskin yang mana pihak kerajaan memberi perhatian yang berat terhadap nasib mereka. Dan tetaplah kawasan Hijaz berada di bawah kekuasaan muwahidin (Saudi) yang dipimpin oleh keluarga Saud sehingga pada tahun 1226 H. Setelah delapan tahun wilayah ini berada di bawah kekuasaan Imam Saud, pemerintah Mesir bersama sekutunya Turki, mengirimkan pasukannya untuk membebaskan tanah Hijaz, terutama Mekah dan Madinah dari tangan muwahidin sekaligus hendak mengusir mereka keluar dari daerah tersebut.

Adapun sebab campur tangan pemerintah Mesir dan Turki itu adalah seperti yang telah dikemukakan pada bahagian yang lalu, yaitu karena pergerakan muwahidin mendapat banyak tantangan dari pihak musuh-musuhnya, bahkan musuh dari pihak dalam Islam sendiri apalagi dari luar Islam, yang bertujuan sama yaitu untuk mematikan dan memadamkan api gerakan dakwah Salafiyyah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Oleh karena musuh-musuh gerakan Salafiyyah tidak mempunyai kekuatan yang memadai untuk menentang pergerakan Wahabiyah, maka mereka menghasut pemerintah Mesir dan Turki dengan menggunakan nama agama, seperti yang telah diterangkan pada kisah yang lalu.

Akhirnya pasukan Mesir dan Turki menyerbu ke negeri Hijaz untuk membebaskan kedua kota suci Mekah dan Madinah dari cengkaman kaum muwahiddin, sehingga terjadilah peperangan di antara Mesir bersama sekutunya Turki di satu pihak melawan pasukan muwahidin dari Najd dan Hijaz di pihak lain. Peperangan ini telah berlangsung selama tujuh tahun, yaitu dari tahun 1226 hingga 1234 H.

Dalam masa perang tujuh tahun itu tidak sedikit kerugian yang dialami oleh kedua belah pihak, terutama dari pihak pasukan Najd dan Hijaz, selain kerugian harta benda, tidak sedikit pula kerugian nyawa dan korban manusia. Tetapi syukur alhamdulillah, setelah lima tahun berlangsung perang saudara di antara Mesir-Turki dan Wahabi, pihak Mesir maupun Turki sudah mulai jemu dan bosan menghadapi peperangan yang berkepanjangan itu. Akhirnya, secara perlahan-lahan mereka sedar bahwa mereka telah keliru, sekaligus mereka menyadari bahwa sesungguhnya gerakan Wahabi tidak lain adalah sebuah gerakan Aqidah murni dan patut ditunjang serta didukung oleh seluruh umat Islam.

Dalam dua tahun terakhir menjelang selesainya peperangan, secara diam-diam gerakan muwahidin terus melakukan gerakan dakwah dan mencetak kader-kadernya demi penerusan gerakan aqidah di masa-masa akan datang. Berakhirnya peperangan yang telah memakan waktu tujuh tahun tersebut, membikin dakwah Salafiyyah mulai lancar kembali seperti biasa.

Semua kekacauan di tanah Hijaz boleh dikatakan berakhir pada tahun 1239 H. Begitu juga dakwah Salafiyyah telah tersebar secara meluas dan merata ke seluruh pelusuk Najd dan sekitarnya, di bawah kepemimpinan Imam Turki bin `Abdullah bin Muhammad bin Saud, adik sepupu Amir Saud bin `Abdul `Aziz yang disebutkan dahulu. Semenjak kekuasaan dipegang oleh Amir Turki bin `Abdullah, suasana Najd dan sekitarnya berangsur-angsur pulih kembali, sehingga memungkinkan bagi keluarga Saud (al-Saud) bersama keluarga Syeikh Muhammad (al-Syeikh) untuk melancarkan kembali dakwah mereka dengan lisan dan tulisan melalui juru-juru dakwah, para ulama serta para Khutaba.

Suasana yang sebelumnya penuh dengan huru-hara dan saling berperang, kini telah berubah menjadi suasana yang penuh aman dan damai menyebabkan syiar Islam kelihatan di manamana di seluruh tanah Hijaz, Najd dan sekitarnya. Sedangkan syi’ar kemusyrikan sudah hancur diratakan dengan tanah. Ibadah hanya kepada Allah, tidak lagi ke perkuburan dan makhlukmakhluk lainnya. Masjid mulai kelihatan semarak dan lebih banyak dikunjungi oleh umat Islam, dibanding ke maqam-maqam yang dianggap keramat seperti sebelumnya. Khususnya daerah Hijaz dengan kota Mekah dan Madinah, begitu lama terputus hubungan dengan Kerajaan (daulah) Saudiyah, yaitu semenjak perlanggaran Mesir dan sekutunya pada tahun 1226 -1342, yang bererti lebih kurang seratus duapuluh tujuh tahun wilayah Hijaz terlepas dari tangan dinasti Saudiyah. Dan barulah kembali ke tangan mereka pada tahun 1343 H, yaitu di saat daulah Saudiyah dipimpin oleh Imam `Abdul `Aziz bin `Abdurrahman bin Faisal bin Turki bin `Abdullah bin Muhammad bin Saud, cucu keempat dari pendiri dinasti Saudiyah, Amir Muhammad bin Saud al-Awal.

Menurut sejarah, setelah Mekah - Madinah kembali ke pangkuan Arab Saudi pada tahun 1343, hubungan Saudi - Mesir tetap tidak begitu baik yang mana tidak ada hubungan diplomatik di antara kedua negara tersebut, meskipun kedua bangsa itu tetap terjalin ukhuwah Islamiyah. Namun setelah Raja Faisal menaiki tahta menjadi ketua negara Saudi, hubungan Saudi - Mesir disambung kembali hingga kini.

Insya Allah bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar